Setelah nikah, hamil, apalagi punya anak, rasa-rasanya teman-teman saya jadi semakin sedikit. Bahkan pada satu waktu, saya merasa nggak punya teman deket, blas. Teman saya kok kayaknya cuma suami, ya? Ini saya yang jadi kuper, tertutup, atau gimana? Kok, saya jadi orang yang doyan ada di rumah? Padahal, kan, dulu nggak kayak gitu? Sebelum saya menikah, kos-kosan cuma buat mandi dan tidur. Selebihnya, saya menghabiskan banyak waktu di luar.
Lantas, saya melihat ada seseorang yang mengatakan seperti ini. Dan mungkin memang ada orang-orang yang berpikiran seperti ini.
https://twitter.com/UngeeeAjaaa/status/1375412679276253189
Ketika saya melihat ada seseorang yang bilang seperti ini, saya jadi merasa kurang nyaman. Ada pendapat yang menurut saya kurang tepat di situ. Tampaknya, ada beberapa hal yang perlu dipahami bersama bahwa ketika setelah nikah, seseorang sering memutuskan untuk pulang duluan dari tempat nongkrong, itu bukan semata-semata hidupnya penuh dengan batasan.
Pertama, sebagai orang yang setelah nikah dan punya anak jadi jarang nongkrong dan sekalinya nongkrong sebetulnya los-los aja. Saya yakin bahwa suami nggak memberikan batasan yang gimana-gimana terkait pergaulan saya. Dia membebaskan saya melakukan apa saja yang saya suka asalkan saya izin. Tentu saja, izin di sini bukan karena kesewenang-wenangannya. Namun, karena ya, biar saling enak saja. Toh, kalau dia ke mana-mana bilang ke saya, saya juga bakalan ngerasa lebih nyaman karena tahu apa yang sedang dia lakukan. Dengan saling memberi kabar, kami jadi lebih tenang dan nggak muncul curiga gitu, lah.
Jadi, ketika saya nongkrong dan pulang lebih cepat, bukan berarti suami lagi memberikan batasan pada saya. Begitu pun kalau suami nongkrong dan pulang lebih cepat, bukan berarti dia tipe suami takut istri. Sebetulnya, dengan pulang lebih cepat kami sedang berusaha memahami bahwa ada kebutuhan yang asyik untuk dilakukan berdua. Misalnya, bercerita tentang apa aja yang telah kami lakukan hari ini. Bercerita dengan bebas dan terbuka, tanpa takut dihakimi.
Kedua, ketika dua orang memutuskan untuk menikah, tentu itu sepaket dengan konsekuensi-konsekuensi di dalamnya. Ada hal-hal baru yang perlu diprioritaskan dengan sadar diri demi kenyamanan bersama.
Pulang ke rumah lebih cepat, tentu bukan sekadar dicariin pasangan. Namun, ada pekerjaan di rumah yang jadi tanggung jawab saya. Yang mana, itu menjadi tanggung jawab bukan karena keterpaksaan, tapi memang sudah jadi kesepakatan.
Misalnya, di rumah, saya yang punya tanggung jawab masak, sementara suami bagian cuci piring. Atau suami yang punya tanggung jawab menjemur pakaian, sementara saya yang menyapu rumah. Nah, kalau saya nggak segera pulang, terus kapan bakal menyelesaikan pekerjaan itu? Tentu pekerjaan-pekerjaan itu nggak sebaiknya dianggap sebagai batasan untuk bisa nongkrong dengan namaste, kan?
Lagian sejak kita belum menikah pun, bukankah kita tidak bisa terlepas dari pekerjaan domestik? Ya, kecuali kalau kita memang anak sultan yang punya 8 pembantu di rumah. Mau nongkrong di kafe 24 jam sampai pegawainya ganti sif 3 kali pun, bebasss~
Ketiga, terkadang, kata “dicariin istri” atau “dicariin suami” hanya jadi tameng. Sebetulnya, kami ini lebih nyaman berada di rumah. Akan tetapi, kalau asal izin, kan, agak nggak enak dan sungkan. Jadi, alasan yang paling aman, sih, dicariin sama pasangan.
Lagian, nih, mohon maaf. Jangan-jangan temen situ nggak mau lama-lama nongkrong, sebetulnya karena udah nggak nyaman aja diajak gibah kelamaan. Lantas, alasan paling cepet dan sat set untuk terlepas dari lingkaran penuh dosa itu, tentu dengan bilang dicariin sama pasangan.
Ya, semoga dengan ini kita bisa sama-sama saling memahami bahwa ada hal-hal yang mungkin tampak seperti batasan bagi orang setelah nikah. Padahal, orang yang menjalaninya menyadari dan menerima betul hal itu sebagai kesepakatan bersama.
BACA JUGA Saya Bukannya Antimenikah, tapi Punya Pertimbangan yang Kompleks dan tulisan Audian Laili lainnya.