UU ITE memang tidak ada habisnya dijadikan tameng dalam tawuran online. Paling tidak bisalah dipakai buat ancam-ancam sedikit kalau sudah mulai tersinggung. “Saya polisikan pakai pencemaran nama baik ya!!” atau “tunggu surat panggilan dari pak polisi ya, karena sudah buat ujaran kebencian!”
Menurut saya, penggunaan pasal pencemaran nama baik dan ujaran kebencian di UU ITE adalah pasal favorit para masyarakat kita bahkan boleh dibilang sudah menjadi budaya. Tidak perlu munafik kawan. Memang banyak yang menentang undang-undang ini, tapi banyak pula yang pakai undang-undang ini untuk memenangkan perdebatan online yang menyinggung perasaan.
Kalau dilihat lebih dalam, pada dasarnya dunia netijen Indonesia sangat-sangat tidak sehat. Orang diam saja, tetap dikomentari. Saya akui memang gila bin kacau komentar orang Indon. Ada yang berupa cacian, hinaan, kritik, bahkan candaan merendahkan. Mendapati hal seperti itu memang sangat menyayat hati. Tapi, sejatinya kita mempunyai pilihan bukan? Apakah memilih untuk tersinggung atau tidak tersinggung. Meskipun, tidak sedikit atau bahkan banyak orang memilih untuk tersinggung. Ketika sudah tersinggung, ada kecenderungan melirik UU ITE sebagai penyelamat keadaan. Setidaknya dendam ini terbalaskan, Bung.
Bagi kamu yang hendak menggunakan UU ITE sebagai tameng atau kamu yang suka berkomentar di sosial media manapun. Sangat perlu memahami kedua pasal UU ITE tadi yakni mengenai pencemaran nama baik dan ujaran kebencian. Lah buat apa? Tolonglah, biar tidak asal pakai pasal saja dan berakhir konyol dengan permintaan maaf bermaterai 10 ribu. Penting untuk memahami kedua pasal ini. Mari kita bahas satu per satu.
Pasal pencemaran nama baik termuat di Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) UU ITE. Tidak dimungkiri pasal ini menimbulkan multitafsir. Bukan hanya kalangan masyarakat awam saja, wong yang praktisi hukum saja suka beda-beda penafsirannya. Penerapan dalam setiap kasus yang terjadi selama ini pun bisa berbeda-beda. Ada dua hal penting dalam penggunaan pasal pencemaran nama baik ini.
Pertama, mengutip dari hukumonline.com secara esensi penghinaan, pencemaran nama baik merupakan perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang sehingga nama baik orang tersebut tercemar atau rusak. Melihat ada atau tidaknya penghinaan atau pencemaran nama baik seharusnya dilihat per konten dan per konteksnya. Sayangnya hal ini hanya dapat dinilai oleh orang yang namanya tercemar atau rusak.
Poin ini adalah poin yang paling sering terpenuhi oleh banyak orang. Setelah merasa tercemar namanya langsung main lapor saja. Tapi, sejatinya harus melihat poin yang kedua, yakni Pasal 27 ayat (3) UU ITE tadi tidak bisa terlepas dari norma hukum Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Apa itu?
Hal utama dari kedua Pasal KUHP tersebut ada di Pasal 310 ayat (3) KUHP. Sejatinya kalau saja perbuatan yang katanya “mencemarkan nama baik” seseorang tadi dilakukan demi untuk kepentingan umum atau membela diri. Maka seharusnya Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak bisa dipakai. Makna kepentingan umum di sini sering dimainkan. Tidak ada definisi pasti mengenai kepentingan umum. Kalo secara ngawang-ngawang, kepentingan umum maksudnya kepentingan banyak orang atau memenuhi mayoritas orang akan terdampak. Kira-kira begitu lah ya.
Contohnya, ada si A seorang dokter kecantikan review produk kecantikan yang sebenarnya terbuat dari bahan berbahaya. Kemudian si B selaku yang punya produk merasa tidak terima dan merasa telah dicemarkan nama baiknya oleh si A. Sejatinya perbuatan A kan bisa menyelamatkan banyak orang agar tidak mengalami penyakit kulit atau penyakit yang lain bukan? Nah kira-kira kaya begitu lah maksud demi kepentingan umum.
Pasal selanjutnya adalah Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45 ayat (2) UU ITE mengenai ujaran kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA. Ini pasal bukan main karetnya. Kalau pasal pencemaran nama baik atau penghinaan masih bisalah harusnya ada poin-poin yang terpenuhi dahulu. Lah kalau ujaran kebencian? Belum lagi definisi antargolongan saja sampai saat ini belum ada kejelasan. Singkatnya, pemaknaan ujaran kebencian berdasarkan SARA atau yang paling sering dijadikan tameng adalah frasa antargolongan hingga saat ini masih tergantung case by case. Tergantung ahli yang didatangkan akan mengemukakan seperti apa dan pada akhirnya Pak Hakim akan berpendapat untuk memutus yang mana. Unpredictable.
Untungnya ya saudara-saudara semua. Ketidakjelasan UU ITE sedikit demi sedikit mulai ditambal. Tambalan terbaru ada wacana revisi UU ITE dan waktu lalu sudah terbit SE Kapolri Nomor: SE/2/II/2021. Pada SE tersebut, intinya adalah penyelesaian secara kekeluargaan adalah hal yang harus diutamakan. Sepaket ya itu, kasarannya ada permintaan maaf dan saling memaafkan kedua belah pihak. Meskipun nanti ujung-ujungnya surat materai lagi, tidak apalah asal tidak main langsung disidang atau dipenjara.
Lagian orang-orang kok ya seneng banget main lapor-lapor biar diproses hukum. Padahal kalau dihitung-hitung biaya, waktu, dan tenaga buat sampai ke meja hijau saja bukan main besar sekali habisnya. Belum tentu juga kasusnya bisa selesai, Bos.
BACA JUGA UU ITE Hampir Sama Bahayanya dengan Naksir Teman Sendiri dan tulisan Dimas Purna Adi Siswa lainnya.