Pak Madun, tukang sate ayam Madura langganan saya, ternyata seorang sarjana. Pengalaman hidupnya membuat saya merenung.
Sepulang bekerja part-time di sebuah optik dekat kampus, saya mempunyai ritual kecil: membeli sate ayam Madura. Bukan hanya karena rasanya gurih dan bumbunya kental, tapi juga karena suasana hangat yang selalu menyelimuti ketika berdiri di depan gerobak itu.
Bau asap arang, suara tusukan sate yang beradu, dan sapa ramah dari Pak Madun (sang penjual sate) selalu menjadi penutup hari yang melelahkan. Biasanya, transaksi kami sederhana. Saya pesan, beliau membakar, bayar, lalu saya pulang.
Suasana sore hari itu terasa berbeda. Di tengah obrolan ringan, Pak Madun tiba-tiba bertanya hal yang saya rasa cukup personal.
Menurut saya, membahas skripsi kepada mahasiswa akhir seperti saya ini, yang hanya dikenal sebatas hubungan transaksional antara pelanggan dan penjual, agaknya cukup personal.
Namun, siapa sangka, obrolan yang baru saja terjadi itu hanya sekadar pembuka saja. Siapa sangka lagi, penjual sate ayam yang dikenal sederhana itu ternyata sarjana, lulusan Universitas Islam Negeri Malang. Siapa sangka pula, beliau ini nyatanya sempat bekerja di Arab selama 2 tahunan.
Saya sempat terdiam. Dalam bayangan saya, seorang pedagang sate ayam pinggir jalan umumnya memiliki latar belakang yang sederhana, tapi dia sarjana. Ternyata, kisah hidup orang di balik gerobak jauh lebih kaya daripada dugaan awal. Ada lapisan-lapisan cerita yang sering kali tersembunyi di balik aroma bumbu kacang dan bara arang.
Sarjana, sate ayam, dan ekspektasi sosial
Ketika mendengar bahwa Pak Madun adalah sarjana, benak saya langsung dipenuhi pertanyaan. Mengapa seseorang dengan gelar akademis dan pengalaman kerja di luar negeri akhirnya memilih berjualan sate ayam? Bukankah secara logika, gelar sarjana seharusnya membuka pintu menuju pekerjaan yang lebih “mapan” dan “bergengsi”?
Di sinilah kita berhadapan dengan realitas sosial Indonesia. Gelar sarjana bukan lagi jaminan. Jumlah lulusan universitas yang membanjiri pasar kerja jauh melampaui daya serap industri.
Banyak sarjana yang akhirnya harus mencari pekerjaan alternatif. Bahkan yang sama sekali tak berkaitan dengan latar belakang akademis. Pak Madun adalah contoh nyata. Dia sarjana, pernah merantau ke luar negeri, namun akhirnya justru menemukan jalannya di balik gerobak sate.
Apakah ini kegagalan? Tidak. Sebagian mungkin melihat hal itu sebagai “kemunduran”. Tetapi, bukankah itu juga cerminan kreativitas bertahan hidup?
Pendidikan tinggi dan gelar sarjana memang penting, tapi bukan satu-satunya faktor yang menentukan hidup seseorang. Ada hal-hal lain seperti kesempatan, jaringan sosial, keberanian mengambil keputusan, dan tentu saja, takdir. Seperti penutup obrolan sore itu yang terucap dari Pak Madun, “Qadarullah, sekarang jualan sate Neng. Alhamdulillah, dijalanin saja.”
Pak Madun, dengan gerobak satenya, sedang melawan stigma itu. Dia tidak terjebak pada gengsi, tidak malu dengan pekerjaannya. Yang dia tahu, keluarga harus tetap hidup, dan asap sate harus terus mengepul.
Dari Arab ke gerobak sate ayam pinggir jalan
Ada sisi menarik lain dari cerita hidup sang sarjana ini, yaitu pengalaman kerja di Arab Saudi. Dia pernah bercerita tentang kerasnya disiplin di negeri rantau, bagaimana dia harus menyesuaikan diri dengan budaya kerja yang berbeda, serta perjuangan menahan rindu pada tanah air. Dua tahun bukan waktu singkat.
Namun, kepulangan itu ternyata bukan akhir dari perjalanan, melainkan awal dari babak baru yang tak kalah menantang. Jika di Arab dia mungkin mendapat upah tetap, di Indonesia, sang sarjana ini harus berjibaku dengan ketidakpastian.
Berjualan sate berarti berjudi dengan cuaca, dengan sepi atau ramainya pembeli. Bahkan dengan kesehatan tubuh yang harus kuat berdiri hingga larut malam.
Lucunya, banyak dari pembeli sate Pak Madun, yang rata-rata mahasiswa, mendambakan jalan hidup si bapak. Para sarjana ini berjuang keras demi bisa kelak mendapat kesempatan bekerja di luar negeri, berpenghasilan lebih baik, dan “dianggap berhasil” oleh masyarakat.
Tetapi, hidup memang penuh paradoks. Seseorang bisa menempuh jalan panjang hanya untuk kembali ke titik awal yang sama sekali tidak dia bayangkan.
Sarjana dan paradoks zaman modern
Fenomena seperti yang dialami Pak Madun sebenarnya bukan hal aneh di zaman sekarang. Banyak sarjana akhirnya memilih jalan hidup yang sama sekali berbeda.
Ada yang jadi petani organik atau membuka warung kopi. Ada pula yang merintis usaha kecil. Modernitas menjanjikan linearitas: kuliah → kerja mapan → bahagia. Tapi realitas justru berliku, penuh kejutan, dan sering kali tak terduga.
Paradoks ini bisa membuat kecewa bagi mereka yang masih berpegang pada pola lama. Namun di sisi lain, paradoks ini juga membuka peluang untuk menafsirkan ulang arti kesuksesan.
Bahwa sukses bukan sekadar soal status sarjana, gaji besar, atau jabatan tinggi, melainkan juga tentang menemukan ruang hidup yang sesuai dengan nilai dan kebahagiaan pribadi. Tidak ada yang hina dari berjualan sate. Sebagaimana halnya, tidak otomatis mulia bekerja di gedung megah.
Yang membuat pekerjaan itu berarti adalah cara kita menjalaninya. Dan yang tak kalah penting adalah menghargai setiap pekerjaan.
Martabat dalam setiap pekerjaan
Dalam masyarakat kita, pekerjaan sering dijadikan tolok ukur martabat. Bekerja di kantor ber-AC dengan gaji besar dianggap lebih terhormat daripada berdagang di pinggir jalan. Padahal, kenyataannya tidak sesederhana itu.
Ketika bercerita, Pak Madun tidak menunjukkan penyesalan atau rasa rendah diri. Sang sarjana ini justru terlihat bangga. Menurutnya, berjualan sate membuatnya lebih dekat dengan keluarga, lebih bebas mengatur waktu, dan tetap bisa menghidupi orang-orang terdekat dengan layak.
“Yang penting halal dan cukup buat hidup,” katanya sambil tersenyum, sembari tetap membolak-balik sate yang nyaris gosong.
Seketika ada rasa kagum pada diri Pak Madun, betapa tenangnya beliau menjalani jalan hidup yang mungkin dipandang “tidak prestisius” oleh orang lain. Betapa sering pula kita, para mahasiswa dan sarjana, memandang pekerjaan yang hanya dari gengsi dan gaji.
Sore itu, sate ayam Madura yang biasanya hanya jadi teman makan selepas bekerja paruh waktu, tiba-tiba berubah menjadi renungan oleh mahasiswa akhir seperti saya.
Kesuksesan tidak selalu berbentuk gaji besar atau jabatan tinggi. Terkadang, kesuksesan hadir dalam bentuk sederhana: bisa hidup layak, dekat dengan keluarga, dan menjalani pekerjaan dengan hati yang tenang.
Penulis: Nabila Anggraeni
Editor: Yamadipati Seno
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
