Kalian yang usia 30an (bisa kurang bisa lebih) ada yang suka ngerasa insecure sama kondisi kulit muka nggak sih?
Aku mengalaminya. Aku tinggal di pinggiran ibukota yang tingkat pencemaran udaranya tinggi. Seperti di iklan-iklan produk perawatan kulit, aku terpapar debu dan polusi yang membuat kulit wajahku kusam dan berminyak. Kadang-kadang juga berjerawat. Yang paling parah, kulit mukaku lebih hitam daripada kulit leher. Orang-orang mah kulit mukanya lebih putih dari kulit lehernya. Aku kenapa sebaliknya?
Fix!!!111!!11!! Ini masalah yang harus diselesaikan.
Aku yang selama ini hanya cuci muka dan menggunakan sunscreen saat bepergian (padahal udah pake sunscreen ya, tetep aja gosong. Sedih nggak sih?) mulai melirik produk-produk perawatan kulit yang lain. Aku jadi rajin mantengin iklan-iklan, situs-situs, dan akun-akun medsos yang membahas tentang perawatan kulit wajah.
Aku kemudian tertarik dengan sebuah merek produk perawatan kulit yang menawarkan diskon untuk pembelian paket lengkap. Isi paket tersebut adalah sabun cuci muka, pelembab, serum, dan krim malam. Saat aku mengatakan keinginanku untuk membeli paket produk tersebut pada suami, dia memintaku untuk berhati-hati dan meneliti produk tersebut dengan saksama. Jangan sampai niatnya mau memperbaiki penampilan tapi malah jadinya kulitnya kenapa-kenapa.
Suamiku khawatir aku menggunakan produk-produk luar negeri yang tidak punya ijin edar dari BPOM. Dia juga was-was kalau aku menggunakan produk-produk dari beauty center yang bikin ketergantungan—yang kalau tidak menggunakan produk mereka lagi, kulit akan menjadi tambah buruk dari sebelumnya.
Aku mencoba meyakinkan suamiku. Produk ini bukan merek yang bagaimana-bagaimana. Produk tersebut dijual, kok, di minimarket. Aku menggunakan produk sabun muka dari mereka. Jadi aku yakin aman-aman saja menggunakannya. Akhirnya, singkat cerita, suamiku pun mendukung pembelian produk ini dengan menyumbang sejumlah uang untuk membelinya.
Ya memang harus gitu, sih. Kan dia juga yang seneng kalau istrinya jadi cantik. Ya kan?
Beberapa hari pemakaian, tidak ada yang bermasalah. Beberapa minggu, muncul bintik-bintik kecil di bawah mata, dan dagu. Aku sebenarnya mulai khawatir. Namun kata tetanggaku, itu adalah proses detoksifikasi dari produk tersebut.
Detoksifikasi apaan, sih? Aku malah curiga ini adalah tanda-tanda kalau kulitku keracunan tapi aku masih menggunakannya. Ya habis gimana, yah… Kan sayang kalau dibuang. Belinya nggak murah, pertama. Kedua, mau belinya aja harus pakai eyel-eyelan dulu. Kan malu kalau tiba-tiba nggak dipakai lagi. Bintik-bintik kecil-kecil gini doank mah nggak terlalu mengganggu, kok.
Bencana pun datang. Jerawat yang agak besar dan merah mulai timbul di dahi dan di pipi. Satu persatu, lalu lama-lama menjadi banyak dan membuat kulit mukaku terasa perih. Baiklah. Produk ini benar-benar sudah meracuni mukaku. Sebaiknya aku menghenti pemakaiannya sekarang juga dan mencari obat untuk jerawat-jerawat ini.
Saat itu aku masuk dalam masa kelam di mana semua orang bertanya: “Mbak Meta, jerawatnya gede-gede banget. Itu kenapa bisa jerawatan kayak gitu?”
Alih-alih berkurang, perasaan insecure-ku malah meningkat 3 kali lipat. Aku udah tahu dari kaca kalau mukaku jerawatan. Nggak butuh orang lain tunjuk-tunjuk mukaku. Dan cerita tentang asal mula jerawatku ini… Ya ampun… Sampai berapa orang sih, yang harus aku kasih cerita? Aku sampai berpikiran untuk tidak ke luar rumah dalam jangka waktu yang tidak ditentukan.
Setelah diolesi obat selama beberapa hari, jerawatku mulai menghilang satu per satu dengan beberapa meninggalkan bekas. Karena obat penyamar bekas jerawat ini harganya tidak murah, aku mulai menabung untuk membelinya. Aku juga meminta kakak sepupuku, yang bekerja menjadi manager store di sebuah apotek, untuk memberitahuku bila ada diskon produk penghilang bekas jerawat. Nyatanya, dia menyarankan sesuatu yang tidak terduga.
“Kamu ni apoteker seneng banget sih pake obat-obat begituan? Mending pake teh bekas aja sama air bekas cuci beras. Sekarang mah pake yang alami-alami aja, Met. Daripada entar jerawatan lagi lho…” ujarnya.
“Teh bekas itu yang kayak apa, yah?” tanyaku.
“Nih, kalo kamu pake teh tubruk, tehnya jangan dibuang. Kamu tempel di muka dua atau tiga menit terus dibilas. Kalo kamu pake teh celup, itu isi kantong tehnya yang kamu tempel di muka,” kata kakak sepupuku.
Aku tidak begitu saja mengikuti saran dari kakak sepupuku. Lah, yang bener aja. Masak pakai teh bekas kayak begitu? Kotor nggak, sih? Namun beberapa hari kemudian, saat aku menginap di rumah budheku, aku melihat budheku membasuh mukanya dengan air bekas teh semalam yang ada di teko pagi-pagi. Aku diam-diam mengamati wajah budhe. Emang iya, sih. Muka budheku cukup kinclong untuk orang seusianya.
Baiklah, mari kita hubungi kakak sepupuku untuk mendengar instruksinya dengan lebih rinci. Aku mau mencoba metode alami-alami yang disarankan oleh kakak sepupuku. Toh metode alami-alami ini tidak memakan banyak biaya. Memanfaatkan bahan bekas malah.
Pagi-pagi, aku menempel mukaku dengan teh bekas seduhan. Sore-sore, kadang aku membasuh mukaku dengan air rendaman beras. Itu semua aku lakukan selama beberapa hari. Hasilnya, di mukaku mulai tumbuh jerawat lagi.
Aku hampir menangis saat itu. Jerawat yang sudah susah payah aku usir pergi kini datang lagi. Suamiku mencoba menenangkanku dan melarangku melakukan perawatan wajah yang aneh-aneh.
“Udahlah, ta jin-rajin aja kamu cuci muka,” katanya. “Nggak usah pake metode apa-apa.”
Aku baru sadar kalau kulitku sesensitif itu. Karena aku selama ini nggak pernah pakai produk-produk gituan kali ya? Atau karena kulit wajahku yang sudah tua? Ya Tuhan…
Tapi ya mau bagaimana lagi. Aku menyetop ritual teh dan air beras itu. No more produk-produk perawatan wajah. No more metode alami-alami. Yang ada hanya mencuci muka dengan sabun di pagi dan sore hari serta membasuh muka setelah dari luar ruangan. Ya beberapa hari sekali, kalau pas ada diskonan di apotek, aku mengenakan masker wajah.
Berminggu-minggu kemudian, aku merasa mukaku sudah baik-baik saja. Jerawat-jerawat itu sudah tidak bermunculan lagi. Ya, muncul satu jerawat ketika mau bulanan. Tapi itu normal. Ada beberapa bekas jerawat yang tidak tersamarkan, ya sudahlah. Masalah kulit mukaku masih lebih gelap daripada kulit leher, ya biarin saja. Terima saja. Bersyukur itu baik.
Aku sudah tidak lagi menonton iklan-iklan perawatan kulit wajah. Aku juga unfollow medsos yang berbicara tentang beauty dan perawatan kulit. Kalau sedang bercermin, perasaan insecure itu masih ada. Tapi aku mengingatkan diriku sendiri pada pengalaman buruk menggunakan produk perawatan kulit. Overall, hidupku sudah baik-baik saja.
Nah, beberapa hari yang lalu, seorang tetangga berkomentar, “Mukanya bersihan, Mbak. Pakai apa?”
Aku tersenyum senang. Ya boleh, donk. Setelah sekian lama mendapat komentar dan pertanyaan yang menyedihkan hati, sekarang ada yang berkomentar positif harus disambut dengan gembira.
“Nggak pake apa-apa, Teh. Cuma rajin cuci muka,” jawabku.(*)
BACA JUGA: Jangan Munafik, Hidup Memang Lebih Mudah Buat Orang Ganteng dan Cantik atau tulisan Meita Eryanti lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.