Sudah lama saya menjalin hubungan dengan Telkomsel, hampir 15 tahun lamanya. Dan selama itu, hanya sekali saya mendua dari Telkomsel. Dalam artian, saya menggunakan provider lain tapi tetap menggunakan Telkomsel. Namun dalam perjalanan bersama provider seluler yang identik dengan warna merah dan putih ini, kesetiaan saya diuji. Mulai dari harga paketnya yang makin lama makin nggak ngotak, sinyal busuk, dan lain sebagainya.
Dulu, waktu baru pertama kali punya hape, saya langsung dicekoki nomor Telkomsel oleh keluarga saya. Karena memang itu adalah provider yang digunakan kami sekeluarga. Biar hemat kalau saling teleponan, begitu katanya.
Saat itu, teleponan sesama nomor Telkomsel memang lebih murah ketimbang provider lain. Makanya keluarga saya menjatuhkan pilihan pada provider satu ini untuk urusan saling bertukar kabar. Lagi pula sepertinya hanya provider ini yang saat itu merajai jaringan telekomunikasi sampai daerah pedesaan. Ia berhasil menyatukan komunikasi hingga ke pelosok negeri. Baik sekali, kan.
Kebaikan itulah yang akhirnya membuat saya setia sama Telkomsel. Hingga saya sadar, kesetiaan saya ternyata harus berakhir. Gimana nggak berakhir, setia sama Telkomsel sama saja rela bangkrut. Sudah banyak juga orang yang komplain dan bahkan membahas soal provider ini di Terminal Mojok. Sudah mahal, sinyalnya mulai ogah-ogahan nongol. Persis kayak doi.
Daftar Isi
Sinyal Telkomsel di perkotaan malah busuk
Dulu, Telkomsel memang identik dengan providernya para pekerja dan orang tua. Saya sepakat, sih. Tapi, lambat laun, provider ini mulai diminati siapa pun, mulai dari anak sekolahan hingga anak kuliahan.
Salah satu alasannya karena saat itu hanya provider merah putih ini dan beberapa provider besar yang mampu merambah daerah pelosok. Harus diakui, sinyal Telkomsel di pedesaan memang bisa diandalkan. Sayangnya, kini, jangankan di pedesaan, di perkotaan saja sinyalnya malah busuk.
Di sekitar tempat saya tinggal saja, di Kota Depok, sinyal Telkomsel nggak bisa didapatkan dengan asal geletakin hape. Dapat sinyal sih, tapi lemot. Kalau mau dapat sinyal bagus, saya harus keluar ruangan, di alam terbuka. Pernah suatu ketika, sinyal saya benar-benar hilang cukup lama, hampir 15 menit. Padahal saya sedang di luar ruangan. Bikin sakit hati, tahu!
Harga paketan bikin bangkrut
Sudah bukan hal baru lagi kalau harga paketan Telkomsel itu selangit. Jika saya teruskan, dompet saya bisa kering walau musim hujan sekalipun.
Bayangkan, harga paketan termurah untuk jangka waktu aktif 30 hari dibanderol dengan harga Rp122 ribu. Dengan harga tersebut saya dapat paket internet 42 GB, kuota nonton 13 GB. Tentu harga itu berlaku untuk nomor saya, sementara untuk pelanggan lain bisa saja berbeda.
Untuk saya yang hanya menggunakan paket internet saat di luar ruangan seperti main atau nongkrong, harga tersebut tentu terlalu mahal. Jika di rumah, saya lebih banyak mengandalkan WiFi. Ketika di luar rumah pun sudah dipastikan saya jarang nonton lewat hape. Alhasil, hingga jatuh tempo masa aktif paket tiba, kuota saya masih tersisa banyak. Sia-sia jadinya.
Lebih baik putus hubungan
Gimana ya, rasanya sudah nggak ada harapan jika diteruskan sama Telkomsel. Sudah sinyalnya hilang-hilangan, harga paketan makin mahal nggak karuan, apa lagi yang harus dipertahankan? Lagi pula, Telkomsel sepertinya nggak mau menurunkan egonya untuk sedikit lebih ramah kepada pengguna. Ingin dianggap “pride” terus. Capek lama-lama meladeninya.
Terus, nanti komunikasi sama keluarga gimana? Ya sekarang kan lebih banyak komunikasi lewat pesan singkat seperti WhatsApp. Lagi pula, zaman sekarang teleponan juga bisa lewat aplikasi yang sama.
Jadi, maaf ya Telkomsel, kita putus saja. Terima kasih atas kebaikanmu selama ini. Bye.
Penulis: Jarot Sabarudin
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Telkomsel, Provider Seluler yang Diskriminatif.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.