Setelah sekian lama menanti, akhirnya Indonesia kembali kedatangan sebuah film superhero dengan universe barunya, yaitu Satria Dewa: Gatotkaca. Berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, menonton film superhero lokal memang harus hati-hati memasang ekspektasi. Terlepas dari inginnya punya sajian superhero kearifan lokal, genre ini memang masih terasa prematur di industri lokal.
Populernya film genre superhero di dunia saat ini, termasuk di Indonesia, membuat saya sebagai penonton ingin dihibur film bergenre serupa dengan latar belakang yang lebih relate dan familier. Dan akhirnya, dalam beberapa tahun terakhir, beberapa judul film superhero lokal—bahkan sudah dibuat sampai 4 universe—disajikan untuk para penonton seperti saya ini.
Tentu saya sangat mengapresiasi. Terlepas dari kualitas secara film keseluruhan belum bisa dikategorikan sebagai matang, keinginan filmmaker lokal membuat sajian superhero secara tidak langsung memaksa mereka untuk mencoba berbagai hal baru, mulai dari kostum, koreografi aksi, CGI, dan banyak hal lagi. Hal itu juga berlaku dalam Satria Dewa: Gatotkaca.
FIlm ini jelas memiliki beberapa pencapaian, dan hal ini sudah tampak bahkan sejak trailer. Banyak yang memuji penampakan Gatotkaca di trailer saat memperlihatkan cuplikan aksinya ketika terbang menggunakan kostum sembari menghajar musuhnya secara destruktif.
Bagi saya, penampakan tersebut adalah pertanda industri perfilman kita naik level dalam penggunaan CGI. Dengan trailer yang seperti itu, wajar saja kalau akhirnya menciptakan ekspektasi besar bagi para calon penonton. Sayangnya, isi filmnya benar-benar tidak bisa melebihi trailer.
Satria Dewa: Gatotkaca berlatar di sebuah kota fiksi bernama Kota Astina. Dengan memanfaatkan berbagai mitologi pewayangannya dalam ranah yang lebih modern, kota ini tampaknya memiliki masalah baru akan hadirnya beberapa manusia berkekuatan super yang terbagi hanya pada dua golongan, yakni manusia yang memiliki gen Pandawa dan gen Kurawa.
Terjadi berbagai kematian dalam kota tersebut yang akhirnya diketahui kalau orang dengan gen Pandawa tengah diburu dan dihabisi. Di antara masyarakat Kota Astina, Yuda adalah seseorang yang ditakdirkan sebagai Gatotkaca, sang pelindung Pandawa.
Secara konsep, saya amat sangat menyukainya. Ide soal pembagian Pandawa dan Kurawa berdasarkan gen serta soal tugas Gatotkaca sebagai pelindung Pandawa adalah salah satu solusi yang cukup baik dalam hal menerapkan kisah mitologi ke dunia modern. Sayangnya, konsep saja tidak cukup. Butuh eksekusi yang baik untuk membuatnya bisa dinikmati, dan hal inilah yang gagal diwujudkan oleh Hanung Bramantyo selaku sutradara.
Film ini tampak memiliki beban yang begitu berat sebagai film pertama Satria Dewa Universe. Entah dari mana datangnya konsep film pertama shared universe punya beban harus menjelaskan dunianya sebanyak mungkin. Gundala melakukan itu, dan kini, Satria Dewa: Gatotkaca pun melakukan hal yang sama.
Sepanjang durasi, film ini terasa terlalu banyak menjelaskan berbagai hal. Bahkan bisa dibilang, film ini memang full eksposisi. Tiap scene-nya selalu menjelaskan sesuatu, entah itu karena situasi baru, pengetahuan baru, atau kemunculan karakter baru yang banyak. Lama-lama penonton seperti bukan sedang menonton film, melainkan sedang diberi materi kuliah.
Banyaknya dialog eksposisi atau penjelasan membuat film ini terkesan begitu bawel nan berisik. Bukan cuma dialog, kesan berisik ini diperkuat dengan karakter-karakter yang secara harfiah berisik.
Banyaknya eksposisi ini disebabkan beban film untuk menceritakan berbagai hal; menjelaskan apa itu Pandawa, apa itu Kurawa, menjelaskan motifnya yang berasal dari perang Bharatayuda, menjelaskan benda pusaka, menjelaskan Gatotkaca, menjelaskan karakter ini, karakter itu, dan banyak karakter lagi. Penjelasannya saja terasa capek banget. Cakupan dunianya yang begitu luas membuat film ini begitu keteteran hingga durasi dua jam saja rasanya terlalu sedikit agar film ini tidak cuma berbagi info semata, tapi juga berbagi rasa.
Padahal materi dalam film ini bisa memiliki potensi menarik jika mau dipisah menjadi materi di sekuel-sekuelnya, memperkecil skala ceritanya. Rasanya mencicil penjelasan konsep dunianya tidak akan terlalu bermasalah, ketimbang harus dipadatkan jadi satu film yang berakibat menjadi terlalu bawel nan berisik menjelaskan banyak hal secara tidak natural.
Salah satu penyebab kenapa film yang penuh eksposisi ini terasa melelahkan adalah tidak ada hal menarik yang ditawarkan, tidak ada rasa yang ditawarkan. Ada beberapa usaha seperti memasukkan beberapa komedi, tapi itu pun tidak bekerja dengan baik. Yang disayangkan justru minimnya fokus penggalian karakter inti akibat terlalu banyak karakter yang diperkenalkan.
Pada awalnya, Yuda sebagai karakter utama memang memiliki latar cerita yang rasanya cukup bisa menarik simpati, khususnya soal ibunya dan sahabatnya, Erlangga. Sayangnya, penggalian karakter Yuda jadi teralihkan dengan berbagai karakter baru yang muncul. Akhirnya, potensi dramanya jadi sia-sia.
Selain komedi yang jarang lucu dan drama yang diganggu eksposisi serta berbagai karakter baru, usaha membuat film enjoyable melalui adegan aksi pun ternyata tidak bisa maksimal. Sangat mengesalkan rasanya punya talent dan koreografer sekelas Yayan Ruhian dan Cecep Arif Rahman, tapi lebih memilih penyuntingan cut to cut penuh close up atau medium shot yang membuat adegan aksi sulit diikuti. Padahal kurang capable apa coba talent stunt-nya untuk melakukan gerakan menarik dengan tangkapan frame kamera penuh?
Pada akhirnya, tidak ada satupun adegan pertarungan yang memorable, meskipun di sisi lain saya setuju dengan penempatan dan porsi aksinya yang tidak berlebihan. Satu-satunya adegan yang memorable dan mengesankan adalah saat pertarungan CGI dimulai, saat Yuda menggunakan form Gatotkaca sepenuhnya. Walau performa CGI fight scene-nya pun tidak konsisten, di mana hal keren yang terjadi sudah ditampilkan semua di trailer, yang artinya tidak ada hal baru juga.
Saya merasa Satria Dewa: Gatotkaca memiliki potensi semesta serta konsep yang menarik. Melihat bagaimana semesta superhero satu ini mengimplementasikan cerita pewayangan perselisihan abadi Pandawa dan Kurawa dengan latar modern, dan bagaimana implementasi nilai-nilai heroism di semesta ini. Tentu saja dengan adanya perbaikan di sana-sini.
Penulis: Muhammad Sabilurrosyad
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Film Ngeri-ngeri Sedap, Relatable dengan Keluarga Indonesia.