Banyak kota sudah punya Malioboro di kotanya. Kok, Magelang yang nempel sama Jogja, malah nggak punya?
Sudah sejak lama saya menyadari jika diri ini punya empati yang besar, jika tak boleh disebut overthinking. Begitu juga keinginan untuk selalu kritis dan mengomentari segala yang terlihat di mata, terasa di kulit, terkecap di lidah, dan tercium di hidung. Jika itu tak boleh disebut nyinyir. Salah satu hal yang membuat saya berempati dan selalu pengin nyinyir adalah perihal keadaan pariwisata di Magelang.
Magelang, wilayah yang airnya saya gunakan untuk asah-asah, tanahnya untuk ditanami gelombang cinta, dan namanya yang tertera di salah satu kolom KTP saya. Ia adalah separuh jiwa saya.
Ia adalah kota dan kabupaten yang saling terkait, bersatu padu, dan akan segera dibelah oleh jalan tol. Lebih daripada itu, ia dikenal sebagai kawasan wisata. Ada banyak tempat wisata yang sangat boleh dijadikan sebagai bukti kehebatan pariwisata Magelang. Dengan kata lain, Magelang diciptakan di bumi sebagai pengisi ceruk kebutuhan berwisata umat manusia. Walau itu adalah kepastian jika kita masih ada di Indonesia, negara yang bisanya sangat bergantung pada pariwisata.
Magelang punya Candi Borobudur. Ia agung, megah, bersejarah, dan sudah pasti penting. Tapi, apakah itu cukup? Saya pikir tidak. Ngomongin wisata, hanya satu kiblat yang sangat pantas dituju. Kiblat yang tak hanya lengkap jenis wisatanya, tapi seolah hidup dan dikontrol oleh kata berbunyi “pariwisata”. Ialah Jogja, yang membuat Katon Bagaskara selalu ingin kembali dan Aditya Sofyan meyakini ada sesuatu di sana, entah apa. Kurang hebat apa wilayah istimewa ini? Borobudur saja kerap dikira ada di Jogja. Betapa Magelang masih perlu menggempur lagi usahanya, tentu dengan mencuil sedikit dari apa yang dimiliki Jogja.
Sedikit banyak tentu Anda bisa menebak ke mana arah tulisan ini. Ya, betul! Malioboro. Ia bukan hanya kawasan bersejarah, ia adalah kawasan ajaib yang mampu mempengaruhi pikiran orang-orang agar mau berfoto di bawah plang-nya. Betapa hebat kawasan itu, sampai banyak yang merasa tak afdol kalau pergi ke Jogja tanpa tilik Malioboro. Dan hanya Jogja yang punya Malioboro, tempat suci alias bukti naik hajinya pelancong yang mendatangi Jogja. Magis.
Banyak kota yang sering mengaku-ngaku punya Malioboro versinya sendiri. Dan Magelang, saya kira perlu hal semacam itu, segera berikrar soal Malioboro-nya Magelang. Saya kira ini langkah konkret yang paling sat set demi keberlangsungan wisata kita. Tak perlu sungkan dan malu, karena cara ini umum sekali digunakan di banyak tempat.
Lantaran kalau ngomong Magelang sebagai kawasan seribu candi, rasanya tetap kurang berhasil. Kita tahu, banyak penemuan candi dan yoni di wilayah keren ini. Tapi, dari banyaknya peninggalan dan warisan itu, saya lihat masih banyak yang tak terawat. Di kampung saya, tiga arca yang ditemukan di sekitaran sungai Bolong pun masih berhubungan dengan prasasti Tuk Mas, sudah hilang bertahun-tahun lalu. Padahal sudah dilaporkan sejak tahun 70-an. Saya pikir, jika orang di wilayahnya saja tak menghargai dan serius menjaga warisan ini, julukan seribu candi itu tak lebih dari bualan belaka.
Contohlah Jogja, ia melestarikan warisan dengan sangat baik. Pemagaran dan pemugaran alun-alun adalah contohnya. Betapa kawasan yang dikira punya rakyat itu, dijaga dengan sangat baik dengan melarang warga memasukinya. Dana yang dihabiskan pun tak hanya secuil, buanyak buanget. Nah, soal warganya butuh atau tidak, itu lain soal. Sebab ini adalah pelestarian, titik.
Apalagi masih banyak yang ngeyel mau menggunakan jargon “Magelang Kota Sejuta Bunga”, saya kira ini lucu. Saya masih sering melihat taman-taman kota yang menyedihkan dan rusak tak terawat, meski ada kabar habis duit banyak. Contohlah Jogja, ia melakukan pemugaran tugu dan tempat bersejarah lain dengan sat set. Bahkan, boleh dibilang ia terlalu sering merenovasi kotanya. Tapi, itu tak apa. Yang penting kotanya indah dan makin romantis. Soal warganya perlu atau tidak punya kota indah dan diganjar habisnya banyak uang, lagi-lagi itu lain soal. Yang penting indah, meski indah itu relatif.
Saya pikir Magelang harus punya Malioboro versinya sendiri. Itu tak mengapa, wajar adanya di masa kini. Menggali keunikan dan ke-khasan wilayah sendiri itu baik. Meski tak perlu meniru dan menemukan jati diri juga amat sangat baik. Tapi, banyak kota yang punya Malioboro, Paris, Ubud, dan segala tempat nge-hits versi kota mereka sendiri. Itu bukan kehilangan identitas, hanya meningkatkan pariwisata dan romantisasi kepolen saja.
Di masa sekarang, meningkatkan pariwisata itu keniscayaan, dan kehilangan jati diri serta menipu diri sendiri itu hanya perspektif yang berbeda. Itu sudut pandang semata. Pokoknya, jangShuttan sampai kebutuhan dan kehidupan masyarakat mengganggu dunia wisata, karena itu yang utama. Jaya, jaya, jaya wisata Indonesia!
Penulis: Bayu Kharisma Putra
Editor: Audian Laili
BACA JUGA Nggak Cuma di Jogja: Malioboro Juga Punya Cabang di Beberapa Kota