Membahas sebambangan, mengingatkan saya pada skripsi. Di jurusan saya (lebih tepatnya program studi) kami diberi kesempatan untuk memilih satu dari empat bidang penelitian skripsi, yaitu pendidikan, sejarah, sosial, dan budaya. Padahal biasanya di program studi lainnya hanya membolehkan dua bidang yaitu pendidikan dan ilmu konstentrasinya. Makanya, banyak mahasiswa program studi lain yang heran ketika melihat judul penelitian kami yang nggak ada hubungannya sama pendidikan dan sejarah. Apalagi dengan skripsi saya yang membahas TKI, ra nyambung blas.
Dibandingkan dengan saya yang memilih bidang sosial, lebih banyak mahasiswa yang memilih bidang penelitian budaya dan biasanya pembahasannya nggak jauh-jauh dari perkawinan adat. Salah satu yang nggak bisa lepas adalah tradisi sebambangan pada perkawinan masyarakat Lampung. Sebambangan biasanya diartikan sebagai larian, tapi kata teman saya yang asli Lampung bambang itu secara harfiah memiliki arti gondol atau nggak ada apa-apa. Nggak ada apa-apa di sini diartikan sebagai nggak ada acara besar-besaran yang biasanya dilakukan pada perkawinan masyarakat Lampung.
Sebambangan dilakukan ketika pihak laki-laki tidak sanggup memenuhi persyaratan biaya pernikahan yang diajukan oleh keluarga pihak perempuan. Biaya pernikahan masyarakat Lampung memang lumayan menguras tabungan pihak laki-laki (kalau punya tabungan), bahkan jika benar-benar memakai adat bisa memakan waktu 7 hari 7 malam. Jika dibandingkan dengan orang suku Jawa yang ada di Lampung, pernikahan orang Jawa nggak ada apa-apanya. Paginya nikah, malamnya sudah bisa leyeh-leyeh.
Karena besarnya biaya pernikahan inilah, ada tradisi sebambangan atau larian bagi pasangan yang tidak sanggup memenuhi permintaan keluarga pihak perempuan. Pasangan di sini maksudnya adalah kedua belah pihak yaitu laki-laki dan perempuan yang sudah setuju untuk melaksanakan sebambangan. Jadi, nggak boleh tuh melarikan perempuan tanpa adanya persetujuan si perempuan. Saat larian, pasangan ini akan meninggalkan sejumlah uang dan surat kepada keluarga perempuan yang menyatakan mereka melakukan sebambangan. Pihak laki-laki akan membawa perempuan ke pemangku adat dan di sana keluarga kedua belah pihak akan melakukan musyawarah untuk menemukan hasil terbaik.
Di Lampung, tradisi sebambangan sangat terkenal. Tidak hanya di kalangan masyarakat suku Lampung, tapi juga di kalangan masyarakat suku non-Lampung seperti saya. Namun sayangnya, kami (saya dan masyarakat non-Lampung) menganggapnya sebagai sesuatu yang negatif. Apalagi dari namanya saja sudah larian, banyak yang mengartikannya dengan kawin lari. Padahal ketika saya mempelajarinya, sebambangan itu bukan kawin lari. Sebambangan hanya sebuah solusi dari mahalnya biaya pernikahan yang diajukan keluarga perempuan. Kalau pihak perempuan nggak mengajukan biaya mahal, ya sebambangan tidak terjadi.
Ngomong-ngomong soal pernikahan suku Lampung, biayanya emang nggak sedikit. Selain resepsi yang mewah, pada masyarakat Lampung Pepadun, ada acara yang disebut Begawi Cakak Pepadun. Begawi Cakak Pepadun merupakan upacara pemberian gelar yang dilaksanakan bersamaan dengan upacara pernikahan. Pemberian gelar ini dilakukan untuk pengantin yang berasal dari luar suku Lampung Pepadun atau untuk kenaikan gelar adat. Katanya acara Begawi Cakak Pepadun ini bisa menghabiskan sampai ratusan juta rupiah. Biaya itu masih di luar mahar dan seserahan yang konon isinya tidak hanya berupa mukenah dan make-up, tapi juga perlengkapan rumah tangga seperti tempat tidur dan lemari.
Makanya, bagi masyarakat Jawa di Lampung, punya tantangan tersendiri jika punya pacar asli Lampung. Baik perempuan atau laki-laki, biasanya akan mengalami pertentangan pada awal perkenalan keluarga. Jika pihak laki-laki suku Jawa, biasanya keluarganya akan mempertimbangkan biaya yang harus dikeluarkan. Jika pihak perempuan suku Jawa, keluarga akan melarang anaknya ‘dibeli’. Saya kurang paham maksud dibeli, tapi kemungkinan karena adanya prosesi Begawi yang membuat gadis Jawa jadi bagian suku Lampung, keluarga si gadis merasa anaknya sudah dibeli. Tidak hanya keluarga suku Jawa, keluarga suku Lampung juga akan menentang dengan alasan perbedaan budaya. Ya, Indonesia banget.
Sebambangan adalah budaya asli Lampung yang sarat akan makna, tapi sayang, sudah jarang pasangan yang melakukan tradisi ini terlebih untuk mereka yang tinggal di kota. Dibandingkan harus melaksanakan sebambangan, biasanya pihak laki-laki akan meminta waktu lebih lama untuk mengumpulkan biaya pernikahan. Sama seperti suku Lampung, suku Jawa di Lampung juga jarang banget melaksanakan prosesi adat pernikahan. Siraman atau midodareni adalah hal yang tidak pernah terjadi di lingkungan tempat saya tinggal. Pernah dulu terjadi sekitar 10 tahun yang lalu dan itu menjadi tontonan.
Pernikahan yang sederhana kini memang jadi pilihan banyak orang. Selain lebih murah, pengantin juga nggak perlu ribet mengurus tetek-bengek dari MUA sampai seragam bridemaids. Meski ada yang bilang menikah sekali seumur hidup dan perlu dirayakan, tapi ada juga yang menganggap kehidupan setelah nikah lebih penting. Semua bebas mau pilih yang mana. Yang penting ada pasangan yang diajak nikah.
BACA JUGA Pringsewu: Kabupaten di Lampung yang Isinya Jawa Banget atau tulisan Desi Murniati lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.