Laporan dari World Happines Report yang mengumumkan Finlandia kembali terpilih sebagai negara paling bahagia di dunia. Sekilas, pengumuman ini membuat siapa saja penasaran dan iri dengan orang-orang yang hidup di negara seribu danau itu. Namun, sebagai seseorang yang sudah 3 tahun tinggal di sana, saya ingatkan gelar tersebut nggedabrus semata. Di bawah ini saya jelaskan alasannya.
Laporan indeks kebahagiaan yang didukung oleh PBB ini diukur melalui beberapa ukuran. Parameter yang digunakan antara lain Pendapatan Domestik Bruto (PDB) per kapita, jaring pengaman sosial, harapan hidup sehat, kebebasan memiliki pilihan hidup, dan kedermawanan. Tidak ketinggalan, persepsi korupsi.
Apabila dibaca lebih detail, pemeringkatan itu dilakukan melalui jajak pendapat Gallup, perusahaan konsultasi manajemen kinerja global asal Amerika Serikat. Pemeringkatan dilakukan terhadap ribuan responden di setiap negara. Para responden diminta untuk menilai kualitas kehidupan mereka menggunakan skala antara 0 sampai 10. Dengan cara ini, pendapat individu dari berbagai latar belakang dan kondisi sosial dapat dipertimbangkan secara luas, memberikan gambaran yang lebih komprehensif tentang tingkat kebahagiaan di seluruh dunia.
Metode di atas memang terdengar meyakinkan, hingga saya melihat hasilnya. Bisa-bisanya Israel, negara yang tengah terlibat dalam konflik dengan Palestina, menduduki peringkat ke-4 sebagai negara paling bahagia di dunia? Sebagai orang yang waras, saya tidak akan bahagia jika disuruh tinggal di Israel. Bagaimana bisa bahagia di atas tanah curian yang menjadi kuburan jutaan orang Palestina. Free free Palestine!
Jujur, hasil laporan itu menimbulkan banyak pertanyaan di kepala. Saya jadi nggak sepenuhnya percaya dengan pihak-pihak yang terlibat dalam riset, begitu pun hasilnya. Di samping itu, berdasarkan pengalaman 3 tahun tinggal di Finlandia, saya lebih suka menyebut negara seribu danau ini sebagai negara paling sejahtera alih-alih paling bahagia.
Jaminan sosial di Finlandia benar-benar bisa diandalkan
Di negara ini frasa “orang-orang miskin dipelihara negara” bukan omong kosong. Hampir 40-70 persen kebutuhan dasar warga Finlandia dipenuhi oleh negara. Itu tergantung kondisi tiap individu. Orang-orang Finlandia benar-benar mempraktekkan bagaimana konsep negara sosialis dijalankan. Beda dengan abang-abangan kiri kampus yang membaca Das Kapital sekadar untuk membuat gebetannya terkesan.
Pokoknya, selama seseorang membayar pajak, orang tersebut berhak mendapatkan jaminan sosial sesuai hukum yang berlaku. Program doktoral istri saya di Finlandia misalnya, dianggap sebagai pekerjaan berbayar dan dikenai pajak. Itu mengapa saya dan istri bisa menikmati beberapa fasilitas negara seperti kelas bahasa gratis dan tunjangan bagi pencari kerja.
Selain itu, kami mendapat seabrek jaring pengaman sosial. Jaminan tersebut meliputi bidang kesehatan, perumahan, pendidikan, tunjangan khusus anak muda, tunjangan bagi para lansia, penyandang disabilitas, dan lain sebagainya. Benar-benar tentram rasanya hidup di sini.
Baca halaman selanjutnya: Work life…