Selamat Tinggal Bekasi, Ternyata Semarang Lebih Indah untuk Ditinggali

Selamat Tinggal Bekasi, Ternyata Semarang Lebih Indah untuk Ditinggali dialek semarang

Selamat Tinggal Bekasi, Ternyata Semarang Lebih Indah untuk Ditinggali (Pixabay.com)

Setelah menjejak Semarang, ternyata, kota ini jauh lebih menyenangkan ketimbang kampung halaman saya, Bekasi

Sudah 21 tahun saya tinggal di Bekasi, menetap di kota yang cukup memiliki banyak kenangan tentang masa-masa saya sekolah, masa-masa saya bertumbuh dewasa bersama keluarga dan teman-teman sebaya, serta masa-masa saya mati-matian mengejar masa depan nantinya.

Sebagai seseorang yang sebetulnya asosial, nggak ngerti cara interaksi secara natural sama orang lain, nggak biasa ngobrol asik sama manusia lainnya membuat saya versi remaja tidak paham betul dunia sekitar. Bahkan, untuk sekadar ditanya alamat sama orang lewat di depan gang rumah pun saya geleng-geleng kepala karena setidak-tahu itu. Jadilah saya sebagai orang yang kalau-kata-bahasa-sekarang anak introvert. Keluar rumah seperlunya, kehidupan saya 95 persen lihatin layar handphone atau laptop saja. Saat pandemi pun saya sumringah kegirangan karena orang-orang nggak ada yang ngajak saya nongkrong di luar.

Ketika berbagai institusi pendidikan sudah mewajibkan pelajarnya untuk kembali menjalani aktivitas belajar seperti biasa, mau tidak mau saya harus siap berangkat ke kota Semarang. Apakah saya sebelumnya pernah tinggal di sana? Tentu tidak. Ini adalah pengalaman pertama saya merantau.

Ketika saya bercerita kepada teman-teman saya di kampus, mereka cukup kaget mengetahui bahwa saya malah lebih betah tinggal di Semarang. Aneh, menurut mereka kenapa orang Jabodetabek dengan segala fasilitas publik yang memadai, akses pendidikan mumpuni, sampai dengan peluang lapangan kerja yang tak hingga bisa-bisanya lebih memilih suasana Semarang. Namun, setelah berada di sini saya pikir ada beberapa hal yang tidak mungkin saya temui di Bekasi. Kota dimana saya berasal nyatanya memiliki beberapa perbedaan dengan Semarang.

Tingkat kejahatan Semarang tidak separah Bekasi

Membahas tingkat kejahatan, agak susah tolok ukurnya. Paling mudah memang melihat data kepolisian dan BPS, namun kita bisa menggunakan pengalaman kita, meski kurang akurat. Tetapi selama di Semarang terutama daerah Sekaran yang sedang saya tinggali saat ini, saya berani-berani saja keluar dini hari hanya untuk membeli es krim di minimarket yang buka 24 jam. Bahkan, saya dan teman-teman sering sekali mengerjakan tugas di luar sampai tidak ingat waktu.

Meski begitu, ketika kami pulang ke kos masing-masing tidak terjadi hal mengerikan apa pun. Paling mentok hal yang kita takuti cuma pintu gerbang kos yang kekunci, hehehe.

Hal yang sungguh serta sangat berbanding terbalik dengan Bekasi. Mau balik dari urusan di luar rumah lewat dari jam sebelas malam saja rasanya sudah nggak karu-karuan. Waswas dan keringat dingin karena takut sekali menjadi korban begal di jalan. Nggak cuma begal, sekelompok anak remaja tanggung yang hobinya mengacungkan clurit sambil kebut-kebutan di jalan juga ada. Belum lagi biasanya ada orang-orang yang nongkrong di pinggir jalan dengan keadaan setengah sadar dan ngomongnya sudah ngelantur ikut menghiasi malam hari di sini.

Baca halaman selanjutnya

Semarang atas di malam hari…

Semarang atas di malam hari

Mungkin orang-orang yang belum pernah ke Semarang cuma tahu kalau kota ini hanyalah daerah yang dekat dengan pantai dan udaranya panas saja. Padahal, Semarang itu terbagi menjadi dua bagian. Ya, dibagi menjadi Semarang atas dan bawah. Untuk Semarang Bawah sendiri sebetulnya adalah jantungnya kota ini. Bagi yang familiar dengan Lawang Sewu, Kota Lama, Simpang Lima, daerah Pandanaran, atau Sam Poo Kong, itu termasuk daerah Bawah.

Nah, siang hari di sini memang tidak manusiawi, panasnya itu sangat menusuk tulang. Sedangkan daerah Semarang Atas memang cukup panas, tetapi tidak separah bagian bawah.
Meskipun daerah atas minim tempat rekreasi, tapi kalau kalian ke sini di malam hari siap-siap terpesona melihat keindahan skylight kota Semarang yang indah.

Sungguh hal yang cukup langka untuk melihat keindahan lampu-lampu di malam hari jika kamu tinggal di Bekasi. Pun pemandangan lampu-lampu yang bisa kita lihat di Semarang Atas berasal dari penerangan rumah warga, bukannya gedung-gedung tinggi pencakar langit. Selain itu, topografi yang naik turun juga menambah keindahan yang terpancar saat momen ini terjadi.

Makanannya murah nggak ngotak

Kalau jajan makanan pinggir jalan di Bekasi sih standarnya ada di kisaran lima belas ribu, setidaknya. Itu pun opsi yang termasuk paling murah untuk seukuran makan malam di sana. Sementara itu, saat saya tinggal di Semarang sebagai mahasiswi perantauan, saya malah dikejutkan dengan harga makanan yang cukup terbilang ramah kantong. Di dekat kos saya sendiri saja misalnya, nasi pakai ayam dan sambal dipatok harga tujuh ribu lima ratus saja.

Bahkan, kalau penjualnya repot dan tidak ada uang kembalian bisa saja harganya dimurahin biar uang kembalinya bulat. Di sini juga banyak sekali burjo, saya sampai kaget sewaktu tahu ada beberapa burjo yang ternyata cabang keempat, cabang kelima, dan cabang-cabang lainnya. Sebetulnya balik lagi sih, pengeluaran untuk makan memang mengikuti standar hidup masing-masing orang.

Sistem transportasi publik

Jujur saya sebagai kaum mahasiswa irit terbantu dengan adanya sistem transportasi yang murahnya kelewatan. Trans Semarang, konsepnya kayak Trans Jakarta dengan berbagai rute yang luas jangkauannya serta tergolong pengertian sama isi dompet. Bayangkan saja, untuk mahasiswa hanya dipatok harga seribu rupiah sudah bisa keliling kota.

Coba saja kalau ke Bekasi, boro-boro naik angkutan umum, orang-orang di sini pasti sudah misuh-misuh duluan soalnya kalau tidak mengandalkan motor ya siap-siap saja kena macet sampai mual. Memang sih, transportasi publik di Bekasi lengkap. Kurangnya adalah pemerintah yang lupa kalau transportasi dalam Kota Bekasi sendiri belum layak. Mayoritas layanan hanya sekedar commuting Jabodetabek. Paling mentok ya pesan ojol.

Sebetulnya masih banyak sekali faktor lain yang membuat kota Semarang dalam perspektif saya lebih manusiawi untuk menjadi tempat tinggal. Tapi, menurut saya ini saja sudah cukup pake banget. Yang jelas, ini tidak dalam rangka jelek-jelekin Bekasi, tapi kalau bisa mah, berbenah. Nggak ada salahnya juga kan jadi lebih baik?

Penulis: Anisa Cahyani
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Bendera Partai di Jalanan: Ide Kuno yang Nggak Relevan

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version