Saya ini, sebagai warga Salatiga, kadang cuma bisa menghela napas panjang. Bukan karena lelah, tapi bingung mau merespons apa.
Ketika kabar Salatiga menjadi kota paling toleran se-Indonesia itu sampai ke telinga, reaksi pertama saya bukan euforia meledak-ledak. Lebih mirip senyum tipis, campur sedikit rasa geli.
Bagaimana tidak, bagi kami, toleransi itu bukan prestasi. Ini seperti udara yang kita hirup setiap hari. Toleransi itu sudah menjadi bagian dari DNA kota ini.
Jadi, kalau ada yang bilang kami juara toleransi, rasanya seperti ada yang bilang, “Wah, kamu hebat ya, bisa bernapas!” Ya memang begitu adanya, kan?
Salatiga santai saja menyikapi narasi perpecahan
Di luar sana, kegaduhan media sosial dan berita sering penuh narasi perpecahan. Ada saja yang diperdebatkan. Mulai dari hal-hal fundamental sampai urusan sepele yang mendadak jadi krusial.
Identitas dipertajam, perbedaan digali sedalam-dalamnya. Seolah-olah hidup ini adalah kompetisi siapa yang paling benar. Ini adalah perdebatan sengit tentang hal-hal yang kadang tak substansial, tapi justru berhasil memecah belah persaudaraan.
Isu-isu sensitif mudah sekali membakar emosi. Ini membuat kita lupa bahwa di balik perbedaan itu, ada kemanusiaan yang sama. Di sana ada tetangga yang mungkin besok pagi akan kita mintai tolong.
Lalu, bagaimana dengan Salatiga? Kami di sini cenderung santai saja. Mau beda agama, suku, pilihan politik, selera kopi, sampai tim sepak bola favorit, ya silakan saja. Itu bukan masalah besar.
Yang penting, kalau bertemu di jalan ya saling sapa. Kalau ada tetangga butuh bantuan, ya dibantu. Dan kalau lagi minum kopi di warung, obrolan kami bisa meluas ke mana-mana. Dari harga cabai yang lagi melambung, gosip terbaru soal warung bakso yang baru buka, sampai isu-isu politik yang sedang hangat.
Hidup itu sederhana saja
Bagi kami di Salatiga, hidup itu sederhana dan nggak perlu jadi perpecahan. Misalnya, kalau trending isu ijazah palsu, ya kami juga ikut membahasnya. Tapi, bedanya, di Salatiga, pembahasannya lebih sering jadi bahan untuk menghabiskan kopi saja.
“Gimana itu, Pak, soal ijazah palsu itu? Kok bisa ya?” atau “Wah, itu kebijakan baru kok ya gitu ya, kira-kira gimana nanti dampaknya?” Obrolan seperti ini mengalir begitu saja, tanpa perlu mencari siapa yang benar dan salah. Apalagi sampai berdebat sengit hingga urat leher tegang.
Kami tahu, kopi itu lebih nikmat kalau diminum sambil ngobrol santai, bukan sambil adu argumen yang bikin kepala pening. Obrolan di Salatiga lebih sering berkutat pada hal-hal yang membumi, menyatukan, bukan yang memisahkan.
Kami tidak perlu deklarasi toleransi yang muluk-muluk. Nggak perlu juga seminar berhari-hari membahas indahnya keberagaman. Cukup dengan hidup berdampingan, saling sapa, dan kadang-kadang saling pinjam garam kalau lagi kehabisan. Sesederhana itu.
Dimensi lain bernama Salatiga
Saya sering membayangkan. Kalau ada orang dari kota besar yang penuh intrik datang ke Salatiga, mungkin mereka akan merasa seperti masuk ke dimensi lain. Bagaimana bisa, di satu gang ada masjid, gereja, pura, dan klenteng, tapi warganya akur-akur saja. Tidak ada drama, tidak ada saling sikut.
Paling banter, kalau ada acara hajatan, ya saling bantu pasang tenda atau menyiapkan makanan. Toleransi itu bukan cuma teori di buku-buku tebal, tapi praktik sehari-hari yang sudah mendarah daging, mengalir dalam setiap interaksi.
Ini bukan berarti kami tidak punya masalah, tentu saja. Tapi kami punya cara sendiri untuk menyelesaikannya. Mulai dengan musyawarah, pendekatan kekeluargaan, bukan dengan saling menyalahkan, apalagi sampai adu domba. Kami percaya, masalah itu untuk diselesaikan, bukan untuk diperbesar.
Gen kalem warga Salatiga
Mungkin ini karena kami di Salatiga itu punya semacam “gen kalem”. Kami tidak gampang terpancing emosi, apalagi sampai tersulut amarah.
Atau mungkin, karena udara di sini sejuk jadi bawaannya ingin damai-damai saja. Lingkungan yang nyaman, dengan pemandangan gunung yang menenangkan, seolah ikut membentuk karakter warganya.
Sejarah Salatiga sebagai persimpangan budaya dan agama juga mungkin turut andil. Sejak dulu, Salatiga sudah menjadi rumah bagi berbagai latar belakang. Dan, dari situlah kami belajar bahwa perbedaan itu justru memperkaya, bukan memecah belah.
Kami sudah terbiasa hidup berdampingan dengan berbagai latar belakang. Kondisi itu membentuk semacam kekebalan alami terhadap bibit-bibit perpecahan.
Yang jelas, kami bangga dengan predikat kota paling toleran se-Indonesia. Tapi ya bukan bangga yang jemawa. Lebih ke rasa syukur, bahwa apa yang kami jalani selama ini ternyata diapresiasi.
Ini adalah pengakuan atas nilai-nilai yang sudah kami pegang teguh turun-temurun. Bahwa hidup rukun itu bukan hanya impian, tapi bisa jadi kenyataan, bahkan di tengah hiruk pikuk dunia yang seringkali terasa begitu gaduh. Predikat ini adalah pengingat bahwa hal-hal baik, meskipun sederhana, tetap layak untuk dirayakan.
Mari ke mari
Jadi, buat Salatiga, selamat! Tetaplah jadi kota yang sejuk, warganya ramah, dan membuktikan bahwa toleransi itu bisa semudah sapaan “Selamat pagi!” di pagi hari sambil minum kopi bersama. Jangan sampai predikat ini membuat kita jadi sombong, apalagi sampai membuat harga tahu bakso naik. Itu baru masalah serius!
Dan untuk kota-kota lain, kalau mau belajar toleransi, tidak usah jauh-jauh. Coba saja mampir ke Salatiga. Lihat bagaimana kami hidup.
Tidak perlu pakai teori rumit, cukup dengan saling sapa, membantu, dan sesekali saling pinjam garam kalau lagi kehabisan. Dijamin, hidup Anda akan jauh lebih toleran.
Dan siapa tahu, kota Anda juga bisa mendapat penghargaan. Karena pada akhirnya, toleransi itu bukan soal label, tapi cara kita memilih untuk hidup setiap harinya. Di Salatiga, kami sudah memilih itu sejak lama, tanpa perlu pengumuman besar-besaran.
Penulis: Rheza Ardian Saputra
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Salatiga, Tempat Slow Living Terbaik di Jawa Tengah
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
