Satu hal yang kayaknya tidak bisa dilewatkan di bulan Ramadan yaitu ritual berbuka bersama. Entah bersama keluarga, teman, dan orang-orang terdekat. Supaya lebih mudah, kita sebut bukber alias berbuka bersama. Biasanya ia identik dengan acara-acara seperti, temu kangen, reuni, bukber dan santunan, ataupun bukber dan santunan. Ia juga jadi kesempatan untuk berbuka di luar rumah dan jadi momen berbuka yang lebih spesial dari biasanya. Kalau berbuka di rumah biasanya dengan menu seadanya, sementara bukber biasanya dengan menu yang lebih spesial.
Bagi para santri di pondok pesantren, momen berbuka bersama rasanya biasa saja. Pasalnya, setiap hari di asrama kita juga merasakan makan bersama, berbuka bersama, pun dengan menu yang sama. Kami ramai-ramai menunggu azan Magrib di aula atau kamar asrama, sambil duduk melingkar atau berjajar. Di hadapan kami sudah ada makanan dan minuman yang siap disantap. Kalaupun pengin berbeda menu, biasanya para santri membeli tambahan lauk atau jajan di penjual pinggiran dekat pondok.
Namun, meskipun makan bersama para santri itu sudah biasa saja, ada yang menarik dari bukber di pesantren. Santri bisa merasakan bukber yang lebih nikmat dari biasanya yakni ketika buka bersama kiai.
Salah satu berkah Ramadan yang terasa yaitu buka bersama kiai pengasuh pondok. Biasanya di pondok kami, para santri dapat giliran buka bersama pengasuh. Dan ini akan menjadi buka puasa terspesial. Gimana nggak spesial? Lha wong sudah disediakan menu-menu yang aduhai lezat, yang nggak biasanya kami makan di asrama.
Menu-menu yang disediakan biasanya jarang kami dapati di jatah makan santri di pondok. Ada sate, opor ayam, sop daging, buah, pokoknya yang mantap-mantaplah! Dan menu yang biasanya tak tertinggal, yakni kurma.
Tujuan kiai kami mengadakan buka puasa bergilir di rumah (kalau di pesantren daerah Jawa, disebut dengan ndalem)-nya ini, untuk menambah kedekatan santri dengan pengasuh. Pasalnya, pengasuh sendiri sejatinya adalah orang tua pengganti kami ketika jauh dari orang tua kami di rumah. Banyak santri yang merasakan buka bersama di ndalem ini seperti buka puasa di rumah. Biasanya, per hari santri yang dijatah makan di ndalem ini sekitar 5-10 orang, sehingga suasananya menjadi lebih dekat.
Eh, tapi nggak kayak di rumah banget juga, sih. Pasalnya, biasanya kalau berbuka puasa di ndalem masih ada rasa jaim-jaimnya gitu. Mudahnya, mau tapi malu gitu, deh. Rasanya pengin mencicipi semua makanan yang sudah disediakan, tapi apa daya tangan tak sampai. Ya, sebetulnya sampai-sampai aja, sih, tapi malu-malunya itu, loh. Saya takut nanti dibilang ishrof (berlebihan) dan serakah. Wal hasil, yang diambil se-uprit alias sedikit doang.
Layaknya disuguhi makan ketika bertamu, saat tuan rumahnya meninggalkan kita baru berani ambil makanan yang disuguhkan. Sama seperti yang kami lakukan. Ketika kiai kami meninggalkan ruang makan, kami langsung mengambil makanan yang ingin kami cicipi.
Kalian yang di pesantren, ada nggak sih, cerita diajak berbuka puasa bersama kiai gini? Gimana? Seru juga, nggak?
BACA JUGA Esai-esai Terminal Ramadan Mojok lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.