Pepatah bijak mengatakan, tetangga adalah saudara kita yang paling dekat. Meskipun tidak ada pertalian darah, tapi karena hidup berdampingan selama berbilang tahun, mereka jadi orang yang paling mengerti keseharian kita. Apalagi kalau yang kepoan. Gerak-gerik kita nggak akan luput dari perhatian mereka.
Disadari atau tidak, karakteristik tetangga dapat mempengaruhi kehidupan kita. Ketika kita berada di lingkungan yang isinya orang yang toksik, mau nggak mau, misuh akan jadi makanan rutin. Begitupun sebaliknya. Jika kita dikelilingi oleh tetangga yang baik hati, hari-hari kita pun akan terasa menyenangkan. Â
Sayangnya, tidak semua orang beruntung dapat tinggal di lingkungan yang memiliki tetangga yang baik.
Bermacam keluhan
Berbicara soal kelakuan tetangga yang bikin kesel, kurang afdol kalau belum main-main ke akun Twitter Seputar Tetangga. Hampir setiap waktu, ada saja netizen yang sambat soal kelakuan tetangganya. Ada yang doyan jemur pakaian di gerbang rumah sebelah, ada yang demen karaokean kenceng, ada yang kalau bakar sampah nggak kenal waktu, sampai ke masalah yang paling klise dalam urusan pertetanggaan: parkir mobil sembarangan!
Hayolo, apakah kamu juga memiliki keluhan yang sama? Atau jangan-jangan, kamu juga pernah nge-spill kelakuan yang absurd itu ke akun tersebut? Hmm, saya jadi prihatin sekaligus bertanya-tanya. Sesulit itukah memiliki tetangga yang baik?
Rasanya memiliki tetangga yang baik
Sejak kecil, yang terekam dalam ingatan saya adalah, saya memiliki tetangga yang baik. Saya ingat, dulu, tetangga sayalah yang membantu memasangkan hasduk saat saya harus berangkat Pramuka di sore hari. Maklum, bapak ibu saya kerja semua. Saya yang kala itu masih ingusan nggak ngerti cara pakai hasduk. FYI, hasduk zaman saya SD lebih njlimet daripada hasduk anak sekarang yang tinggal dicangklongin trus dikaitkan pakai kacu. Jadi, tolong jangan ngledek!
Beranjak remaja, karena sesuatu hal, kami harus pindah rumah. Beruntung, di lingkungan yang baru pun, tetangganya baik-baik. Sering banget dapat kiriman makanan. Begitu pula saat saya sudah berumah tangga. Masuk ke lingkungan baru, ndilalah dapat yang jauh dari rese. Pernah, loh, tetangga saya bantuin angkat jemuran pas hujan tiba-tiba mak bress. Pernah pula ke rumah untuk menawarkan bantuan, karena mereka mendengar anak saya yang masih bayi nangis terus. Rupanya, mereka khawatir. Maklum, kala itu posisi saya adalah ibu muda yang jauh dari orang tua.
Tentu saja, kebaikan mereka membuat saya senang sekaligus bersyukur. Selain itu, saya jadi termotivasi untuk jadi tetangga yang baik pula untuk mereka. Entah dalam bentuk bagi-bagi makanan, nengok kalau pas ada yang sakit, sampai ke hal yang paling sederhana: Tersenyum, menyapa dan nggak gibahin mereka.
Konsep baik
Kembali ke pertanyaan awal. Sesulit itukah memiliki tetangga yang baik?
Untuk bisa menjawab pertanyaan ini, kita luruskan dulu konsep baik dalam kehidupan bertetangga. Baik, baik seperti apa nih yang kita maksud? Jangan-jangan selama ini kita salah kaprah dalam memahami konsep baiknya?
Contoh salah kaprahnya tuh seperti ini. Kamu sudah tau di luar mendung, tapi kamu kekeuh jemur pakaian di luar lalu ditinggal pergi dan berharap mereka bakal angkatin jemuran kalau-kalau hujan turun. Nah, itu bukan konsep yang tepat. Itu namanya kamu nggak tau diri. Sudah tau langit mau tumpah kok maksa jemur pakaian di luar? Ditinggal pula!
Contoh lainnya, kamu punya usaha rental PS. Jam buka rental PS-mu, sampai tengah malam. Namanya juga main PS, susah untuk nggak berisik. Dan, kamu minta tetangga untuk memaklumi keberisikan pengunjung rental PS-mu. Ketika ada yang protes, langsung kamu kasih stempel nggak pengertian. Padahal, siapa coba yang nggak pengertian?
Maka, nggak usah muluk-muluk mendeskripsikan tetangga baik itu sebagai sosok yang selalu membantu tanpa diminta, pengertian, nggak pernah protes, dll. Paling enak dan realistis, tetangga baik itu ya yang tidak mengganggu kamu. Deal, ya?
Kesimpulan
Nah, setelah sepakat tentang konsep baik dalam hubungan tonggo teparo, kira-kira susah tidak ya mendapat tetangga yang baik?
Kalau menurut saya, sih, susah. Cuma ada dua cara untuk mendapatkan tetangga yang baik. Pertama, stop spall spill kelakuan busuk tetanggamu di medsos. Nggak ada manfaatnya. Justru, rentan memperuncing konflik. Bayangkan jika postinganmu kecium oleh anak, menantu atau bahkan orang yang kamu gibahin itu . Apa nggak tambah runyam?
Selama ada lidah yang berbahasa, maka bicarakanlah. Santai ae, Ngab. Nggak usah nge-gas. Obrolkan kelakuan mereka yang kamu anggap menganggu. Karena siapa tahu, mereka selama ini nggak sadar kalau kelakuannya itu mengganggu. Lha kamunya diem-diem bae, sih. Jadi, dia ngerasanya kamu baik-baik saja. Speak up dong, speak up.
Kalau jalur komunikasi sudah dicoba, bahkan sampai melibatkan pihak ketiga ternyata masih sama saja, pakai cara kedua. Yaitu, pindah jadi tetangga saya. Sayanya baik, sekitar rumah juga baik. Gimana? Tertarik?
Penulis: Dyan Arfiana Ayu Puspita
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 10 Kebiasaan Hidup Bertetangga yang Dianggap Wajar