Aksi massa terjadi di beberapa wilayah. Buntut dari kerja anggota dewan yang kejar tayang sebelum masa jabatan berakhir. Berbagai elemen masyarakat turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasi. Mahasiswa berada di barisan paling depan memimpin gerakan. Banyak hal yang menjadi tuntutan massa aksi. Salah satunya, menuntut Presiden Jokowi untuk mengeluarkan Perppu guna membatalkan RUU KPK yang sudah terlanjur disahkan oleh DPR meski mendapat banyak kritikan.
Sekarang ini, Presiden Jokowi sedang dikritik habis-habisan. Bahkan oleh orang-orang yang memilihnya di Pilpres yang lalu. Tapi ternyata masih ada orang-orang yang setia membelanya. Kita mengenal orang-orang tersebut sebagai ‘buzzer-buzzer’ istana.
Kita sudah tidak asing dengan istilah buzzer. Mereka biasanya muncul saat pemilihan umum. Ada saja kandidat yang bertarung di pemilihan umum akan menyewa buzzer untuk menggiring opini publik di media sosial. Makanya ada istilah “perang buzzer”. Tidak usah jauh-jauh. Tengoklah Pemilu yang lalu.
Sekarang Pemilu sudah lewat. Tapi sepertinya ada beberapa buzzer yang belum ‘dibebas tugaskan’. Jasa mereka masih digunakan untuk terus membela semua kebijakan pemerintah.
Sekarang, tugas buzzer ini lumayan menantang. Mereka harus mencari pembenaran atas semua hal yang dilakukan Pemerintah. Mereka bertugas menggiring opini publik tentang apa yang terjadi. Sepertinya ada satu peraturan yang ditanamkan “Kakak Pembina” kepada buzzer-buzzer ini—Pak Jokowi tidak pernah salah.
Demonstrasi sedang terjadi dengan sangat massive. Buntut dari disahkannya RUU KPK—yang berpotensi melemahkan KPK dan juga RUU ngawur lainnya. Untuk membenarkan pengesahan RUU KPK ini, para buzzer membangun opini publik dengan memainkan isu “ada taliban” di tubuh KPK. Walaupun narasi ini memang hanya asumsi dan tidak (akan) pernah bisa dibuktikan.
Membangun isu “taliban” di tubuh KPK sepertinya tidak cukup efektif. Nyatanya aksi massa tetap saja terjadi di berbagai daerah. Tapi, buzzer-buzzer ini tidak menyerah. Mereka menggunakan cara-cara kotor yang lain. Sekarang mereka memainkan berbagai isu lain untuk mendiskreditkan gerakan mahasiswa.
Isu yang dibangun adalah kalau gerakan-gerakan ada yang menunggangi. Berbagai narasi dibangun. Para buzzer menuduh gerakan ini sebagai gerakan agar Pak Jokowi tidak jadi dilantik. Selain itu, gerakan ini juga dituduh gerakan makar karena dituduh bermaksud menurunkan Pak Jokowi. Padahal sudah sangat jelas, tidak ada kalimat “Jokowi Turun” dalam gerakan mahasiswa ini.
Sama seperti isu “taliban”, isu ini juga hanyalah sekedar asumsi yang tidak bisa dibuktikan dengan data dan fakta. Nyatanya, gerakan ini memang lahir atas ketidak bijakan pemerintah dalam mengambil keputusan.
Buzzer-buzzer ini memang sangat pandai dalam memainkan opini ke publik. Beberapa dari mereka memang—seperti kata Tempo—adalah mantan wartawan. Jadi tidak begitu sulit bagi mereka untuk membuat tulisan yang memang susah untuk tidak dipercaya.
Tidak cukup sampai disitu, buzzer-buzzer ini juga membuat hoax. Seperti kasus Whatsapp Grup anak STM yang lalu. Diposting oleh salah satu akun yang diduga adalah buzzer. Chat Whatsapp yang seolah-olah dilakukan anak STM tersebut menunjukan kalau anak STM yang turun ke jalan itu dibayar.
Tapi, setelah di-cek menggunakan aplikasi Truecaller dan Getcontact, nomor-nomor tersebut diduga milik para anggota kepolisian. Entah benar atau tidak. Satu hal yang pasti, setelah ditemukannya fakta tersebut, buzzer yang memposting screen capture dari WAG STM itu kemudian menghapus portingan tersebut. Pertanyaannya, kenapa harus dihapus? Walaupun memang sekarang polisi sudah menetapkan siapa tersangka terkait WAG STM tersebut.
Ada beberapa alasan kenapa saya percaya kalau Pak Jokowi sebenarnya tidak perlu buzzer untuk membenarkan segala tindakan yang diambilnya.
Pertama, Pak Jokowi juga sudah tidak lagi punya beban untuk memenangi kontestasi pemilu. Pak Jokowi juga sudah pasti tidak akan mencalonkan di pemilu selanjutnya. Wong sudah akan menjabat untuk kedua kalinya. Penggiringan opini publik untuk membenarkan apapun yang dilakukan oleh Pak Jokowi tidak dibutuhkan lagi.
Kedua, Pak Jokowi sudah punya pendukung yang banyak. Pak Jokowi ‘kan memenagkan pemilu dengan 55 persen suara. Itu artinya lebih dari setengah rakyat Indonesia mendukung Pak Jokowi. Jadi, buzzer sudah tidak diperlukan lagi untuk membela Anda, Pak Jokowi. Biarkanlah rakyat yang menilai anda. Tentu saja dengan resiko, pendukung Anda tidak akan selamanya membela Anda. Ada saatnya Anda akan dikritik ketika membuat kebijakan yang tidak pro-rakyat. Tapi, bukankah seperti itu seharusnya seorang pendukung? Mendukung ketika benar, menegur ketika keliru. Bukankah itu esensi demokrasi yang sesungguhnya?
Menggunakan buzzer hanya akan menunjukan ketidak percayaan diri pemerintah, khususnya Pak Jokowi dalam memimpin negara ini. Pak Jokowi, sebegitu tidak percaya dirinya kah Anda sampai-sampai harus ada buzzer yang membenarkan semua tindakan Bapak?
Pak Jokowi, percaya saja, ada rakyat yang sepenuhnya mendukung Bapak selama Anda tidak salah jalan. Bahkan ketika banyak orang-orang besar yang tidak lagi mendukung Bapak hanya karena Anda akan mengambil keputusan yang lebih menguntungkan rakyat. (*)
BACA JUGA Jokowi dan Memori Orde Baru yang Masih Membekas atau tulisan Muhammad Ikhdat Sakti Arief lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.