Tak seperti sate pada umumnya yang menggunakan sambal kacang ataupun sambal kecap, sate ambal khas Kebumen justru tampil “nyeleneh” menggunakan sambal tempe. Sambal ini terbuat dari tempe rebus yang dilumatkan dan dicampur gula jawa dan bumbu.
Sebelum dibakar, daging ayam yang telah dipotong-potong dimarinasi dengan bumbu selama 2 jam sehingga bumbu meresap. Bumbu sate terdiri dari sekitar 12 macam rempah. Bekas bumbu rendaman sate dicampur dengan tempe rebus yang telah dilumatkan. Campuran tempe dan bumbu ini selanjutnya jadi sambal yang disiramkan ketika sate siap disajikan.
Sebenarnya tanpa sambal tempe pun sate ambal khas Kebumen sudah nikmat. Akan tetapi, kalau ditambah sambal rasanya jadi lebih kaya, ada perpaduan rasa manis, pedas, dan gurih yang pas.
Jangankan memakannya, asap pembakaran satenya saja sangat harum dan sedap. Bahkan saya belum pernah mendapati bau asap sate senikmat itu. Aroma sate ambal melempar memori saya pada masa tahun 90-an. Masa ketika begitu populernya hiburan rakyat khas Jawa Tengah bagian selatan. Ketika hampir tiap hari ada tanggapan wayang, ketoprak, kuda lumping, ataupun ndudalak. Suasana magis pertunjukan itu rasanya kurang afdal tanpa aroma sate ambal dari para penjaja.
Sate ambal berasal dari Kecamatan Ambal di pesisir selatan Kebumen
Sate ambal berbeda dengan sate-sate lain yang berasa sate ketika dicampur dengan sambal “pengacau” lidah. Kenapa saya sebut pengacau? Bagi saya, sambal kacang dan kecap adalah pengacau indera perasa. Makanan yang berasa hambar, biasa saja, tidak enak, atau bahkan pahit, kalau dicampur sambal kacang atau kecap akan terasa “enak”. Ikan atau daging yang dibakar tapi belum matang, agak amis, atau pahit karena gosong, ketika dicampur kecap akan terasa “nikmat”.
Nama sate ini berasal dari tempat asal sate. Ambal adalah sebuah kecamatan di pesisir selatan Kabupaten Kebumen Provinsi Jawa Tengah. Jaraknya sekitar 20 kilometer dari pusat Kota Kebumen dan 50 kilometer dari Bandara Yogyakarta International Airport (YIA).
Wilayah Ambal dilalui jalur Pansela yang membentang dari Anyer sampai Banyuwangi sejajar dengan pantai selatan Jawa. Adanya jalur jalan ini menjadikan sate ambal semakin dikenal oleh para penggguna jalan. Terlebih lagi di musim mudik Lebaran, jalur ini menjadi alternatif menghindari kemacetan.
Apabila Anda melewati jalur Pansela dari arah Yogyakarta ketika masuk batas Kabupaten Kebumen, ambil ambil jalur lurus melewati Jalan Daendels. Ketika memasuk Desa Ambalresmi, Anda akan disambut dengan berbagai jejeran warung sate ambal. Hampir semua warung mencantumkan tiga tokoh, yaitu Santukit, Surip, dan Kasman. Para penjual tersebut “mengaku” sebagai putra dan cucu dari ketiga tokoh tersebut.
Langganan saya adalah Sate Ayam Bu Klendet yang merupakan anak dari Pak Kasman. Warung ini bersebelahan dengan warung sate Pak Kasman. Sudah lazim di sini sesama saudara berjualan sate bersebelahan. Bahkan pernah ketika saya ke toilet yang ada di belakang warung, saya menyaksikan ternyata sate yang dijual di kedua warung tersebut adalah sama.
Sejarah sate ambal berawal dari seorang tentara Pangeran Diponegoro bernama Sabar Wiryo Taruno. Dialah orang yang pertama kali menjajakan sate ambal dengan berkeliling memakai pikulan sekitar tahun 1983. Para penjual sate ambal Kebumen sebagian besar merupakan anak keturunan dari Pak Sabar.
Rasanya bikin ketagihan
Saya, istri, dan anak-anak saya tidak selera makan sate kalau bukan sate ambal. Bahkan istri saya yang asal Pekalongan setelah kenal dengan sate ambal, lidahnya sudah tidak bisa menikmati sate lain. Setiap kali mudik ke Kebumen, mereka selalu mengajak ke Ambal. Ataupun kalau eyang atau saudara berkunjung ke Bogor, mereka sering minta dibawakan makanan istimewa ini.
Kalau jenis sate lainnya biasanya harus dimakan di hari itu juga karena cepat basi. Sementara sate ambal bisa bertahan hingga 3 bahkan 4 hari kalau tidak dicampur dengan sambal. Agar sambal lebih awet harus dipisah dan langsung dimasukkan ke kulkas.
Ketika rezeki longgar, beberapa kali saya membawa sate ambal ke kantor sehabis mudik Lebaran. Semua orang di kantor biasanya mengatakan sangat enak. Apesnya, setiap kali mereka tahu saya pulang ke Kebumen, mereka pasti menagih oleh-oleh sate ini.
Pernah juga ada teman kantor yang main ke Kebumen, langsung saya ajak ke Ambal. Awalnya dia meledek, “Sate kok kayak gini?” Tapi setelah dimakan, dia habis 40 tusuk sendiri.
Keistimewaan lain dari sate ambal Kebumen adalah dimakan dengan ketupat. Kalau sate lainnya kan biasa dimakan pakai nasi atau lontong, ya. Ketupatnya pun ketupat asli janur kelapa, bukan ketupat yang dibungkus plastik, makanya rasa dan aroma sate ini khas. Berasnya juga ori tanpa dicampur “obat” biar awet. Perbedaan lainnya sate ambal dengan sate biasanya ada pada tusuk satenya. Tusukannya bukan terbuat dari bambu, melainkan lidi daun kelapa.
Ada kepercayaan bahwa sate ambal akan enak bila dijual di daerah Ambal, apabila dijual di daerah lain pasti rasanya tidak enak. Bisa jadi ini cuma sugesti, mitos, atau bahkan strategi pemasaran. Namun harus saya akui, kalau membeli sate di luar Kecamatan Ambal, rasanya kurang mantap. Padahal warung satenya cabang dari yang di Ambal. Bisa jadi inilah keistimewaan sate ambal. Ah, yang penting makan satenya, deh.
Jadi, ayo ke Kebumen, eh, Ambal.
Penulis: Setiawan Muhdianto
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Percayalah, Jangan Main ke Kebumen, Nanti Bakal Nyesel.