Sebelum dapat Label Minat Baca Rendah, Orang Indonesia Pernah Sangat Gila Membaca

minat baca orang indonesia

Sebelum dapat Label Minat Baca Rendah, Orang Indonesia Pernah Sangat Gila Membaca

Katanya minat baca masyarakat Indonesia itu rendah. Saya nggak tahu standar apa yang digunakan untuk mengetahui minat baca suatu negara. Yang jelas, kata UNESCO, persentasi minat baca orang Indonesia itu hanya 0,001% saja. Artinya, dari 1000 orang Indonesia, hanya 1 orang saja yang punya minat baca tinggi. Ini sih bukan minat baca rendah lagi, tapi emang nggak punya minat membaca sama sekali, hadehhh.

Saya jadi ingat kalau saya pernah ikut sebuah kajian di kampus saya yang pematerinya ngomong kalau minat baca orang Indonesia itu tidak rendah. Sebenarnya, minat baca orang Indonesia itu tinggi, hanya saja, kualitas bacaannya yang rendah. Katanya, orang Indonesia suka kok membaca, tapi ya baca status di media sosial, bukan buku, apalagi jurnal ilmiah internasional.

Si pemateri nggak salah sih, kan baca status juga membaca, tapi ya mana bisa status media sosial jadi informasi yang baik karena jarang sekali orang bikin status yang isinya data-data penting. Padahal kan, untuk bisa berargumen, harusnya ada data yang ditunjukan. Tapi yaudah lah, pusing saya mikirinnya.

Daripada ngomongin orang-orang yang tidak suka baca—atau asumsi orang lain tentang minat baca, mending kita bahas tokoh-tokoh Indonesia yang sangat menggilai membaca.

Biar apa?

Ya biar bukan yang surem-suremnya aja yang kita tahu wqwq. Seenggaknya kita jadi tahu kalau pemikir-pemikir hebat bangsa kita bisa seperti itu karena dia gila membaca. Jadi, kalau kamu mau gila eh mau hebat kayak mereka, kamu tahu apa yang harus kamu lakukan. Membaca!

Sejarah sebenarnya banyak menuliskan orang-orang Indonesia yang sangat gila membaca. Buya Hamka misalnya, beliau dikenal menghabiskan waktu kanak-kanaknya dengan membaca di perpustakaan ketika anak-anak lain seumurnya lebih suka bermain. Aduh isin saya, saya aja yang sudah jadi mahasiswa lebih banyak main-mainnya daripada membacanya.

Dari buku yang ditulis oleh Irfan Hamka–anaknya Buya Hamka–yang berjudul “Ayahku”, kegilaannya dalam membaca membuat Buya Hamka juga (((menelurkan))) banyak karya tulis yang jumlahnya sekitar 118 buku! Edyan, kok bisa banyak gitu??? Mana buku-buku tulisan beliau itu berat-berat dan referensinya banyak lagi.

Kalau mau hitung-hitungan, sebut saja satu buku bisa ditulis dengan minimal membaca setidaknya 50 referensi (tentu saja bisa lebih banyak lagi) artinya, Buya Hamka membaca sebanyak 118 x 50 = 5.900 buku untuk bisa menghasilkan karya-karyanya tersebut.

Apakah cuma Buya Hamka yang gila membaca? Tidak, masih banyak, sangat banyak tokoh-tokoh bangsa Indonesia yang “gila” baca. Masih ada Bung Karno, Bung Hatta, Pram, Tan Malaka dan tokoh lain-lainnya. Mereka bahkan dalam gelap gulitanya penjara dan sunyi senyapnya pengasingan masih tetap bisa meluangkan waktu membaca dan menulis. Ada juga tokoh-tokoh generasi setelahnya seperti Gus Dur, Quraish Shihab, dan aktivis-aktivis muda Indonesia seperti Soe Hok Gie.

Orang Indonesia di masa lalu saya pikir punya minat baca yang sangat tinggi, bahkan jauh di luar akal sehat manusia biasa lainnya. Dari kegilaan mereka membaca inilah lahir gagasan-gagasan penting tentang berkehidupan yang baik dan bernegara. Pemimpin dan pejabat publik di masa lalu terkenal juga sebagai seorang pemikir ulung—bahkan bukan juga pemikir tapi jadi seorang penyair.

Jauh berbeda dengan orang Indonesia di masa sekarang. Coba siapa coba sekarang pemimpin dan pejabat publik yang suka membaca, menulis, dan menjadi seorang pemikir? Nggak kepikiran siapa-siapa kan?

BACA JUGA Pejabat Kita (Pernah) Anti Korupsi, Anti Kepentingan dan Punya Standar Moral Tinggi atau tulisan Moh Rivaldi Abdul lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version