Sisi Gelap Kerja di Pemerintahan: Nggak Enaknya Jadi Ajudan Pimpinan Instansi Daerah

Sisi Gelap Kerja di Pemerintahan: Enak, sih, kecuali Jadi Ajudan Pimpinan Instansi Daerah

Sisi Gelap Kerja di Pemerintahan: Nggak Enaknya Jadi Ajudan Pimpinan Instansi Daerah (Odua Images/Shutterstock.com)

Direkrut buat jadi humas, eh malah merangkap jadi ajudan pimpinan instansi daerah. Kerja di pemerintahan gini amat, ya?

Sejak saya mulai memasuki sarang instansi pemerintah daerah di tempat saya tinggal pada akhir 2022 kemarin, saya baru benar-benar percaya bahwa kerja di pemerintahan itu beneran enak, nggak cuma isu tetangga belaka. Gimana nggak enak, lha wong cuma hadir jam setengah 8 pagi di kantor, nyalain YouTube, istirahat makan siang, kemudian pulang sore. Gitu aja sudah digaji di atas UMR. Kerjaan terberat hanya mengetik surat, itu pun anak SMA bisa. Pokoknya enak pol lah jadi birokrat tuh.

Akan tetapi, semua kemewahan duniawi itu nggak terjadi para orang-orang yang menjadi ajudan pimpinan instansi pemerintah daerah, khususnya pimpinan dinas atau pimpinan kementerian skala kabupaten. Memang sama-sama kerja di pemerintahan, tapi nasibnya nggak sama. Saya sendiri sudah merasakan getirnya jabatan itu. Melalui tulisan ini, saya akan bercerita pengalaman menjadi ajudan kepala kementerian di tingkat kabupaten yang mungkin nggak perlu saya sebutkan labelnya.

Dari humas, ajudan, hingga menjadi pembantu

Di awal kerja, saya sudah seperti diprank. Mulanya, saya ditawari kerja menjadi humas di instansi pemerintah, khususnya mengelola bagian publikasi. Mulai dari seluruh media sosial, menulis berita di website, dan menjadi pendamping kepala instansi. Saya kira pendampingan ini sekadar mendampingi untuk meliput kegiatan instansi, karena memang itu yang dijelaskan pihak kantor kepada saya terkait tugas saya ke depan.

Sayangnya, itu semua nggak sesuai kenyataan. Saya justru menjadi ajudan yang mengurusi segala kebutuhan kepala instansi. Bahkan nggak cuma kepentingan kantor, keperluan pribadi blio pun ikut saya kerjakan. Misalnya, menyediakan makan, ikut mengurusi kegiatan tahlilan keluarganya, ikut mengantarkan blio pulang ke rumah, dan segala kepentingan pribadi lainnya.

Kerja bagai kuda, tak kenal jam kerja

Lantaran bekerja sesuai kepentingan dan keinginan kepala instansi, alhasil saya nggak mengenal apa itu jam kerja. Saya dipacu bagai kuda yang tak kenal lelah. Jam 6 pagi saya sudah berada di kantor. Karena perjalanan dari rumah saya ke kantor makan waktu sekitar satu jam, mau nggak mau saya harus meluncur ke tempat kerja sejak subuh.

Begitu pula saat pulang kerja, saya nggak kenal tuh apa namanya jam kerja. Saya nggak tahu gimana rasanya jam 4 sore sudah menyalakan sepeda motor dan pergi meninggalkan kantor. Biasanya saya paling cepat pulang kerja saat magrib atau azan isya berkumandang. Rata-rata sih pulangnya jam 8 hingga 9 malam. Dan paling ekstrem saya pernah pulang jam setengah 12 malam. Bayangkan, waktu tempuh dari kantor ke rumah saya sekitar satu jam dan saya harus berangkat lagi subuhnya. Bener-bener ibarat pacuan kuda yang berhenti ketika lumpuh saja.

Honor satu juta adalah sesuatu yang biasa

Lantaran saya merupakan pegawai honorer, gaji saya nggak sama kayak para PNS lainnya. Semua rekan honorer saya nggak jauh beda honornya dari saya, berkisar satu hingga satu setengah juta rupiah.

Sialnya, tetap saja tugas yang berat itu menjadi ajudan. Jika pegawai honorer lainnya mendapat satu juta untuk kerjaan di ruangan kantor dan bekerja sesuai jam kerja, itu sih masih bisa dibilang enak. Meskipun mengerjakan surat yang menumpuk, masih bisa dikerjakan dengan kursi empuk, camilan, dan musik YouTube.

Lha, kalau jadi ajudan kayak saya? Dengan satu juta, harus bekerja di luar jam kerja, pontang-panting di lapangan, lari ke sana kemari memenuhi kebutuhan pimpinan instansi, dll. Itu semua menguras tenaga, lho. Udah kayak kuli, bedanya ada seragam instansi aja.

Peran ganda yang harus selesai saat itu juga

Seperti yang saya sebut sebelumnya, awalnya saya direkrut untuk menjadi humas dan memang hingga saat ini saya menjabat jabatan tersebut. Namun, ajudan adalah jabatan ganda yang nggak boleh saya kesampingkan.

Peran ganda ini menurut saya cukup merepotkan, apalagi dengan sistem yang harus serba cepat. Misal, mendampingi pimpinan instansi dengan segala keriwehannya di suatu acara. Di tengah pendampingan itu, saya juga harus menulis berita dan membuat konten untuk media sosial terkait kegiatan tersebut. Belum lagi ketika di lapangan saya disuruh ini itu, menyiapkan materi, menyiapkan pakaian yang digunakan, koordinasi dengan panitia kegiatan, dan keriwehan lainnya.

Keselnya, kegiatan kayak gini dalam satu hari nggak cuma satu, melainkan bisa dua hingga empat acara yang tentu saja nggak kebayang betapa riwehnya. Dan semua itu, mulai dari pendampingan selaku ajudan dan memproduksi konten selaku humas, harus saya selesaikan di hari itu juga. Kalau beritanya sudah lewat sehari saja tentu sudah basi.

Jadi, kerja di pemerintahan kayak saya gini nggak cuma fisiknya yang harus mondar-mandir kayak pelayan restoran, pikiran saya juga harus dikuras untuk memproduksi konten berbasis pemerintah. Kalian tahu sendiri kan gimana konten-konten pemerintah itu harus yang bernilai positif, mengangkat martabat, dll. Pokoknya isinya baik-baik, deh.

Suara kepala instansi adalah suara Tuhan

Hal yang paling mengerikan dari menjadi ajudan pimpinan instansi daerah adalah ketika suara blio adalah segalanya, layaknya suara Tuhan yang semuanya adalah wahyu kebenaran. Sebelum kerja di pemerintahan, saya kira anti-kritik itu hanya ada antara penguasa dan rakyat, ternyata nggak gitu. Di internal institusi pemerintah sendiri kritik adalah sesuatu yang tabu, khususnya bagi pemimpin yang menganut mazhab Harto-isme.

Beberapa kali, kepala instansi saya memang pernah meminta pendapat saya terkait ide kebijakan program-programnya dan ide tulisan artikel untuk tugas pelatihan diklatnya. Sayangnya, itu cuma sebatas minta pendapat, nggak sampai penerimaan.

Awalnya saya mengira pendapat saya yang kurang berkualitas, ternyata saya salah. Sopir pimpinan instansi ini juga sering dimintai pendapat, tapi nasibnya nggak jauh beda dengan saya. Pendapat kami sebatas angin lalu, nggak pernah sedikit pun diperhatikan.

Saya mengira mungkin jabatan saya dan sopir dianggap biasa saja sehingga pendapat kami nggak begitu didengar. Ternyata nggak gitu, Gaes. Saya cukup sering mendengar bahwa pendapat kepala bidang bahkan wakil kepala instansi juga seringkali nggak dipedulikan. Kado, kalau pimpinan instansi bilang A, yang dikerjakan ya A.

Begitulah sisi gelap kerja di pemerintahan, khususnya menjadi ajudan pimpinan instansi daerah. Statusnya mungkin memang kerja di pemerintahan, tapi kerjaannya nggak jauh beda dari buruh kuli. Bedanya ya ada seragamnya aja.

Penulis: Mohammad Maulana Iqbal
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Siapa Bilang Kerja di Proyek Pemerintah Itu Enak? Situ Belum Dipalak sih.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version