Armada bus Mulyo sudah reyot
Di sisi lain, armada bus Mulyo memang sudah tua dan tidak lagi menarik. Kebanyakan menggunakan bus model tua. Armada yang saya naiki terakhir kacanya kendor menimbulkan suara sepanjang perjalanan. Belum lagi kenalpot yang meraung-raung mengeluarkan suara kasar dan serak pertanda armada tidak mendapat perawatan seharusnya.
Saya sempat menghitung, dari Gombong, Kebumen sampai Klepu, Purworejo, bus Mulyo yang saya naiki ini hanya mengangkut 9 sampai 11 orang dari total kapasitas sekitar 40 penumpang. Beberapa menyusul naik, tetapi hanya 1 atau 2 orang. Pokoknya, jumlahnya kurang dari separuh jumlah murid kelas di SD negeri pinggiran.
Kebanyakan penumpang bus Mulyo naik dengan jarak yang pendek. Jarang ada penumpang yang full trayek dari awal hingga tujuan akhir. Penumpanya didominasi oleh para pedagang yang hendak pergi atau pulang ke pasar. Di hari-hari kerja, utamanya di waktu jam berangkat, bus ini banyak mengangkut pegawai, anak sekolahan hingga mahasiswa. Bus memang terlihat ramai di jalur-jalur tertentu, tapi ketika memasuki Gombong hingga Purwokerto bus tampak sepi.
Penumpang sedikit, setoran makin sulit
Minimnya jumlah penumpang yang diangkut membuat bus Mulyo tak menyelesaikan rute perjalan hingga akhir. Saya masih ingat, beberapa tahun yang lalu, saya menggunakan bus Mulyo dan berakhir dioper ke bus lain karena memang jumlah penumpang yang sedikit.
Sulitnya mendapatkan penumpang jelas merepotkan urusan setoran bagi sopir dan kenek bus Mulyo. Sesulit apapun kondisinya di jalan, uang setoran tetap harus disetor kepada perusahaan. Sementara, bus melaju memerlukan solar. Tidak jarang awak bus harus tombok demi memenuhi biaya operasional.
Tombok biaya operasional adalah hal yang berat. Apalagi hasil “narik” bus sehari-hari tidaklah besar. Pernah dalam sehari dia hanya mendapat Rp75.000 setelah bekerja seharian. Angka yang kecil untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, belum kalau harus tombok untuk bahan bakar. Pernah suatu waktu busnya hanya mengangkut 3 penumpang, itu pun turun di Purworejo. Dia tetap nekad meneruskan perjalanannya hingga ke Jogja. Ujung-ujungnya dia boncos.
Rohani merasa sudah tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan bus yang satu ini. Senja kala bus Mulyo sudah tidak bisa terhindarkan lagi. Roda bus armada bus Mulyo kalah cepat dari laju roda perubahan dunia ini. Sebagai seseorang yang pernah merasakan kejayaan bus Mulyo, sebenarnya saya sedih dengan kondisi saat ini, hanya saja saya tahu, bertahan pilihan yang lebih sulit.
Penulis: Muhamad Iqbal
Editor: Kenia Intan
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.