Belakangan, Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak atau RUU KIA ramai jadi sorotan. Soalnya, RUU tersebut memuat sejumlah aturan terkait peran ibu. Yang paling jadi sorotan adalah aturan cuti melahirkan yang cukup panjang, yaitu sampai 6 bulan.
Tujuan dibentuknya RUU ini memang baik sekali, yaitu untuk mencegah stunting, memenuhi kebutuhan gizi anak di masa awal kehidupan, hingga mencegah postpartum syndrom pada ibu. Makanya dia diberi nama RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak. Sekilas, hal tersebut terdengar menyenangkan. Terdengar seperti negara-negara maju yang terapkan cuti melahirkan yang panjang.
Iya, sekilas.
Coba lihat argumen-argumen yang mencermati RUU tersebut dan memandangnya cukup berbahaya, bahkan untuk para ibu dan calon ibu.
RUU KIA terkesan ingin membakukan peran gender perempuan dan melimpahkan beban pengasuhan hanya kepada perempuan. Lho, kok bisa? Lihat jawaban Ibu Ketua DPR RI, Puan Maharani, saat ditanya tentang alasan kenapa tidak memberlakukan paternity leave atau cuti bagi para suami untuk mengurus anaknya. Ia menjawab begini:
“Bisa saja itu (usul cuti ayah) dibahas. Tapi kan kalau dari perspektif kami, yang melahirkan itu ibunya. Sehingga nggak mungkin dua-duanya cuti,”
Jadi, menurut ibu ketua DPR, karena ibu yang melahirkan, yang mengalami proses biologis tersebut, maka peran pengasuhannya juga tanggung jawab ibu. Sungguh pandangan khas bias gender yang tidak mampu membedakan antara fungsi biologis dan peran seseorang.
Hanya karena yang bisa mengeluarkan ASI itu perempuan, lalu dianggap segala persiapan menyusui juga jadi tanggung jawab perempuan. Mulai dari menyiapkan alat pumping, cari baju busui, dll. Padahal peranan tersebut harusnya dibantu oleh laki-laki, karena pekerjaan-pekerjaan tersebut nggak butuh rahim ataupun payudara (yang hanya ada di tubuh perempuan). Hanya butuh kemauan, kesehatan, dan kesadaran.
Sejenak, kita soroti cuti 6 bulan dulu sebentar. Banyak yang berpikir seperti ini: Dengan kebijakan yang ada saat ini saja, di mana cuti melahirkan hanya diberikan maksimal 3 bulan, sudah banyak sekali pekerja perempuan yang di-PHK setelah melahirkan. Atau bahkan tidak diterima bekerja jika diketahui tengah hamil atau sedang merencanakan kehamilan.
Lalu bisa dibayangkan, seperti apa jika kebijakan cuti melahirkan selama 6 bulan ini benar-benar diterapkan?
Itulah masalahnya, cuti 6 bulan ini harusnya bukan diatur di RUU KIA, tapi di Ketenagakerjaan dengan perbaikan sistem dan pengawasan. Dan pemberlakuan cuti 6 bulan ini harus diikuti dengan seabrek aturan lain untuk mengawasi dan memastikan jalannya aturan tersebut. Saya pikir itu masalah utama di negara ini: mencoba canggih, namun tak pernah memperbaiki pondasi.
Kalau aturan yang muncul hanyalah kewajiban memberi cuti 6 bulan, tapi tak dibarengi aturan lain yang sifatnya membantu aturan tersebut, ya sama saja.
Lanjut.
Selain pola pikir pembuat RUU nya bermasalah dan risiko terhadap pekerja perempuan, RUU ini juga punya masalah lain. Yaitu pembakuan peran pengasuhan yang dibebankan kepada perempuan. Seperti yang dicermati oleh Pimpinan Umum media online, Project Multatuli melalui akun twitternya, RUU KIA mewajibkan seorang ibu melakukan sejumlah hal, mulai dari menyusui hingga mengkondisikan lingkungan tumbuh kembang anak.
Lha memang apa yang salah dari itu? Kan baik. Iya bener baik, tapi yang salah ada di perkara diwajibkan. Nggak semua ibu kondisinya sama, nggak semua ibu mampu memberikan ASI pada bayinya. Belum ada RUU KIA saja, sudah banyak ibu-ibu yang dirundung, dibanding-bandingkan, hanya karena ngasih susu formula ke anaknya. Hanya karena beli bubur instan untuk anaknya. Dan soal-soal yang seharusnya nggak perlu diributkan lainnya.
Ngerinya lagi, poin-poin kewajiban itu dapat dilaporkan oleh orang sekitarnya jika sang ibu melanggar aturan. Walaupun nggak ada sanksi penjara ataupun denda, tapi sudah barang pasti penghakiman terhadap cara ibu mengasuh bayinya.
Kalau sudah begini, bahkan jika si suami dapat hak cuti sekalipun tetap saja beban pengasuhan hanya akan jadi tanggung jawab perempuan.
Karut marut RUU KIA ini mengingatkan saya kepada sebuah era di mana terjadi yang namanya ibuisme negara. Atau upaya domestifikasi perempuan yang dilakukan sistematis oleh negara. Zaman di mana ada sebuah organisasi perempuan yang salah satu nilainya adalah “patuh dan membantu kepentingan suami”.
Ibuisme negara juga berupaya membatasi peran perempuan di ranah publik, perencanaan pembangunan serta politik. “Pokoknya kalau kamu manusia bervagina, tugasmu itu melayani kebutuhan keluarga di rumah. Titik.” Begitulah kira-kira yang dimau sama negara di zaman itu.
Nah, RUU KIA ini punya nafas yang mirip dengan ibuisme negara. Mulai dari perspektif pembuat undang-undangnya yang bias gender, risiko peminggiran perempuan, hingga pembakuan peran domestik perempuan, semua ada di sana. Masa, sih, kita mau mundur lagi?
RUU KIA yang tampak progresif tapi justru berpotensi melanggengkan perspektif patriarki ini, membuktikan bahwa tak semua yang berkelamin perempuan, mampu berperspektif perempuan, mampu memikirkan kemajuan, kemerdekaan dan kemandirian perempuan.
Ada perempuan yang dengan sangat cepat mengesahkan UU Minerba, Ciptaker, dan mungkin sebentar lagi RUU KIA ini. Tapi di waktu yang sama, pura-pura tak mendengar kebutuhan perempuan pekerja rumah tangga yang butuh segera dijamin haknya melalui RUU PPRT.
Di saat yang sama, juga butuh waktu bertahun-tahun untuk akhirnya telinganya mau mendengar jeritan perempuan korban kekerasan seksual. Anda bingung? Saya juga sama.
Penulis: Fatimatuz Zahra
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Perempuan Cuma Pengin Hidup Tenang, Bukan Dihakimi