Saya tinggal di satu desa di Provinisi Sulawesi Utara. Setiap tahun berlalu di desa saya akses jalanan tidak ada perubahan justru kehancuran. Dan itu terjadi sejak saya tinggal pada tahun 1999. Kurang lebih satu tahun pasca tumbangnya rezim orde baru.
Semua orang pasti ingin setiap perjalannya terasa nyaman ketika berkendara. Kami warga desa ini pun demikian. Tapi keinginan itu masih menjadi sebuah harapan, dan terus menjadi harapan. Tahun demi tahun dilewati semuanya itu masih sama, iya sama, tidak ada perubahan apa-apa. Heheheh~
Saking besarnya lubang-lubang di jalanan, kami suka ngerasa tidak sedang berkendara di daratan, tapi di laut. Padahal kalau dihitung warga desa kami sudah menunggu lebih dari 2 windu supaya ada perbaikan jalan.
Sebagai kritik, warga desa sampai menamai jalan rusak ini sebagai jalan “Inul” karena ketika lewat jalan ini, kita seperti diajak bergoyang—yang saking goyangnya sama kayak lagi goyang ngebornya Inul.
Padahal untuk masuk ke desa kami itu, jalan yang harus dilewati adalah tempat-tempat terkenal yang strategis seperti kampus IAIN Manado. Tapi ya gitu, yang mulus cuma di sana saja, pas udah sampai jalan desa, semuanya berubah 180 derajat.
Yang lebih membingungkan, di desa kami sempat dibangun satu perumahan mewah yang jaraknya hanya berkisar 20 meter dengan rumah warga. Nah, jalan yang diperbaiki lagi-lagi cuma jalan komplek saja. Hal ini tentu bikin saya bertanya-tanya sebenernya gimana sih perencanaan pembangunan di desa ini. Sayangnya informasi soal hal ini tidak bisa kami akses karena semuanya serba tertutup.
Selain akses informasi soal perencanaan pembangunan desa, dana pembangunan jalan juga jadi persoalan. Ini jadi ironi karena sebelumnya para Aleg (anggota legislatif) pernah berjanji untuk membantu pembiayaan pembangunan jalan yang rusak di desa kami. Emang salah banget berharap pada janji mereka tuh.
Padahal ya para anggota legislatif itu dipilih karena warga ingin perbaikan jalan segera terlaksana sebab semua masyarakat desa dari dulu sampai sekarang sudah jengah sekali dengan kondisi jalan rusak yang sangat membahayakan.
Bayangin deh, hampir setiap tahun kami dijanjikan program-program yang bisa memperbaiki jalanan tersebut. Mulai program dari tingkatan provinisi, Kota, hingga inisiatif masyarakat. Dan sudah berapa kali ganti gubernur, walikota, hingga aparat desa, sampai sekarang masih tidak ada perubahan apa-apa.
Mana keadaan semakin dipersulit gara-gara ada pembagian wilayah desa yang bikin satu desa terbagi jadi tiga kabupaten. Pembagian wilayah ini bikin warga desa bingung soal status jalan desa seharusnya diurus oleh wilayah yang mana. Juga bikin bingung masalah administratif karena tiba-tiba warga desa harus mikirin KTP mereka sebelumnya di buat di wilayah mana.
Jalan berlubang, Administrasi yang berlalu lalang dan Janji yang hilang. Segeralah kalian berlalu agar kita tak jadi bingung dan sakit pinggang (melewati jalan) melulu. Semoga~
Atas nama keresahan, Bacalah tulisasn ini sambil tertawa.
BACA JUGAÂ Tahun Baru itu Fana, Jalan Berlubang yang Abadi atau tulisan Faisal Paeka lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.