Orang yang tinggal di pegunungan dalam jangka waktu lama biasanya akan mengalami apa yang disebut sebagai aklimatisasi. Manusia yang terlalu sering membawa beban berat di tubuhnya juga mengalami penyesuaian. Kita mengalami banyak hal dalam hidup. Berhadapan dengan perubahan adalah salah satunya. Berkawan atau menjadikan lawan, semua menjadi pilihan kita. Kita punya nilai-nilai dasar yang berakar jauh di dasar pikiran. Kita punya pokok-pokok idealisme tersendiri yang mati-matian kita bela. Kita punya perbekalan masing-masing sebelum saling mencicipi bekal orang lain. Layaknya kopi dicampuri susu atau minyak dituang ke air, kita selalu punya pilihan.
Untuk bisa ‘bercampur’ dengan orang lain, manusia punya batas toleransi. Akankah kita sisihkan satu jengkal atau satu meter untuk orang tersebut? Dalam proses memahami orang lain, akan tiba waktunya bagi kita untuk mengambil keputusan. Ada hal-hal yang tidak kita sukai namun teman kita senangi. Ada hal-hal yang kita sama sekali tidak tertarik di dalamnya, tetapi sahabat kita menceritakannya dengan antusias. Cerita-cerita yang hanya berputar di luar kepala, tapi terus terdengar. Pengalaman masa kecil yang tidak terlalu penting, namun sesekali mengambil waktu kita.
Lalu, sampai di mana sebaiknya kita meletakkan batas aklimatisasi?
Beberapa waktu yang lalu, dalam sekelebat pemikiran, saya mulai memiliki cara pandang baru. Di saat kita ingin memahami orang lain, di saat yang sama pula, sesungguhnya, orang lain tersebut sedang mencoba memahami kita. Di saat sisi egoisme kita menganaktirikan cerita demi cerita yang orang lain katakan, sebenarnya saat itu juga kita sedang menolak keberadaan orang lain. Other words, kita tidak ingin dipahami.
Remah-remah yang orang lain berikan akan selalu ada, tapi kita punya perbekalan pokok sendiri. Ibarat sebuah piring kosong, kita sudah meletakkan setangkup nasi di atasnya. Piring itu masih bisa ditempati remah-remah lain. Orang lain datang, lalu memberi di atasnya, sayur bayam, buah jeruk, dan cumi goreng tepung. Orang tersebut terlihat sangat bahagia ketika memberikannya ke piring kita. Kita terdiam. Sejenak berpikir. Andaikata, dari tiga remah tersebut, hanya cumi goreng tepung yang bisa kita terima, maka semakin lama pula kita berpikir. Sayur bayam dan buah jeruk, kita tak butuh. Tapi apa ruginya jika kita makan?
Konklusi yang berbeda akan timbul jika kita mendapati ‘ibarat’ yang berbeda. Di piring kita sudah tersedia setangkup nasi. Orang lain datang. Meletakkan setangkup sayur bayam, dua tangkup seledri, tiga tangkup brokoli. Piring kita overloaded. Orang tersebut masih harus meletakkan dua tangkup tomat di piring kita. Ia bertanya bagaimana. Lalu kita menyingkirkan separuh nasi, perbekalan pokok yang justru kita bawa dari awal. Lama-lama, nasi yang tinggal separuh itu kita singkirkan semuanya demi remah-remah yang diberikan orang lain secara cuma-cuma. Pada akhirnya, kita akan mengikuti gaya sarapannya, menu makanannya, dan kebiasaan orang tersebut.
Seberapa jauh kita akan memberi diri untuk aklimatisasi?
Dalam bergaul dan berkawan dengan orang lain, aklimatisasi akan selalu ada. Problem is, how much it is. Saat berkawan, kita akan berbagi. Kita akan diberi. Hal apapun itu. Ide, pemikiran, lompatan masa lalu, mimpi yang jarang diceritakan, ambisi, cara pandang, dan segala remah yang ada. Seberapa bisa dan sampai kapan kita mengaklimatisasi diri terhadap hal tersebut? Tiap orang punya jawaban yang berbeda. Dan tentu saja alasan mereka masing-masing. Ada yang terlampau independen sehingga batas toleransi mereka hanya satu digiti. Ada yang terlampau murah hati sampai-sampai perbekalan pokok mereka hilang tak berbekas. Apakah saya ada di dua polaritas ini?
Akhir-akhir ini saya belajar, untuk terus bergerak di antaranya. Mengapa harus bergerak? Karena jika kita diam saja, cepat atau lambat, kita akan mencapai salah satu dari dua polaritas tersebut. Artinya, untuk mengatur seberapa besar dan sampai kapan kita mengaklimatisasi diri, kita butuh tenaga. Butuh pertimbangan, pemikiran, dan hati yang tegak. Kemudahan tak akan sering-sering muncul saat kita mencoba memahami orang lain.
Apakah untuk bisa akrab dengan para perempuan, kita mesti bergosip? Apakah untuk bisa akrab dengan para lelaki, kita mesti belajar merokok? Apakah untuk bisa terserap dalam sebuah society, mestinya kita melupakan nilai dasar yang selalu kita anut? Seberapa sering kita melampaui batas toleransi diri kita terhadap orang lain? Haruskah kita berlumpur hanya demi membuat orang lain terkesan? Haruskah kita membuat lelucon-lelucon bodoh hanya demi membuat orang lain tertawa? Dalam rangka ingin dipahami orang lain, haruskah kita menutupi sisi-sisi terbaik dari diri kita? Dan menggantinya dengan remah-remah orang lain?
Manusia mesti berprinsip. Prinsiplah yang akan menuntun kita pada banyak keputusan. Prinsiplah yang menuntun kita menghadapi perubahan. Prinsiplah yang menjadi tiang pegangan kita ketika mencoba memahami orang lain. Kita bisa mengorbankan sisi-sisi lain, asalkan bukan prinsip. Kita bisa mengaklimatisasi diri, asalkan tidak mengorbankan prinsip.