Setelah mencoba sendiri, ternyata terbukti sempak Indomaret jauh lebih nyaman. Coba deh beri kesempatan pada sempak jelata ini.
Sebagai lelaki dengan taraf hidup yang masih berjuang, saya tidak pernah benar-benar peduli dengan merek sempak. Bagi saya, selama ia bisa melindungi aset negara di antara kedua paha dan tidak membuat saya merasa seperti ada kawat berduri di selangkangan, sudah cukup. Namun beberapa waktu lalu, saya melihat podcast tentang obrolan Mas Agus Mulyadi yang membahas soal sempak (CD), dan ini mengubah cara pandang saya terhadap dunia persempakan.
Katanya, ada orang yang rela beli sempak mahal di mall, dengan harga yang bisa buat makan ayam geprek sebulan penuh, tapi ujung-ujungnya tetap lebih nyaman pakai sempak dari Indomaret. Saya yang skeptis—karena ya masa iya, sempak ecek-ecek bisa mengalahkan brand yang dijual di mall—akhirnya memutuskan untuk melakukan sebuah eksperimen ilmiah (baca: coba-coba iseng).
Tahap eksperimen dimulai, membeli dan menguji sempak mahal vs sempak Indomaret
Saya pun melangkahkan kaki ke dua tempat berbeda. Pertama, ke sebuah mall yang tampak sangat tidak ramah terhadap saldo rekening saya. Saya masuk ke sebuah toko pakaian dalam pria yang pencahayaannya terang banget, seolah-olah mereka ingin memastikan setiap pori-pori pelanggan terlihat jelas. Saya mendekati rak sempak dengan harga yang membuat jiwa saya bergetar. Dengan berat hati, saya pun membeli satu yang harganya hampir setara dengan dua porsi tongseng kambing plus es teh jumbo.
Setelah itu saya melipir ke Indomaret. Di Indomaret, sempak dijual dengan harga yang lebih manusiawi, lebih sesuai dengan kantong rakyat jelata seperti saya. Saya mengambil satu, sambil menahan diri untuk tidak sekalian beli ciki.
Setelah belanja, eksperimen pun dimulai.
Baca halaman selanjutnya: Hari pertama mencoba sempak mahal yang dibeli di mall…
Hari pertama: mencoba sempak mahal yang dibeli di mall
Pagi itu, saya mengenakan sempak mahal yang saya beli di mall. Saya berharap merasakan perubahan hidup instan. Siapa tahu, pakai sempak mahal bisa bikin lebih percaya diri atau minimal meningkatkan kewibawaan.
Tapi ternyata… tidak ada yang berubah.
Saya tetaplah saya, seorang pemuda biasa yang masih sering lupa naruh kunci motor. Bahkan setelah beberapa jam, saya mulai merasa ada yang tidak beres. Karet pinggangnya terasa terlalu kencang, bahannya terlalu licin sehingga terasa seperti ada sesuatu yang tidak stabil di sana. Dan yang paling menyebalkan, ketika saya duduk lama, rasanya ada gesekan yang mengancam ketentraman selangkangan.
Ini sempak mahal, kenapa rasanya kayak latihan jadi ninja yang duduk di paku?
Hari kedua: mencoba sempak Indomaret
Dengan perasaan skeptis, saya memakai sempak Indomaret keesokan harinya.
Dan… wah!
Karet pinggangnya pas, tidak menyiksa. Bahannya lembut tapi tidak licin, sehingga aset negara tetap berada di posisi strategis tanpa harus selalu aku betulkan. Bahkan setelah seharian beraktivitas, tidak ada rasa perih, tidak ada gesekan mencurigakan, tidak ada rasa seperti sedang dihukum oleh Tuhan karena dosa masa lalu.
Sempak Indomaret ini nyaman banget.
Filosofi kenyamanan sejati
Dari eksperimen ini, saya menyadari sebuah pelajaran hidup yang cukup dalam: yang mahal belum tentu nyaman, dan yang nyaman belum tentu mahal.
Terkadang, kita terlalu sibuk mengejar sesuatu yang berlabel premium, dengan anggapan bahwa harga menentukan kualitas. Kita beli sepatu mahal, tapi tetap lebih suka nyeker di rumah. Kita beli kopi branded, tapi tetap lebih nikmat minum kopi sachet di warung. Atau kita beli sempak mahal, tapi ternyata lebih nyaman pakai sempak Indomaret.
Mungkin kenyamanan sejati itu bukan tentang harga, melainkan tentang kesesuaian. Bukan tentang gengsi, tapi tentang bagaimana sesuatu bisa membuat kita merasa baik tanpa paksaan.
Jadi, buat kalian yang masih ragu, coba deh kasih kesempatan ke sempak-sempak rakyat jelata. Karena siapa tahu, kenyamanan sejati tidak ada di mall, melainkan di rak paling bawah Indomaret.
Penulis: Janu Wisnanto
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA ZB Man Adalah Sempak Paling Setil yang Pernah Saya Pakai.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
