Meskipun saya bukan bagian dari peserta seleksi PPPK karena saat ini masih menyandang status mahasiswa. Nantinya apa yang dirasakan para peserta begitupun juga saya rasakan. Saya kuliah di jurusan pendidikan, dan jelas, proyeksi kerja akan menjadi seorang guru. Sudah pasti berkeinginan menjadi PNS atau lolos PPPK.
Seleksi PPPK tahun ini sangat ditunggu oleh banyak orang. Pasalnya, alasan dasar pemerintah mengadakan tes seleksi PPPK untuk mengentaskan para pegawai honorer se-Indonesia yang telah menjamur, termasuk guru honorer. Namun, ada juga kok yang dibuka untuk non-guru. Tetapi, yang jadi isu utama adalah, bagaimana bisa lulusan PPG bisa ikut seleksi ini, padahal guru honorer masih banyak dan berlipat ganda?
Saya tidak mau memperdebatkan mengenai kalangan PPG. Mungkin satu sisi biar adil, mempertimbangkan biaya kuliah profesi mereka segede gaban, ehm. Mungkin pemerintah niatnya baik, semua orang berhak sejahtera, meski mengabaikan starting point tiap orang jelas beda. Tapi, niat baik itu justru punya masalah.
Bagaimana tidak, untuk menjadi pegawai setara PNS yang diselipkan embel-embel “kontrak” ini harus mengikuti tes seleksi penerimaan yang ribetnya minta ampun. Kalau dari saya pribadi sih sah-sah saja agar apa biar yang masuk telah melewati serangkaian kompetensi supaya menjadi seorang PNS benar-benar orang profesional. Akan tetapi yang menjadi sorotan mata banyak orang adalah seleksi kompetensi PPPK. Ada apa memangnya?
Akhir-akhir ini yang menjadi perbincangan khalayak ramai bahwa seleksi kompetensi PPPK yang sangat sulit. Pada seleksi kompetensi PPPK tahap pertama tanggal 13-17 September lalu ditemukan para peserta banyak nilainya yang tidak mencapai ambang batas. Pokoknya banyak kabar yang beredar bahwa hampir semua peserta di setiap lini bidang mata pelajaran berguguran. Artinya, sangat sulit menembus ambang batas yang telah ditetapkan.
Seperti apa yang dialami kakak saya sendiri. Blio barusan mengikuti seleksi PPPK, tetapi gagal dalam seleksi kompetensi PPPK. Padahal jauh-jauh hari persiapan belajar sudah dilakukan blio. Tiba saat ujian, yang dipelajari tidak keluar. Padahal blio sendiri belajar dari modul resmi yang dikeluarkan pemerintah. Apakah ini bisa masuk dalam kategori prank?
Belum lagi saya ceritakan perjalanan blio ke lokasi ujian yang memakan waktu satu jam. Itu pun waktu ujiannya dimulai pukul 07.00 harus on time, meskipun diberikan 15 menit batas toleransi waktu. Ini mah namanya harus berpacu pada melodi waktu. Mungkin peserta lain ada yang lebih dari blio dalam hal waktu perjalanan. Kalau ini pasti ngekos atau menginap di sekitar lokasi ujian yang diikuti.
Jadi teringat sebuah kisah yang baru-baru ini viral di media sosial, seorang guru usia senja ikut ujian PPPK. Singkat cerita blio seorang guru honorer yang berusia lebih dari 50 tahun. Alhasil gagal dalam ujian kompetensi PPPK. Mungkin ada juga yang senasib dengan blio tetapi tidak terekspos oleh media. Saya menulis ini sampai mau meneteskan air mata lho.
Ada yang mengatakan, “Kan masih ada dua kesempatan ujian lagi?” Begitulah kalimat penyambung harapan meski para peserta gagal telah insecure di awal. Maksudnya, buat apa mengharapkan tes kedua kalau tes pertama aja udah nggak ngotak kadar kesulitannya?
Lalu, ada segelintir orang mengatakan, “Kalau (ujian) tidak mencapai ambang batas kan masih ada afirmasi PPPK?” Sebelum saya menjawab pertanyaan ini lebih jauh, saya harus jelaskan apa yang dimaksud dengan afirmasi PPPK. Afirmasi PPPK adalah kebijakan nilai tambahan yang diberikan pada penilaian Kompetensi Teknis dengan kriteria tertentu.
Merujuk pada Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Bikrokrasi (PermenPANRB) No. 28 Tahun 2021, pasal 28 dijelaskan yang termasuk kriteria,yaitu: (1) pelamar dengan sertifikat pendidik liner mendapat penambahan nilai 100%, (2) pelamar berusia 35 tahun ke atas mendapat penambahan nilai 15%, (3) pelamar penyandang disabilitas mendapatkan tambahan nilai sebesar 10%, (4) pelamar THK-II dan aktif mengajar sebagai guru paling singkat 3 tahun mendapatkan tambahan nilai masing-masing 10%. Udah kelihat ketimpangannya kan?
Hal tersebut jelas bikin guru honorer makin resah. Pada akhirnya muncul sebuah petisi yang dilayangkan oleh Pengurus Forum Honorer Non-kategori Dua Persatuan Guru Honorer Republik Indonesia (FHNK2 PGHRI) dari Kab. Banyuwangi, Jawa Timur sebagaimana inti poinnya agar menaikkan nilai afirmasi yang dinilai kurang adil.
Kalau sudah begini siapa yang semestinya disalahkan, apakah Mendikbud Ristek yang menyusun soal atau salah peserta sendiri yang tidak belajar sehingga tidak bisa capai nilai ambang batas? Nggak tahu sih, tapi yang jelas sekarang isu yang beredar tentang Kemendikbud Ristek adalah tentang renovasi ruang kerja. Loh, penting lho itu, seleksi PPPK yang nggak adil mah apa atuh.
Harapan saya, Semoga suara keluhan para peserta PPPK didengar oleh pemerintah untuk kemudian disetujui. Kalau bisa kedepannya guru honorer itu diangkat saja deh tanpa mengikuti tes seperti zaman SBY lalu. Ah sudahlah mana mungkin, beda zaman beda kebijakan~