#2 Banyak mahasiswa S2 yang kehilangan identitas diri, ujungnya malah depresi
Sialnya, gelar S2 yang diimpikan membawa kemajuan justru berpotensi mengikis esensi diri sebagian empunya. Terlalu lama menyelami tumpukan teori serta studi kasus di kampus bisa membuat kemampuan pemecahan masalah guna menghadapi riuhnya dunia nyata menjadi tumpul. Ditambah pula, bukannya memperluas cakrawala pergaulan, lingkaran pertemanan mahasiswa S2 sering kali hanya berkutat di koridor kampus itu-itu saja. Akibatnya, jaringan profesional yang tadinya diharapkan terbentuk melalui cara berkuliah lagi, malah menjadi semakin terbatas.
Oleh karenanya selesai kuliah S2 tak sedikit orang yang terperangkap dalam labirin pemikiran sendiri. Mereka merasa terlalu akademis untuk pekerjaan praktis di industri. Di lain pihak, mereka sadar bahwa bekal akademis yang diusung kurang ulung untuk bersaing di kerasnya dunia penelitian. Terlebih, jika latar belakang studi kurang relevan dengan jenjang S1 yang ditekuni sebelumnya.
Kebimbangan antara dua dunia ini sering kali berujung pada jurang depresi. Sebuah kenyataan pahit di mana tekanan mental justru menghantui setelah gelar impian berhasil dikantongi, bukan hanya selama proses merampungkan tesis sebagaimana biasanya orang yakini.
#3 Lulusan S2 kampus beken bisa jadi dosen di kampus medioker meski kualitas mengajar nomor sekian
Tak dapat ditampik, menggondol julukan alumni kampus ternama sanggup menjadi mantra ajaib untuk menduduki kursi dosen di institusi yang kualitasnya mungkin jauh di bawah almamaternya. Emblem universitas bergengsi sering kali dianggap sebagai jaminan mutu instan. Faktanya, ilusi tersebut malah mengesampingkan esensi kemampuan mengajar dan mentransfer ilmu yang seharusnya menjadi prioritas utama seorang pendidik.
Tak heran bila kita menjumpai beberapa orang yang sudah selesai kuliah S2 dari universitas “wah” yang justru kebingungan saat harus menjelaskan konsep dasar di depan kelas. Parahnya lagi, ketidakmampuan ini sering kali ditutupi dengan sederet taktik kreatif. Misalnya, melimpahkan tugas presentasi kepada mahasiswa di setiap pertemuan. Atau pura-pura membuka diskusi kelas saat tak mampu menjawab pertanyaan.
Fenomena ini bagaikan membeli barang mewah dengan harga selangit, tetapi isinya tak sepadan. Yang diagungkan hanyalah tampilan luar, bukan kualitas isi kepala itu sendiri. Tragisnya, banyak dosen jalur keberuntungan ini juga menjalankan profesinya tanpa passion. Mereka sekadar bekerja untuk memenuhi tuntutan sosial. Inilah potret suram lain dari produk pendidikan pascasarjana, di mana prestise institusi sering kali mengalahkan kompetensi individu.
Pada gilirannya, kilau gelar S2 tak ubahnya filter Instagram yang berfungsi mempercantik realita. Memang, menorehkan sederet gelar di belakang nama pada undangan pernikahan terdengar penuh kebanggaan. Namun sebelum terhipnotis oleh khayalan indah tentang dunia kuliah S2, ada baiknya berpikir ribuan kali. Siapa tahu, bukannya tersenyum menyambut gerbang kesuksesan, yang menanti justru lorong suram yang menyuguhkan penyesalan.
Penulis: Paula Gianita Primasari
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Menimbang Kelebihan dan Kekurangan Lanjut Kuliah S2 Beda Jurusan alias Nggak Linier.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















