Di luar Pulau Madura, usaha warung Madura sedang ngetren dan mulai menjamur. Keberadaan warung tersebut merajalela dan tak jarang sering kali menjadi andalan bagi banyak orang. Warung yang dikenal dengan tagline “buka 25 jam, kecuali kiamat” ini tentu mampu menjadi penyelamat bagi orang-orang yang membutuhkan banyak hal di jam-jam rawan tengah malam.
Harga barang yang jauh lebih murah ketimbang minimarket modern seperti Indomaret dan Alfamart juga membuat warung ini menjadi tujuan belanja orang-orang pinggiran. Terpenting, warung ini juga menyediakan layanan pembayaran modern seperti QRIS. Sungguh sebuah inovasi yang memudahkan khalayak.
Akan tetapi sebagai orang Madura yang tinggal di pulau ini, saya sering kali hanya mendengar tentang warung Madura dari media sosial. Keberadaannya di sini hampir nihil hingga awal tahun lalu ia benar-benar muncul di sekitar tempat tinggal saya.
Kesan awal saya tentu kagum meski lebih banyak kagetnya. Ternyata meski berada di Pulau Madura, orang-orang tetap menyebut warung ini dengan nama spesifik “warung Madura”. Padahal saya kira nama itu hanya akan dipakai ketika usaha ini berada di luar Pulau Madura, lho. Ternyata saya keliru.
Meski warung Madura kini mulai merajalela di lingkungan sekitar saya, sebenarnya saya masih agak segan kalau harus berbelanja di sini. Alasannya akan saya sebutkan berikut ini.
#1 Penjualnya bukan orang lokal
Alasan paling utama saya segan berbelanja di warung Madura karena rata-rata penjualnya bukan orang lokal sini. Di daerah tempat saya tinggal, penjualnya adalah pendatang. Bahkan seringnya perantau dan penyewa sebuah ruko.
Mereka bukanlah pemilik tempat tersebut dan tentunya nggak kenal dengan banyak orang dari daerah sini. Hampir sama dengan sistem warung Madura di luar yang juga merupakan orang-orang pendatang.
Nah, karena bukan orang lokal atau tetangga sebelah rumah inilah yang bikin saya dan beberapa teman agak segan berbelanja di sana. Pasalnya, bagi kami proses berbelanja itu bukan sekadar transaksi jual-beli, namun sekaligus bertegur sapa, basa-basi, hingga bertanya kabar dan keadaan saat ini dengan para tetangga.
Tentunya karena mereka pendatang, saya nggak bisa basa-basi menyapa, dong. Apalagi rata-rata warung Madura di daerah saya sering kali bergonta-ganti penjaga karena sistem tokonya memang bukan kepemilikan. Makanya agak susah kalau mau mengakrabkan diri.
Baca halaman selanjutnya: Semua produk jualan tertata rapi…
#2 Semua produk jualan tertata rapi
Sejujurnya saya terbiasa berbelanja di warung tetangga yang berantakan. Bahkan saat membeli barang terkadang saya masih harus membantu mencarikan barangnya. Namun saat akan berbelanja di warung Madura, saya merasa agak kaget dengan penataan barang di etalase yang begitu apik.
Semua barang ditata rapi sesuai merk, bahkan terkadang berdasarkan urutan warnanya. Bikin saya yang mau belanja sering kali terkagum-kagum, bahkan menjurus ragu-ragu.
#3 Warung Madura terkesan eksklusif dan mewah
Berdasarkan alasan pertama dan kedua tadi, hal itu membuat warung Madura terkesan sangat eksklusif dan mewah bagi saya. Saya merasa warung ini berasal dari dimensi lain yang masih terasa asing dan baru hingga saat ini.
Awalnya, saya mengira hanya saya seorang yang merasakan hal tersebut. Hingga teman saya yang rumahnya berdekatan dengan warung Madura bercerita dan membagikan pengalaman yang sama. Beberapa kali dia juga berusaha menghindar dan lebih memilih untuk berbelanja di warung lain meskipun jarak lokasinya agak jauh.
Makanya kalau nggak benar-benar kepepet, saya sebenarnya menghindari berbelanja di warung Madura yang ada di sini. Kecuali kalau memang nggak ada pilihan lain, sih.
Penulis: Siti Halwah
Editor: Intan Ekapratiwi
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
