Kuliah S2 sering dipandang sebagai babak lanjutan pendidikan yang penuh prestise. Menyandang status mahasiswa pascasarjana pun dielukan orang sebagai paspor kilat menuju tangga karier yang lebih tinggi. Lengkap pula, otak sudah otomatis dianggap naik level oleh publik. Praktis, kesuksesan menggenggam gelar magister menjanjikan masa depan menggiurkan.
Padahal kenyataannya tak seindah polesan akun LinkedIn. Ada harga tersembunyi yang kerap luput dari perjuangan menuntaskan studi lanjut. Bahkan lebih dari sekadar kelelahan bergelut dengan tesis dan jurnal ilmiah. Sebab, perjalanan meraih maupun memikul predikat magister menyimpan sisi lain yang mungkin tak pernah terbayangkan sebelumnya oleh para calon intelektual.
#1 Bagi segelintir orang, menempuh kuliah S2 adalah pelarian elit atas ketidakpastian hidup
Sebagian orang memandang kuliah S2 sebagai langkah mulia guna mengasah diri dan meningkatkan keahlian. Namun, tak jarang gerbang kampus pascasarjana justru menjadi semacam zona nyaman elit bagi mereka yang gamang menghadapi kerasnya persaingan di dunia kerja. Alih-alih gagah berani menghadapi tantangan nyata, status mahasiswa dengan segala kemewahannya terkadang dipilih sebagai tempat berlindung.
Fenomena ini terlihat jelas dari banyaknya mahasiswa yang memilih jurusan jauh dari latar belakang S1 mereka tanpa memiliki ambisi yang jelas untuk berkarier di dunia akademis. Bahkan, tak sedikit yang kurang peduli dengan kualitas kampus, asalkan bisa segera menyematkan gelar master di belakang nama. Dalam situasi ini, aroma penundaan kedewasaan tercium samar di balik jubah wisuda yang kelak dikenakan. Peran kuliah S2 sebatas benteng untuk menunda konfrontasi dengan realitas.
Baca halaman selanjutnya: Banyak yang kehilangan identitas diri…




















