Sayang, Indonesia Tidak Ramah Pedestrian

pedestrian

pedestrian

Sejak kecil, saya terbiasa berjalan kaki cukup jauh ke sekolah. Sewaktu saya menempuh pendidikan saya di Yogyakarta, saya biasanya mengendarai sepeda. Tidak lama—hanya sekitar 2 tahun. Setelah itu, saya harus berjalan kaki menuju sekolah. Saya masih ingat, saya hanya akan di antarkan menggunakan sepeda motor oleh ayah saya ketika jam menunjukkan kurang 5 sampai 10 menit sebelum bel masuk berbunyi. Tak jarang juga biasanya saya perlu berlari dengan jarak cukup jauh agar sampai tepat waktu di sekolah apabila ayah saya sedang tidak di rumah pagi itu. Kebiasaan ini terbawa hingga saya kuliah. Selain dapat menghemat pengeluaran dan pembiayaan,  berjalan kaki juga dapat menjadi alternatif berolahraga rutin yang baik.

Awalnya saya berjalan kaki memang karena keadaan, lebih tepatnya keterpaksaan. Mengingat biaya membeli sepeda motor tidak sedikit, akhirnya saya berpikir untuk mencoba indekos di dekat kampus sehingga memudahkan aktivitas saya sehari-hari sebagai mahasiswa. Penyebab lainnya adalah traumatis akibat kecelakaan motor ketika saya dibonceng oleh kawan saya pada saat saya menginjak semester 2. Ya, sial memang saat itu. Saya masih ingat kejadian ketika saya meminta air mineral untuk membersihkan luka, saya malah di belikan teh manis di Indomaret terdekat. Sejujurnya, saya biasa saja, bahkan tidak shock tapi entah mengapa saya tiba-tiba menjadi kagok ketika saya mengendarai sepeda motor.

Akhirnya, kebiasaan ini menjadi kebiasaan saya sampai sekarang dan karena terbiasa saya merasa terkadang berjalan sendirian di sore hari sepulang kuliah itu menjadi cukup menyenangkan. Kalau kalian pernah mendengar orang mengatakan berjalan kaki akan membuat otak kita lebih encer, saya rasa hal itu benar adanya.

Jadi, ketika saya sedang merasa tertekan atau stress, ide saya mentok, butuh inspirasi, butuh jawaban, ketika saya sedang gusar dan gegana—gelisah, galau, dan merana—biasanya ide saya akan muncul ketika saya sedang berjalan kaki sepulang kuliah atau ketika saya sedang berjalan-jalan santai di sore hari dan pikiran saya menjadi lebih rileks dibandingkan jika saya hanya berdiam diri atau mengendarai sepeda motor yang mengharuskan kita untuk waspada karena akan berbahaya jika kita berfokus pada hal lain selain lalu lintas di jalan raya.

Jika di area pejalan kaki, kita akan lebih santai. Jika terlalu fokus pada hal lain pun paling-paling ketabrak, kepeleset, atau kesandung yang diikuti dengan gerakan lanjutan seperti njlungup, njungkel, atau mungkin nyungsep di semak-semak atau selokan. Jadi tetap harus waspada ya, gaes~

Di Indonesia, cuaca panas, polusi udara dan asap kendaraan, ketidaktertiban berlalulintas, serta fasilitas ramah pedestrian yang minim menjadi tantangan yang menyebabkan banyak orang malas berjalan kaki. Namun, ketidakbiasaanlah yang membuat orang Indonesian enggan berjalan kaki karena lebih melelahkan dan terkadang menyita lebih banyak waktu. Meskipun, di beberapa jalan dan wilayah menyediakan area pedestrian, ternyata banyak beralihfungsi menjadi jalan alternatif kendaraan bermotor untuk menghindari kemacetan. Padahal saya yakin para pengendara motor itu paham fungsi jalan di samping jalan utama.

Bahkan, ketika di area tersebut terdapat seorang pejalan kaki, mereka tetap saja menyerobot laksana pemilik jalan. Padahal anak Sultan pun belum tentu akan melakukan hal itu. Belum lagi banyaknya kejadian menyebalkan di area penyeberangan atau trotoar berkenaan dengan pejalan kaki versus pengendara mobil dan sepeda motor, pejalan kaki pun tetap menjadi pihak yang harus selalu mengalah—mengapa ku yang harus selalu mengalah~

Saya pun tidak tahu mengapa begitu sulit bagi kita untuk berhenti sejenak dan memberikan para pedestrian kesempatan menyeberang tanpa perlu merasa sangat was-was di tengah jalan. Saya pernah beberapa kali mengalami kejadian langka di mana pengendara mobil tersebut lebih memilih berhenti dan mempersilahkan saya menyeberang terlebih dahulu di saat kendaraan lain memilih melenggang dengan kencangnya sebelum saya sempat menyeberang padahal mereka dalam posisi sadar dan melihat saya sedang menyeberang. Alih-alih mengurangi kecepatan, banyak pengendara yang lebih memilih mempercepat laju kendaraannya agar mereka tak terhambat walaupun sekejap.

Saya pikir, trotoar di area lampu lalu lintas atau lebih akrab disapa “lampu merah” atau “bangjo” lebih baik namun tidak berarti selalu baik karena pejalan kaki dapat menyeberang dengan aman selama lampu merah. Akan tetapi, tidak jarang juga ada pengendara motor yang nangkring di tengah-tengah trotoar dengan gagahnya ala Dilan and the gank yang sampai membuat saya geleng-geleng kepala dan menahan hasrat saya untuk mengeluarkan jurus kameha-meha agar ia menyingkir dari sana.

Saya juga pernah memiliki pengalaman bertemu seorang pengendara motor yang entah dari mana yang tadinya tidak ada, tiba-tiba saja muncul dan mengambil barisan terdepan. Saya menduga pengendara semacam ia biasanya memiliki pola berkendara nyelap-nyelip alias zig-zag ala pembalap motoGP. Pengendara semacam ini menurut saya  cukup membahayakan pejalan kaki apabila ia menyeberang di jalanan yang tidak memiliki area penyeberangan terdekat atau di area ringroad yang sedang padat.

Meskipun kota yang saya tinggali sekarang ini yakni Yogyakarta termasuk banyak menyediakan area bagi pedestrian yang sedikit banyak membantu. Namun sangat disayangkan karena tujuannya adalah memberikan fleksibilitas di ruang publik untuk kepentingan wisata di pusat-pusat kunjungan seperti Malioboro. Sedangkan, di area lain tidak begitu ramah pedestrian dan biasanya justru tak terawat. Saya pikir, hal ini menjadi kurang diperhatikan karena jumlah pedestrian yang semakin sedikit.

Hal ini pula yang membuat saya sering terlihat seperti anak hilang saat berjalan sendirian dengan jarak yang cukup jauh, apalagi jika saya mengambil rute melewati jalan utama yang padat pengendara mobil dan motor. Sampai saya berpikir barangkali beberapa dari mereka hendak bertanya, “nyasar ya, dek.” hoho—baiklah. Pertanyaan serupa tapi tak sama pernah diajukan kepada saya oleh seorang penipu ulung yang gagal menipu, barangkali memang muka polos suci tanpa dosa saya ini dipahami orang lain sebagai muka-muka bingung dan mudah diperdaya. Memang, pejalan kaki lebih rentan kejahatan seperti kecopetan, hipnotis, atau jambret—namun sisi positifnya lebih banyak. Selain membantu mengurangi polusi udara dan kemacetan yang super menyebalkan di negara berflower ini, kita juga menjadi lebih cerdas, sehat, dan kuat—hiyaa hiyaa kampanye~

Namun sungguh, menjadi pedestrian di daerah kota di Indonesia bukanlah hal yang mudah. Saya berharap ke depannya, kawasan dan jalur ramah pedestrian dan penyandang disabilitas semakin diperluas lagi. Tentu saja perihal kemacetan parah hingga polusi kendaraan diharapkan juga akan semakin terkendali.

Exit mobile version