Sebelumnya, Mas Iqbal AR menulis artikel Terminal Mojok mengenai sulitnya bertahan hidup dengan gaji UMR Rp. 2,1 juta sebulan di Banjarnegara. UMR segitu menjadi UMR terendah di Jawa Tengah dan Indonesia. Bahkan di awal penulisan Mas Iqbal menyingkirkan kata “nrimo ing pandum” agar tulisannya menjadi lebih masuk akal.
Sebagai orang yang sudah memulai hidup di Banjarnegara sejak awal 2019, tentu saja saya merasa berhak untuk ikut nimbrung terkait apa yang Mas Iqbal sampaikan. Oh ya, sebelumnya saya ucapkan terima kasih atas harapan Mas Iqbal agar nantinya UMR Banjarnegara bisa ditingkatkan.
Melalui tulisan ini, saya ingin ikut bercerita mengenai strategi orang Banjarnegara untuk tetap bertahan hidup dengan UMR rendah tersebut. Asal kalian tahu ya, masih ada juga lho buruh di sini yang gajinya hanya Rp1,1 juta alias nggak sampai UMR. Tetapi kejadian ini terjadi sekitar tahun 2022. Meski begitu tak menutup kemungkinan sekarang pun masih ada warga Banjarnegara yang hidup dengan gaji di bawah UMR tersebut.
Daripada berlama-lama, saya bocorkan saja siasat orang Banjarnegara bertahan hidup dengan gaji UMR Rp2,1 juta sebulan.
Orang Banjarnegara memilih merantau
Strategi pertama tentu saja merantau. Ya, merantau memang menjadi jalan ninja yang biasa dilakukan warga sini demi menopang keuangan keluarga. Seseorang harus keluar dari tanah kelahirannya demi mendapatkan kehidupan yang lebih menjanjikan (baca: gaji yang lebih tinggi).
Saya pernah menulis soal merantau di Terminal Mojok beberapa waktu lalu. Kalian bisa membacanya di sini.
Mereka yang merantau biasanya memiliki relasi atau kenalan yang sudah lebih dahulu bekerja di suatu perusahaan. Alasan merantau juga disebabkan karena ketiadaan industri yang bisa menampung keterampilan lulusan yang ada di Banjarnegara.
Budaya merantau ini juga melahirkan sebuah tagline yang amat sangat sentimentil di kalangan netizen Banjarnegara. Katanya, “Banjarnegara kui ngangeni, tapi nek ditinggali ora marai sugih”. Artinya, Banjarnegara itu bikin kangen, tapi kalau ditinggali tidak bikin kaya. Memang benar adanya.
Menjadi “padoli”
Padoli adalah akronim dari apa-apa didoli. Kalimat tersebut merujuk pada kemampuan seseorang untuk bisa menjual apa pun, padahal profesi utamanya bukanlah pedagang. Jadi jangan heran kalau ada karyawan kantoran yang hampir tiap hari mengunggah status WhatsApp produk skincare, makanan olahan, snack, ataupun aneka sembako seperti sayur, tahu, tempe, dll.
Para padoli di Banjarnegara ini menjadikan rekan kerja mereka sebagai market untuk berjualan. Kadang mereka mengambil buah di musim tertentu, lalu dipromosikan melalui status WA dengan mantra “monggo diorder”. Aktivitas ini memang nggak membuat isi dompet otomatis full, tapi berkat aktivitas ini hidup di akhir bulan bisa terselamatkan.
Banyak orang Banjarnegara yang kerja lagi setelah pulang kerja
Kerja setelah pulang kerja, atau gampangnya double job, adalah hal yang paling mungkin dilakukan untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Biasanya pekerjaan sampingan yang dilakukan banyak warga Banjarnegara adalah pekerjaan di sektor informal, misalnya menjaga stand es teh jumbo, jadi ojol, atau menawarkan jasa antar anak sekolah.
Tentu saja ritual kerja setelah pulang kerja ini mengganggu ritme istirahat. Tapi apa daya harus dikerjakan juga mengingat manfaatnya untuk menyambung hidup dari kejadian tak terduga di akhir bulan seperti gas yang tiba-tiba habis, token listrik yang tiba-tiba bunyi, bahkan kondangan.
Masih banyak jajanan dan makanan murah di sini, bisa jadi pilihan untuk makan
Selain es teh jumbo, masih ada jajanan dan makanan yang dijual dengan harga sangat terjangkau di Banjarnegara. Tentu saja ini sangat ramah bagi kantong pekerja UMR Banjarnegara yang ingin jajan meski dompet dalam mode hemat.
Di sini, kita masih bisa menemukan mie ayam seharga Rp6 ribu seporsi. Tetapi kalau soal rasa ya nggak usah banyak protes. Setidaknya dengan harga segitu bisa bikin kenyang perut.
Jika hal-hal di atas masih dirasa kurang, saya ajak kalian untuk sedikit memahami bahwa manusia tercipta lengkap dengan otak reptil. Otak reptil inilah yang bertugas untuk bertahan hidup, sehingga otak reptil pada orang yang waras nggak akan berhenti bekerja saat mengetahui bahwa beras habis, gula habis, token listrik berbunyi, apalagi saat anak merengek minta kinderjoy.
Otak reptil akan membuat seseorang berusaha dan berupaya untuk tetap bertahan hidup dengan segala kondisi. Apalagi ketika sedang nggak punya uang. Bisa saja otak reptil ini jugalah yang akan memberi perintah pada warga Banjarnegara untuk pergi ke koperasi bahkan bank plecit yang rutin keliling denmi keberlanjutan kehidupan mereka di tengah minimnya UMR.
Penulis: Dhimas Raditya Lustiono
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Pariwisata Banjarnegara: Punya Potensi, tapi Kepentok Hal-hal Ini.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
