Sisi Gelap Kuliah S2 yang Tak Diketahui Banyak Orang

Sisi Gelap Kuliah S2 yang Tak Diketahui Banyak Orang

Sisi Gelap Kuliah S2 yang Tak Diketahui Banyak Orang (unsplash.com)

Kuliah S2 sering dipandang sebagai babak lanjutan pendidikan yang penuh prestise. Menyandang status mahasiswa pascasarjana pun dielukan orang sebagai paspor kilat menuju tangga karier yang lebih tinggi. Lengkap pula, otak sudah otomatis dianggap naik level oleh publik. Praktis, kesuksesan menggenggam gelar magister menjanjikan masa depan menggiurkan.

Padahal kenyataannya tak seindah polesan akun LinkedIn. Ada harga tersembunyi yang kerap luput dari perjuangan menuntaskan studi lanjut. Bahkan lebih dari sekadar kelelahan bergelut dengan tesis dan jurnal ilmiah. Sebab, perjalanan meraih maupun memikul predikat magister menyimpan sisi lain yang mungkin tak pernah terbayangkan sebelumnya oleh para calon intelektual.

#1 Bagi segelintir orang, menempuh kuliah S2 adalah pelarian elit atas ketidakpastian hidup

Sebagian orang memandang kuliah S2 sebagai langkah mulia guna mengasah diri dan meningkatkan keahlian. Namun, tak jarang gerbang kampus pascasarjana justru menjadi semacam zona nyaman elit bagi mereka yang gamang menghadapi kerasnya persaingan di dunia kerja. Alih-alih gagah berani menghadapi tantangan nyata, status mahasiswa dengan segala kemewahannya terkadang dipilih sebagai tempat berlindung.

Fenomena ini terlihat jelas dari banyaknya mahasiswa yang memilih jurusan jauh dari latar belakang S1 mereka tanpa memiliki ambisi yang jelas untuk berkarier di dunia akademis. Bahkan, tak sedikit yang kurang peduli dengan kualitas kampus, asalkan bisa segera menyematkan gelar master di belakang nama. Dalam situasi ini, aroma penundaan kedewasaan tercium samar di balik jubah wisuda yang kelak dikenakan. Peran kuliah S2 sebatas benteng untuk menunda konfrontasi dengan realitas.

Baca halaman selanjutnya: Banyak yang kehilangan identitas diri…

#2 Banyak mahasiswa S2 yang kehilangan identitas diri, ujungnya malah depresi

Sialnya, gelar S2 yang diimpikan membawa kemajuan justru berpotensi mengikis esensi diri sebagian empunya. Terlalu lama menyelami tumpukan teori serta studi kasus di kampus bisa membuat kemampuan pemecahan masalah guna menghadapi riuhnya dunia nyata menjadi tumpul. Ditambah pula, bukannya memperluas cakrawala pergaulan, lingkaran pertemanan mahasiswa S2 sering kali hanya berkutat di koridor kampus itu-itu saja. Akibatnya, jaringan profesional yang tadinya diharapkan terbentuk melalui cara berkuliah lagi, malah menjadi semakin terbatas.

Oleh karenanya selesai kuliah S2 tak sedikit orang yang terperangkap dalam labirin pemikiran sendiri. Mereka merasa terlalu akademis untuk pekerjaan praktis di industri. Di lain pihak, mereka sadar bahwa bekal akademis yang diusung kurang ulung untuk bersaing di kerasnya dunia penelitian. Terlebih, jika latar belakang studi kurang relevan dengan jenjang S1 yang ditekuni sebelumnya.

Kebimbangan antara dua dunia ini sering kali berujung pada jurang depresi. Sebuah kenyataan pahit di mana tekanan mental justru menghantui setelah gelar impian berhasil dikantongi, bukan hanya selama proses merampungkan tesis sebagaimana biasanya orang yakini.

#3 Lulusan S2 kampus beken bisa jadi dosen di kampus medioker meski kualitas mengajar nomor sekian

Tak dapat ditampik, menggondol julukan alumni kampus ternama sanggup menjadi mantra ajaib untuk menduduki kursi dosen di institusi yang kualitasnya mungkin jauh di bawah almamaternya. Emblem universitas bergengsi sering kali dianggap sebagai jaminan mutu instan. Faktanya, ilusi tersebut malah mengesampingkan esensi kemampuan mengajar dan mentransfer ilmu yang seharusnya menjadi prioritas utama seorang pendidik.

Tak heran bila kita menjumpai beberapa orang yang sudah selesai kuliah S2 dari universitas “wah” yang justru kebingungan saat harus menjelaskan konsep dasar di depan kelas. Parahnya lagi, ketidakmampuan ini sering kali ditutupi dengan sederet taktik kreatif. Misalnya, melimpahkan tugas presentasi kepada mahasiswa di setiap pertemuan. Atau pura-pura membuka diskusi kelas saat tak mampu menjawab pertanyaan.

Fenomena ini bagaikan membeli barang mewah dengan harga selangit, tetapi isinya tak sepadan. Yang diagungkan hanyalah tampilan luar, bukan kualitas isi kepala itu sendiri. Tragisnya, banyak dosen jalur keberuntungan ini juga menjalankan profesinya tanpa passion. Mereka sekadar bekerja untuk memenuhi tuntutan sosial. Inilah potret suram lain dari produk pendidikan pascasarjana, di mana prestise institusi sering kali mengalahkan kompetensi individu.

Pada gilirannya, kilau gelar S2 tak ubahnya filter Instagram yang berfungsi mempercantik realita. Memang, menorehkan sederet gelar di belakang nama pada undangan pernikahan terdengar penuh kebanggaan. Namun sebelum terhipnotis oleh khayalan indah tentang dunia kuliah S2, ada baiknya berpikir ribuan kali. Siapa tahu, bukannya tersenyum menyambut gerbang kesuksesan, yang menanti justru lorong suram yang menyuguhkan penyesalan.

Penulis: Paula Gianita Primasari
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Menimbang Kelebihan dan Kekurangan Lanjut Kuliah S2 Beda Jurusan alias Nggak Linier.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version