Pejabat zaman kini memang amat luar biasa. Makan uang negara dianggap hal biasa. Saking biasanya, perilaku ini pun kian bertumbuh subur. Alhasil berbicara dan menyaksikan para pejabat yang korup sudah bukan hal baru lagi di negeri tercinta ini. Malah, sudah korup tapi penjaranya pun elit semuanya. Keluar masuk penjara juga suka-suka gue. Kalau ngurus pejabat yang korup, biasanya berbelit-belit. Bahkan kadang lenyap ditelan waktu.
Tapi kalau ngurus rakyat kecil yang bersalah, itu amat cepat. Mencuri kakao dan sandal jepit misalnya. Eh, jadi jangan heran jikalau rakyat terus menderita dan pejabat terus berpesta pora. Istilah hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah pun terus berkembang secara amat liar, seliar para pejabat mencuri uang rakyat.
Coba kita tengok Bupati Kudus, Mohammad Tamzil. Sungguh, ia seperti pendekar Wiro Sableng yang sangat lihai dalam memainkan jurus-jurus silatnya. Bayangkan saja, walau 2014 silam Tamzil pernah dihukum selama 22 bulan, namun dengan tak tahu malunya maju lagi menjadi calon Bupati Kudus pada Pilkada 2018. Lebih memalukan lagi ketika Partai Hanura, PPP, dan PKB, malah mendukung. Ohh, hebat benar.
Hasilnya luar biasa. Tamzil terpilih lagi menjadi Bupati Kudus untuk kedua kalinya. Ahh, kok rakyat begitu lugu ya. Sudah tahu bahwa Tamzil adalah Bupati sekaligus mantan narapidana, kok rakyat memilihnya lagi. Ehemm, jangan-jangan rakyat dibagikan uang. Hmmm, ini adalah kepastian. Kalau tidak, mana mungkin Tamzil bisa menang.
Lalu, ketika rakyat memilihnya lagi, Tamzil merasa paling super. Tak heran sebagai Bupati periode kedua, Tamzil melakukan korupsi lagi. Emang enak ya. Tak ada rasa bersalah sedikit pun. Ya, itulah Indonesia. Hukumnya lucu-lucu bagi pejabat negara yang korup. Dan menyakitkan bagi masyarakat kecil.
Pertanyaan kritis pun muncul. Masih layakah Indonesia disebut sebagai negara hukum dan demokratis? Kalau masih layak, mengapa para pejabat negara kita selalu setia mendendangkan lagu usang tentang korupsi setiap saat. Mengapa pula, rakyat masih amat gampang dibeli dengan uang. Bahkan rakyat sudah menjadi budak keserakahan para pemimpin.
Saya sendiri sebagai masyarakat sudah merasa muak dengan perilaku korup yang terus dipertontonkan oleh para pejabat negara kita. Bayangkan saja, pada Januari hingga Juli 2018, sudah 29 Kepala Daerah, Gubernur dan Wali Kota yang sudah ditetapakan sebagai terasangka sebagai koruptor oleh KPK. Ini tidak terhitung dengan tahun-tahun sebelumnya dan tahun berjalan 2019 ini. Ohhh, sungguh mencengangkan sekaligus memilukan, bukan.
Itu berarti Bupati Kudus, Muhammad Tamzil, hanyalah lagu usang yang sudah menjadi lagu primadona bagi para pejabat yang lainnya. Jadi tak perlu heran jika banyak pejabat yang semakin mencintai perilaku korup. Mengapa. Ya, sebab negara memberikan peluang untuk itulah. Negara hukum itu cuman label yang ompong praksis. Begitupula label negara demokrasi. Hanya bikin kepalaku pening dan mau muntah rasanya.
Oke. Jikalau fakta dilapangan para pejabat terus mempertontonkan perilaku yang memuakan ini, maka dengan ekstrimnya, saya boleh tegaskan bahwa saat pemilu rakyat ramai-ramai golput saja. Lalu dikantor-kantor tak usah ada pemimpin atau pejabat lagi. Kalau pun dibutuhkan haruslah seorang pemimpin yang lahir dari seleksi yang ketat dari semua aspek.
Dan jika Bupati Tamzil itu harus dihukum mati, maka harus dijalankan. Jangan hanya mudah diucap untuk mengelabui publik tapi nol praksisnya. Ini bisa diragukan, sebab selama ini para pejabat yang korup jarang dihukum mati. Malahan sebaliknya dirawat hingga terus bertumbuh subur.
Oleh karena itu, mungkin baik jikalau Indonesia juga segera menerapakan hukuman mati ala negara China dan Korea Utara, Arab Saudi atau pun Jerman. Negara-negara yang saya sebutkan ini, sangat tegas dalam memberikan hukuman bagi para koruptor. Entah pejabat atau siapa pun dia, wajib dihukum. Ada yang hukuman mati langsung dieksekusi mati, memotong tangan, mengembalikan uangnya dan habiskan sisa hidupnya dalam tahanan.
Pertanyaanya, beranikah di Indonesia menerapkannya. Kalau tidak berani, maka jangan heran perilaku korup tetap bertumbuh subur. Para pejabat kita pun akan semakin merajalela melakukanya. Berhentinya kapan-kapan dulu. Mungkin sampai kucing bertanduk kali.