Seandainya Samuel Paty mengaplikasikan pepatah bahwa pengalaman adalah guru terbaik, ia pasti masih segar-bugar hingga hari ini. Sayangnya, Paty tidak mengaplikasikan pepatah tersebut. Kecerobohannya yang memperlihatkan kartun Nabi Muhammad SAW terbitan majalah Charlie Hebdo kepada murid-muridnya sebagai contoh kebebasan berekspresi di Prancis, membuat kepalanya sukses digorok oleh Abdoullakh Anzorov, remaja asal Chechnya, muridnya sendiri. Kejadian itu sekaligus melegitimasi bahwa Paty juga bukanlah guru yang berpengalaman. Padahal pengalaman menunjukkan, kartun Charie Hebdo tentang Nabi Muhammad sebelumnya juga pernah menuai reaksi keras dari dunia Islam.
Bukannya menyejukkan suasana agar sedikit semriwing, Presiden Prancis Emmanuel Macron justru menyulut kemarahan melalui pernyataannya. Meskipun tidak bijak, “bolehlah” Macron membela tindakan Paty sebagai bentuk kebebasan berekspresi di Prancis yang menganut paham sekularisme. Akan tetapi, menuduh seluruh umat Islam sebagai ekstrimis dan teroris karena aksi seorang ekstrimis Abdoullakh Anzorov adalah sangat ceroboh dan melukai umat Islam.
Prancis memang sejak lama mengidap penyakit akut perihal sekularisme dan ekstrimisme agama. Ibarat dua kutub yang berseberangan, praktik sekularisme kerap menimbulkan dilema antara kebebasan berpendapat dan menghormati identitas manusia lain. Di satu sisi, paham ekstrimisme yang merebak di Prancis, pada taraf tertentu juga sangat membahayakan karena berulang kali berujung pada terorisme. Samuel Paty dan Abdoullakh Anzorof, Macron dan reaksi keras dari berbagai negara muslim, adalah rangkaian representasi dari benturan nilai-nilai antar peradaban.
Terlepas dari reaksi keras dan kecaman dari berbagai pihak terhadap Macron, termasuk pemerintah Indonesia, saya tentu tidak ingin larut dalam pro kontra peristiwa itu. Apalagi ikut nimbrung dari sudut pandang teori Clash of Civilization-nya Samuel Huntington. Alasannya jelas, karena saya memang tidak memiliki kapasitas sama sekali. Saya malah ingin memotret dari sisi enteng-entengan saja, yaitu tentang Mas Arie K. Untung. Lho, apa hubungannya, sih?
Sejak pernyataan Macron muncul di media, salah satu publik figur yang pertama bereaksi “paling aduhai” adalah Mas Arie Untung. Tak tanggung-tanggung, selebriti yang sedang giat-giatnya menempuh jalan hijrah ini langsung menyerukan boikot terhadap seluruh produk-produk Prancis. Lewat Instagram, Arie Untung memprotes pernyataan Macron yang dianggap telah menghina umat Islam terutama Nabi Muhammad SAW.
Bentuk protesnya itu diwujudkan dengan cara membuang semua koleksi tas dan produk branded asal Prancis. Arie Untung mengunggah foto sedikitnya ada enam buah tas bermerek terkenal semacam Dior dan Louis Vuitton, serta sebuah sepatu yang diletakan begitu saja di atas lantai. Berikut postingan Arie Untung tanpa saya edit sedikitpun.
“Barang2 RECEHAN brand2 Prancis ini ngga layak ada di lemari yg pemiliknya sangat mencintai nabinya. Brand2 ini Kastanya langsung jadi “paling rendah”. Smentara pernyataannya gitu, Barang2 ini Ga akan kami pakai Berapapun harganya, Ga sebanding sama nabiku sama sekali. So insulting,”
Barang-barang recehan menurut Arie Untung itu iseng-iseng saya cek harganya di salah satu situs belanja online. Rupanya harga termurahnya sekitar 27-35 juta rupiah. Seri tertentu malah tiga kali lipat harganya. Nah, jika dikalikan dengan jumlah tas dan sepatu milik Arie Untung yang “dibuang” begitu saja, setidaknya bernilai lebih dari 200 juta rupiah. Sebuah gaya hidup yang sangat “zuhud” bagi seorang pejuang hijrah.
Arie menambahkan bahwa aksi boikotnya itu bermaksud agar membawa dampak bagi perekonomian Prancis. Biar Prancis tidak sewenang-wenang menghina umat Islam karena ada konsumen muslim di belahan dunia lain yang akan meninggalkan produknya. Pendek kata ya biar perusahaannya gulung tikar, gitu.
Senada dengan Arie Untung, MUI bahkan mengeluarkan surat edaran resmi terkait hal ini. Tidak mau kalah start, ormas spesialis jihad jalanan PA 212 juga mengecam keras pernyataan Macron yang dianggap menghina Islam. Ia menilai Macron sama saja telah mendukung penistaan terhadap umat Islam di seluruh dunia. Novel Bamukmin, jubir PA 212 lalu menyerukan kepada umat Islam di Indonesia agar memboikot produk-produk dari Prancis. Menurutnya, itu sikap yang perlu diambil sebagai sikap protes terhadap Macron.
Bagaimanapun juga, main boikot-boikotan begitu sih memang wajar. Akan tetapi, kalau melihat realita umat Islam di Indonesia hari ini, rasanya kok agak ganjil, ya? Lha, gimana mau boikot? Kalau mana yang produk Prancis dan mana yang bukan, termasuk produk ori atau KW saja kita masih sulit membedakan. Kecuali kalau Anda memang orang tajir seperti Arie Untung yang udah kadung beli tapi tidak digeletakin begitu saja (setidaknya untuk saat ini, entah nanti).
Boikot memang sangat heroik sebagai bentuk aksi perlawanan simbolik kaum lemah kepada raksasa kapitalis. Mirip dengan menonton pertandingan Madura United melawan Manchester United. Namun, benarkah aksi boikot akan membawa efek kekalahan ekonomi pemilik modal sebagaimana tujuan boikot? Kok saya sangat tidak yakin. Setidaknya kasus boikot Sari Roti bisa jadi contoh.
Saat kasus demo Ahok, gerakan boikot Sari Roti sangat terstruktur, masif, dan sistematis. Banyak yang memposting foto Sari Roti di sejumlah minimarket yang basi karena tidak laku akibat aksi boikot. Seolah-olah dalam beberapa bulan lagi, perusahaan raksasa roti ini akan bangkrut. Namun, apa yang terjadi? Sebulan, dua bulan penjualannya memang menurun. Seiring waktu, orang tidak lagi ambil pusing dan belanja roti seperti biasanya. Sari Roti tetap merajai pasar roti di tanah air hingga kini.
Aksi boikot memang tidak terlepas dari akar sejarah beberapa ratus tahun silam. Pada tahun 1880, Lord Erne, juragan tanah, menolak protes para petani yang menggarap lahannya untuk menurunkan harga sewa tanah. Nah, untuk memuluskan misinya, Lord Erne menyuruh anak buahnya, Charles Cunningham Boycott untuk mengintimidasi dan menekan petani lewat ancaman penggusuran rumah dan pemecatan.
Dalam rangka kampanye Three Fs (Fair Rent, Fixity of Tenure, dan Free Sale) dan penolakan terhadap rencana penggusuran, aktivis Irish National Land League mendorong para pegawai Boycott dan penggarap lahan milik Lord Erne untuk mogok kerja. Mereka juga meminta Boycott dikucilkan oleh warga setempat. Akibat penolakan itu, Boycott akhirnya gagal mendapatkan tenaga kerja. Singkat cerita, kekuatan ekonomi Lord Erne pun tumbang.
Lain ladang, lain belalang. Lain Prancis, lain pula dengan China. Jika karena kasus tersebut gencar disuarakan aksi boikot produk-produk Prancis sebagai bentuk kepedulian terhadap marwah Islam. Mengapa aksi serupa tidak berlaku saat China melakukan diskriminasi dan intimidasi kebebasan beragama terhadap etnis muslim Uyghur di Xinjiang?
Bukankah pengekangan terhadap kebebasan beragama muslim Uyghur oleh pemerintah China yang konon juga disertai penyiksaan justru jauh lebih mengerikan secara lahir batin dibanding pidato provokasi dari Macron? Sayangnya, aksi kepedulian terhadap etnis muslim Uyghur hanya sebatas pada banjir tagar #save_uyghur di medsos dan membikin meme yang berisi umpatan atau caci-maki bahwa pemerintah China adalah kuminis, PKI, sambil menuduh pemerintah RI adalah antek China.
Saya curiga bahwa seruan boikot atas produk-produk Prancis hanya aksi gagah-gagahan. Mengapa? Pasalnya, produk-produk Prancis yang ada di Indonesia bisa dihitung dengan jari. Itu pun terbatas pada aksesoris dan barang penunjang gaya hidup, bukan kebutuhan primer rumah tangga. Lebih dari itu, konsumen produk-produk Prancis juga terbatas pada kalangan tertentu saja. Dengan kata lain, aksi boikot itu tidak akan berdampak apa pun pada kehidupan masyarakat awam. Sementara jika produk-produk made in China yang kita boikot, bisa jadi akan bikin ludes seluruh isi rumah kita.
Mulai dari barang jeroan macam BH dan daleman wanita, hingga barang elektronik macam handphone, laptop, kulkas, AC, TV, dan sejenisnya. Belum lagi mainan anak-anak, peralatan kantor, aksesori, dan barang-barang lainnya. Semua adalah produk China. Akan tetapi, bukankah kehilangan seluruh perabot rumah made in China tidak ada apa-apanya dibanding dengan pahala jihad membela marwah agama? Dari pada bingung, sebaiknya Anda tak usah memikirkan konsekuensi atas pertanyaan saya.
BACA JUGA 5 Cara yang Membuatmu Kelihatan Kaya di Mata Orang Indonesia dan tulisan Muhammad Makhdum lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.