Kalau di Jogja ada Sorowajan yang diceritakan oleh Mas Nur Muhammad Ikhsanun dalam tulisannya sebagai tempat favorit untuk ngopi dan diskusi ndakik-ndakik Mahasiswa UIN Jogja, maka UIN Jakarta punya Semanggi. Daerah sempit dengan gang-gang kecil di sebelah kampus 1 UIN Jakarta. Dari zaman sebelum saya di UIN Jakarta sampai saya sudah lulus dari UIN Jakarta, Semanggi selalu identik dengan diskusi dan daerah yang “ramai.”
Meskipun cuman daerah yang sempit dan padat pemukiman warga, Semanggi spesial dan akan selalu spesial di hati mahasiswa UIN Jakarta, cielah. Dibandingkan dengan Sorowajan yang dikatakan penuh dengan warung-warung kopi yang hype dan mentereng namanya, rasanya Semanggi jauh dari hal itu. Akses masuknya hanya bisa dilewati oleh motor, bahkan ada yang cuman bisa dilewati dengan berjalan kaki. Satu-satunya kedai kopi yang lumayan terkenal di sana cuman satu, Marginal kalau tidak salah nama kedai kopinya.
Tapi, kenapa ya bisa jadi tempat yang saya dapat katakan setara dengan Sorowajan? Tentu ada alasan khususnya.
Tempat yang sempit
Semanggi tidak terkenal sebagai dengan warung kopi terkenal yang mentereng namanya, tapi daerah yang ramai dengan sekretariat organisasi mahasiswa. Mulai dari sekretariat organisasi primordial sampai organisasi eksternal mahasiswa.
Karena hal tersebut, Semanggi jadi ramai untuk “ngopi” bagi para mahasiswa. Ngopi dalam tanda kutip yang berbeda maknanya, ya. Bukan ngopi-ngopi cantik menenggak V60 atau americano. Tidak, Bro. Ngopi yang isinya pasti melahirkan manifestasi (si paling manifestasi) dan hasil. Walaupun, ya, hasil-hasil untuk kegiatan politik mahasiswa di kampus.
Pencetak tokoh besar
Sama dengan Sorowajan yang melahirkan tokoh-tokoh besar, Semanggi juga demikian. Mulai dari tokoh akademis, politik, sampai musisi pun ada. Banyak tokoh-tokoh dari UIN Jakarta. Tanpa Semanggi, mungkin kita tak akan mengenal Azyumardi Azra sampai Band Wali. Karena banyaknya organisasi dan orang-orang dengan berbagai latar belakang, Semanggi tentu menjadi tempat embrio-embrio tokoh besar tumbuh. Selalu begitu.
Daya tarik yang misterius
Entah apa sebabnya, tapi Semanggi mampu mengumpulkan banyak orang dari berbagai latar belakang. Kamu boleh jadi jenis mahasiswa yang doyan diskusi, baca buku berat, merasa diri adalah agen perubahan atau jadi mahasiswa santai yang cuman gitaran sambil nongkrong dengan teman kampus. Apa pun jenismu itu, Semanggi akan menerima dengan tangan terbuka. Oleh karena itulah, eksistensi terbangun dan mampu membuat masing-masing orang di dalamnya dapat mengeluarkan potensi diri masing-masing.
Miniatur kehidupan
Semanggi dengan segala isinya seperti miniatur. Miniatur hidup yang sepertinya jadi salah satu faktor yang membuatnya istimewa. Mulai dari perkara remeh-temeh seperti masalah kosan, sampai masalah sosial macam motor dicuri. Oleh karena itu, Semanggi tidak pernah sempurna. Tapi itulah indahnya, ketidaksempurnaan lah yang membuatnya istimewa. Semanggi menjadi percontohan hidup, mulai dari yang baik sampai yang buruk.
Daerah lain di Ciputat makin bersolek. Legoso makin ramai dan penuh dengan toko-toko fomo, Kertamukti yang makin gemerlap dengan Lawson berisi anak kampus 2 yang tajir, jalan depan kampus 1 masih macet. Tapi, Semanggi mungkin akan selalu sama. Tetap berisi banyak orang dari macam-macam jenis, dan jadi tempat favorit karena murah walaupun kalau mau jauh ke mana-mana.
Ya, semoga saja selalu seperti itu ya. Kalau nggak, ya, mau dikata apa. Namanya juga hidup.
Penulis: Nasrulloh Alif Suherman
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 4 Hal Jadi Mahasiswa UIN Jakarta Itu Nggak Enak
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.