Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Featured

Sesat Pikir Pertanyaan “Apa yang Sudah Kamu Lakukan untuk Negara?”

Ahmad Abu Rifai oleh Ahmad Abu Rifai
17 Mei 2020
A A
nasionalisme, apa yang sudah kamu lakukan untuk negara

Sesat Pikir Pertanyaan “Apa yang Sudah Kamu Lakukan untuk Negara?”

Share on FacebookShare on Twitter

Salah satu—untuk tidak menyebut satu-satunya—kalimat yang saya ingat dari LKS mata pelajaran PKN adalah quote legendaris John. F Kennedy, “Jangan tanyakan apa yang sudah negara berikan untukmu, tetapi tanyakanlah sumbangsih apa yang telah kamu berikan pada negara.”

Kalimat mutiara itu terasa indah sekali, dalam, dan memberikan semacam energi yang menggelora. Tiba-tiba saya dirasuki perasaan mengharu biru, semacam nasionalisme yang terpatri kuat. Dada saya dipenuhi mimpi-mimpi; saya ingin berkontribusi banyak bagi negeri tercinta.

Tapi bo’ong…

Enggak, deng… itu dulu beneran saya rasakan, setidaknya sebelum mengenal George Orwell yang mengatakan dalam salah satu esainya bahwa nasionalisme (sering kali) hanyalah fasisme dengan nama berbeda—mereka sama-sama menghajar siapa pun yang tak sependapat dengan negara.

Saya kira virus nasionalisme ini tahun-tahun belakangan amat menjakiti sebagian dari kita; mereka merasa paling nasionalis, merasa punya definisi final, dan karenanya tak bisa diganggu gugat oleh suara lain. Umumnya orang-orang seperti ini amat partisan—terutama kepada pemerintah yang sedang berkuasa. Kita bisa melihat dari “aktivis-aktivis” yang sering menodong para pengritik dengan sepenggal quote Kennedy itu—entah beneran terinspirasi atau enggak.

“Hayo, apa yang sudah kamu lakukan untuk negara?’

“Memang kamu siapa kok kritik pemerintah? Kamu sudah ngapain?”

“Sa ae lu kadrun! Dasar penuh kebencian!”

Baca Juga:

Susanti, Sudah Nggak Usah Balik ke Indonesia, kalau Mau Balik, Sehabis Pemilu 2029 Aja

3 Cara Memupuk Nasionalisme selain Menyanyikan ‘Indonesia Raya’

Hellooooo…. Sekate-kate ya kalau ngomong. Sejak kapan warga negara tak boleh mengkritik pemerintah, akal sehat mana yang mampu menerjemahkan bahwa orang yang mengritik auto kadrun yang notabene pada mulanya diatribusikan untuk lawan politik praktis?

Ini adalah sesat pikir yang amat nyata. Quote Kennedy benar-benar jadi sampah.

Begini lho, dik, membungkam orang yang protes dan meminta tanggung jawab pemerintah dengan “apa yang sudah kamu berikan untuk negara” itu secara tak langsung menegasikan fungsi negara sebagai institusi penegak keadilan-kesejahteraan. Lha wong rakyat minta haknya dipenuhi kok enggak boleh. Mau jadi apa?

Dari dulu, sejak Bung Karno dan kawan-kawan merumuskan dasar republik ini, yang diberikan amanah untuk menciptakan kehidupan sejahtera secara sistemik ya negara (pemerintah), bukan rakyat sipil.

Rakyat hanya diminta menjalankan kewajiban seperti patuh membayar pajak—dan kita telah melakukannya meskipun kadang-kadang berat.

Lha masa sudah bayar pajak tapi nggak boleh protes? Katanya rakyat tuan sebenarnya para pejabat?

Makanya normal-normal saja rakyat menuntut ini dan itu, meminta pemerintah menunaikan amanah di pundak masing-masing dalam berbagai bidang. Ambillah contoh dalam penanganan Covid-19: wajar apabila rakyat mengeluhkan penanganan yang terkesan plin-plan dan tak serius—lihat saja perselisihan definisi dalam lingkungan istana, buka-tutup akses transportasi yang tidak (terbahasakan) dengan jelas, dan sebagainya.

Oke, oke.. kesejahteraan memang tak bisa dibebankan hanya pada negara—siapa orang bodoh yang beranggapan begini, bung?

Negara butuh dukungan dari sipil, juga segala gerakan akar rumput yang terkoordinasi dengan baik. Namun lagi-lagi, menggunakan “apa yang sudah kamu lakukan untuk negara” untuk membungkam suara kritis itu tetap sesat pikir.

Gini, lho: semisal rakyat punya kesadaran dan kemauan untuk maju tetapi pemerintah tidak suportif ya sama saja, nggak bisa. Pemerintah punya kendali atas begitu banyak hal secara resmi, sementara rakyat tidak. Menyinggung Covid-19 lagi, misalnya, tanggung jawab pemutusan rantai infeksi memang tanggung jawab bersama. Namun siapa yang punya kekuatan untuk menutup pelabuhan dan bandara, melarang kerumunan di pusat-pusat hiburan kelas menengah ngehek, dan mengalokasi anggaran belanja untuk bantuan sosial dalam skala besar?

Plisss… yang bisa ngelakuin itu cuma (pejabat) negara. Rakyat biasa nggak bisa.

Terkadang saya sedih sekali melihat banyak orang (atau bot) masih gagal paham membedakan suara kritis dan suara kebencian. Hanya karena mengkritik seseorang, bukan berarti di jidat orang tersebut ada cap haram, bukan berarti ia halal “dibunuh”.

Dalam artikel terakhir saya yang dimuat Terminal Mojok beberapa waktu lalu, yang menyinggung Abu Janda dan Denny Siregar, banyak sekali orang yang langsung memvonis saya sebagai kadrun lah, peminum kencing onta lah, atau sebatas warga negara tak tahu terima kasih dan karenanya pantas ditendang ke gurun antah berantah. Padahal kala itu saya juga menyinggung Neno Warisman dan orang-orang bertipe sama—yang mengajarkan kritik kepada “siapa”, bukan kepada “apa” alias nilai.

Saya bertanya-tanya: apakah mereka benar-benar membaca?

Tahun-tahun belakangan banyak asumsi dari beberapa penelitian bahwa Indonesia miskin literasi, bahwa minat baca kita amat terbelakang. Saya sesungguhnya tak ingin menerima itu, lebih-lebih karena satu-dua indikatornya disandarkan pada akses ke teknologi-teknologi canggih secara meluruh. Indonesia punya nilai-nilai kritis sendiri dan tak bisa diukur dengan alat sembarangan, pikir saya, tetapi melihat orang-orang itu, saya jadi amat ragu.

Sesat pikir tentang kontribusi pada negara ini barangkali lagi-lagi merupakan pangkal corak dinamika politik yang mengkhawatirkan selama beberapa tahun. Ia telah mengobrak-abrik tatanan sosial dan kerangka berpikir; ia (turut serta) melahirkan nasionalis-nasionalis bodong yang gemar menunjuk-nunjuk saudara sendiri—sama seperti kelompok fundamentalis cerewet yang kerap kali dijadikan kambing hitam.

John F. Kennedy telah hilang dari muka bumi, kecuali bagi konspirator yang menganggap ia masih hidup karena diculik alien.

Di dalam kuburan, ia barangkali sedang bingung dan curhat pada dinding.

“Quote yang susah-susah kubikin kok dipakai sembarangan buat bungkam orang. Asssuuuuuuuuuu!!!!”

BACA JUGA Kok Bisa sih Ada Orang yang Percaya Abu Janda dan Denny Siregar? atau tulisan Ahmad Abu Rifai lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Terakhir diperbarui pada 17 Mei 2020 oleh

Tags: anti kritikkritik pada negaranasionalisme
Ahmad Abu Rifai

Ahmad Abu Rifai

Takmir BP2M Unnes dan aktif di Kelas Menulis Cerpen Kang Putu

ArtikelTerkait

dangdut

Tolong Dimengerti Bahwa Tidak Semua Orang Indonesia Suka Dangdut

24 Juni 2019
Berdebat dengan Dosen yang Tak Mau Kalah Perihal 'NKRI Harga Mati' terminal mojok.co

Mencari Wajah Nasionalisme Kita

9 Agustus 2019
Tips Melayangkan Kritik Pemerintah tanpa Ditangkap Polisi terminal mojok.co

Kalimat ‘Siap, Bang Jago!’ dan Tanda bahwa Kita Sukar Menerima Kritik  

9 Oktober 2020
nasionalis

Seberapa Nasionalis Kamu?

15 Agustus 2019
Metallica

Hanya Orang Bodoh yang Percaya Kalau Metallica Beneran Memainkan Indonesia Raya

23 Agustus 2019
jadi presiden selama sehari lambang negara jokowi nasionalisme karya anak bangsa jabatan presiden tiga periode sepak bola indonesia piala menpora 2021 iwan bule indonesia jokowi megawati ahok jadi presiden mojok

3 Cara Memupuk Nasionalisme selain Menyanyikan ‘Indonesia Raya’

24 Mei 2021
Muat Lebih Banyak

Terpopuler Sepekan

Lamongan Megilan: Slogan Kabupaten Paling Jelek yang Pernah Saya Dengar, Mending Diubah Aja Mojok.co Semarang

Dari Wingko Babat hingga belikopi, Satu per Satu yang Jadi Milik Lamongan Pada Akhirnya Akan Pindah ke Tangan Semarang

30 November 2025
3 Alasan Saya Lebih Senang Nonton Film di Bioskop Jadul Rajawali Purwokerto daripada Bioskop Modern di Mall Mojok.co

3 Alasan Saya Lebih Senang Nonton Film di Bioskop Jadul Rajawali Purwokerto daripada Bioskop Modern di Mall

5 Desember 2025
QRIS Dianggap sebagai Puncak Peradaban Kaum Mager, tapi Sukses Bikin Pedagang Kecil Bingung

Surat untuk Pedagang yang Masih Minta Biaya Admin QRIS, Bertobatlah Kalian, Cari Untung Nggak Gini-gini Amat!

5 Desember 2025
Madiun, Kota Kecil yang Banyak Berbenah kecuali Transportasi Publiknya Mojok.co

Madiun, Kota Kecil yang Sudah Banyak Berbenah kecuali Transportasi Publiknya

2 Desember 2025
3 Alasan Soto Tegal Susah Disukai Pendatang

3 Alasan Soto Tegal Susah Disukai Pendatang

30 November 2025
Alasan Orang Solo Lebih Hafal Jalan Tikus daripada Jalan Utama

Alasan Orang Solo Lebih Hafal Jalan Tikus daripada Jalan Utama

30 November 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=HZ0GdSP_c1s

DARI MOJOK

  • JogjaROCKarta 2025: Merayakan Perpisahan dengan Kemegahan
  • Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar
  • Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada
  • Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama
  • Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?
  • Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra


Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.