Tragedi Kanjuruhan 1 Oktober 2022 sudah lewat 100 hari. 135 nyawa sudah berpulang. Gairah sepak bola di Malang redup. Aremania yang dulunya memberi semangat pada klub, kini berganti tuntutan usut tuntas. Dulunya, bendera biru berlogo singa menghiasi reklame atau sudut jalan, kini menghitam dengan spanduk usut tuntas dan menuntut pihak yang terlibat dihukum berat.
Padahal, sudah jelas penyebabnya: gas air mata aparat. Sampai sekarang, kausnya seperti digantung. Siapa yang kasih perintah tembakan, menginstruksikan bawa gas air mata, sampai penguncian pintu stadion, masih misteri, kayak yang sudah-sudah. Semacam déjà vu, seperti kasus… *sebagian teks menghilang*
Arema FC jadi klub musafir imbas sanksi. Manajemen lobi sana-sini buat cari venue. Hasilnya? Penolakan dari Bantul karena Liga 3 tidak bisa jalan dan menuding Arema FC pelakunya, terbaru Semarang melalui Panser Biru dengan alasan kemanusiaan: menghormati 135 nyawa yang hilang.
Imbas dari terpuruknya Arema FC, Gilang Widya selaku presiden klub mundur. Meski begitu, fasilitas dari Juragan 99 itu masih bisa dipakai. Mundurnya Sang Juragan ini menampar semua pihak yang masih enggan bertanggung jawab secara moral.
Sampai sekarang, Iwan Budianto (IB) sebagai CEO belum tampak batang hidungnya. Padahal, beliaulah yang punya saham di klub ini sebesar 70%. Harusnya IB-lah yang paling bertanggung jawab, bukan presiden klub. Bahkan, ucapan turut berduka cita pun tidak ada darinya. Apa posisinya sebagai Waketum PSSI yang menahannya? Wallahu a’lam, takut salah statement. Pelik soalnya.
Baca halaman selanjutnya
Selama ini, Arema FC cuma bantu biaya pengobatan korban selamat Tragedi Kanjuruhan…