Pulang kampung ke Kebumen selalu terasa seperti masuk ke dimensi yang bergerak lebih lambat. Tapi belakangan ini, saya mulai menyadari sesuatu, yaitu ketenangan ini bukan selalu berarti damai. Beberapa minggu lalu, saya menghadiri reuni kecil-kecilan dengan teman-teman SMA. Dari 15 orang yang hadir, cuma 4 yang masih tinggal di Kebumen. Sisanya? Menyebar ke Jogja, Jakarta, Semarang, bahkan sampai Kalimantan.
Hal yang bikin saya tertegun bukan soal jumlahnya. Tapi percakapan yang muncul di tengah malam itu. Saat teman-teman mulai bercerita jujur tentang Kebumen, saya baru sadar kalau ada banyak hal yang selama ini saya lewatkan.
Lapangan kerja yang itu-itu saja di Kebumen
“Kerja apa sekarang?” Pertanyaan standar yang selalu muncul saat pulang kampung.
Bagi yang masih di Kebumen, jawabannya hampir bisa ditebak PNS, guru, pegawai bank, atau kerja di industri sekitar entah itu pabrik kapur, semen, atau tambang. Kalau beruntung, wiraswasta dengan modal warisan keluarga.
Satu teman saya yang kuliah desain grafis sempat bertahan setahun di Kebumen setelah lulus. Katanya dia mencoba mencari klien lokal, tapi kebanyakan UMKM masih belum paham pentingnya desain. “Bikin logo kok mahal? Pakai Canva aja,” begitu kira-kira respons yang sering dia dapat.
Akhirnya, dia hijrah ke Jogja. Di sana, dalam tiga bulan, orderan sudah lancar.
“Bukan berarti Kebumen nggak bagus, tapi ekosistemnya belum siap buat orang kayak aku,” begitu kata Asih (25 tahun).
Yang lebih ironis, Kebumen punya industri besar. Kapur, semen, batu bara. Tapi lapangan kerja yang tercipta untuk anak muda lokal? Minim. Sebagian besar pekerja industri besar itu bahkan didatangkan dari luar. Anak muda Kebumen? Malah pergi mencari nasib ke tempat lain.
Baca halaman selanjutnya: Merantau bukan lagi pilihan, melainkan kewajiban…




















