Kematian, bagaimanapun bentuknya tentu saja mendatangkan duka. Meski di beberapa belahan dunia lain memaknai kematian dalam bentuk kebahagiaan, tetap saja ada duka yang menyeruak. Seperti kematian di desa-desa pelosok Bangkalan Madura selalu hadir sepaket dengan tangisan akan biaya tahlilan.
Jika di kota-kota, biaya paling banyak biasanya terletak pada proses pemakamannya. Di Bangkalan agak berbeda, tangisan yang mungkin sama menyedihkannya muncul setelah kematian datang. Yaitu, pada prosesi tahlilan.
Daftar Isi
Biaya tahlilan di Bangkalan Madura hampir sama dengan biaya acara pernikahan
Salah seorang sepupu saya yang sebelumnya sakit bertahun-tahun, tiba-tiba saja ingin makan buah-buahan segar. Kondisi ekonomi keluarga yang sulit, membuatnya nggak bisa menikmati buah-buahan tersebut hingga akhir hayatnya. Mengharukan bukan?
Iya, mengharukan, tapi lebih sedih mendengar hal yang terjadi selanjutnya.
Saat dia baru saja meninggal dan kuburannya masih basah, keluarganya membeli berbagai kudapan dan buah-buahan untuk sajian bagi para tamu yang datang melayat. Tamu-tamu di desa Bangkalan yang melayat biasanya memang diberikan kudapan, satu piring untuk satu orang.
Saat seorang tetangga saya meninggal, istrinya menangis diiringi dengan rintihan: dari mana saya akan dapat biaya untuk tahlilan? Karena meskipun ia bersedih, otaknya mulai berhitung berapa banyak biaya yang harus ia keluarkan.
Biaya untuk tahlilan di desa Bangkalan Madura rata-rata hampir setara biaya pernikahan. Minimal bakalan habis sepuluh juta dengan kegiatan tahlilan yang biasa-biasa saja. Lalu, ke mana saja biaya tersebut dihabiskan?
Bermewah-mewahan meskipun harus berutang
Di desa, tahlilan yang dilakukan di malam hari biasanya akan selalu diberikan air mineral gelas dan nasi sebagai sajiannya. Nah, menu nasi tersebut biasanya akan berbeda selama tujuh hari. Rata-rata menu andalannya adalah daging sapi, daging ayam dan telur. Variasinya, bisa lapis, soto, atau telur balado. Semuanya tentu saja disajikan bersama nasi/lontong dan tiap malam minimal harus membuat seratus porsi.
Bukan hanya itu, orang-orang desa di Bangkalan Madura ini memang sangat terkenal dengan kerukunannya. Hingga jika ada satu orang yang meninggal, maka seluruh masyarakat desa tersebut akan ikut serta melayat. Terkadang malah sampai ke desa sebelah juga ikutan melayat. Mereka rata-rata akan diberikan sajian juga.
Orang yang melayat tersebut biasanya akan membawa entah itu beras, mie, bihun, minyak, dan gula. Intinya adalah bahan sembako. Nanti, si tuan rumah akan membalasnya dengan memberikan nasi dan lauk pauk yang diletakkan dalam tas yang mereka bawa.
Terkesan mewah? Memang. Sayangnya, orang-orang desa sering kali nggak punya kekuatan untuk melawan tradisi ini karena menganggap bahwa memang begitulah seharusnya budaya tahlilan selama tujuh hari dilakukan.
Persoalan biayanya bagaimana? Tentu saja berutang. Biasanya si tuan rumah akan mengambil keperluan untuk tahlilan selama tujuh hari di beberapa toko langganan. Lalu total belanjanya akan diberikan setelah acara tahlilan selesai. Begitu yang sering terjadi di Bangkalan.
Berdukanya harus ditunda dulu karena ada banyak bon yang harus dipikirkan dan dibayar. Terkadang, cicilan belum lunas, eh sudah sampai di empat puluh harinya, seratus harinya, setahun, dua tahun, dan seribu harinya.
Isi berkat jadi ajang pamer pada tetangga yang lain
Hal yang paling menyebalkan dari tradisi tahlilan ini, setelah berlelah-lelah selama tujuh hari menghadapi para tamu yang melayat dan memikirkan sajian untuk tahlilan. Di hari ke tujuh masih harus sibuk memikirkan isian berkat. Berkat adalah buah tangan yang biasanya diberikan pada para pelayat di hari ke tujuh tahlilan.
Isinya bermacam-macam, tapi rata-rata tetaplah nasi, lauk pauk, dan berbagai snack. Berapa jumlah berkat yang harus disediakan? Di daerah saya minimal seratus lima puluh karena para pelayat yang datang di hari ke tujuh ini biasanya sangat membludak.
Sayangnya, bagi masyarakat di pelosok desa Bangkalan Madura, isian berkat dan wadahnya nggak hanya digunakan sebagai buah tangan biasa. Namun juga sebagai ajang pamer dan sebuah simbolis untuk menunjukkan siapa yang paling kaya di antara yang lainnya.
Saya sebenarnya nggak membenci budaya tahlilan ini. Tahlilan bagus, nggak mungkin saya benci. Saya hanya membenci kepentingan-kepentingan lain dan bagaimana tradisi ini dijalankan di pelosok-pelosok desa. Bagaimana bisa orang-orang yang sedang berduka, masih harus memikirkan betapa membengkaknya biaya untuk kegiatan tahlilan ini?
Para pemuka agama dan ustaz-nya juga sama saja. Mereka juga turut andil dan mengambil bagian penting dari suburnya budaya tahlilan yang berlebih-lebihan ini dengan mengabaikan kondisi ekonomi keluarga yang sedang berduka.
Saya harap sih, Kementerian Agama mau tegas dan mengeluarkan fatwa tentang budaya tahlilan di pelosok-pelosok desa ini. Supaya nggak ada lagi orang-orang yang berduka, namun masih harus tertimpa tangga.
Penulis: Siti Halwah
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Pengalaman Kuliah di Madura Selama 3 Tahun: Nyatanya, Madura Tak Sejelek yang Ada di Pikiran Kalian