Di atas kertas, mungkin rumah subsidi adalah jawaban negara terhadap keresahan kaum urban dan semi-urban: harga tanah melambung, biaya hidup naik, dan gaji masih stagnan. Maka hadirlah solusi berupa hunian murah, katanya untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Tapi di lapangan, yang terlihat bukan impian yang terwujud, melainkan jebakan yang dirancang rapi.
Saya pernah menyebut rumah subsidi sebagai “penjara waktu”, dan saya masih percaya itu. Sebab ketika seseorang memutuskan untuk membeli rumah subsidi, ia tak hanya membeli bangunan, tapi juga berkomitmen terhadap lokasi, kualitas hidup, dan risiko jangka panjang yang mungkin tidak terbayangkan saat awal akad kredit.
Mimpi murah yang tak murah
Mari kita coba buka tabir kenyataan: banyak perumahan subsidi yang dibangun asal jadi. Tak sedikit yang didirikan di wilayah banjir rutin, bahkan ada yang dalam setahun bisa tiga kali terendam. Lucunya, pengembang tetap bisa menyulap kawasan seperti itu menjadi komplek hunian dengan brosur bertuliskan “asri dan strategis”.
Di sisi lain, ada yang malah dibangun di zona rawan longsor. Jangan tanya kenapa izinnya bisa keluar, kalian tahu sendiri jawabannya.
Tapi, coba bayangkan, rumah dibangun tanpa amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) yang layak, tapi dipasarkan secara masif ke masyarakat yang tak punya banyak pilihan. Bahkan, ada yang meyakinkan pembeli bahwa longsor itu “jarang terjadi”, seperti menyamakan tanah geser dengan gerhana matahari.
Soal kualitas bangunan? Jangan berharap banyak. Ada rumah subsidi yang tak punya pondasi yang layak. Dindingnya bisa diketuk dan bunyinya lebih mirip kardus daripada bata ringan.
Genteng bocor, septic tank dangkal, bahkan ada yang setelah dua bulan ditinggali, keramiknya mulai copot satu per satu seperti undangan pernikahan yang dibuka paksa.
Dosa kolektif: antara pengembang, negara, dan pembeli yang terdesak
Masalah ini tentu tidak muncul dari satu sisi saja. Ini dosa kolektif. Para pengembang kerap tergiur margin besar dengan cara memangkas biaya pembangunan. Negara, melalui institusi dan bank pelat merah, kadang tutup mata karena proyek perumahan subsidi dianggap “jalan mulia”. Yang penting bisa menggugurkan target.
Sementara itu, calon pembeli juga berada dalam posisi sulit. Dengan gaji pas-pasan dan tekanan sosial untuk “punya rumah sendiri sebelum usia 30”, banyak yang terpaksa ambil rumah subsidi meski sebenarnya belum yakin.
Belum sempat menikmati ruang tamu, mereka sudah pusing atap bocor, pagar miring, atau dinding yang rembes, dinding retak.
Survey bukan formalitas: ini panduan bertahan dari perumahan zonk
Lalu, bagaimana jika kita—seperti jutaan orang lainnya—memang sedang mempertimbangkan rumah subsidi? Apakah semua rumah subsidi jelek? Tidak. Tapi tetap harus waspada.
Survey itu bukan formalitas, melainkan investigasi kecil-kecilan. Nah berikut mungkin beberapa tips biar nggak kejebak. Sila cek halaman selanjutnya.
Baca halaman selanjutnya
Cek riwayat lokasi, infrastruktur, konstruksi, dan legalitas
Cek riwayat lokasi, infrastruktur, konstruksi, dan legalitas
Tanya warga sekitar: “Di sini pernah banjir nggak?” Jangan puas dengan jawaban agen property. Kalau bisa, cari tahu di Google Maps atau bahkan cek berita lokal soal wilayah itu. Kalau wilayah langganan banjir atau longsor, abaikan saja. Lalu cari opsi lain.
Lihat juga lebar jalan, akses kendaraan dari kota, jaringan listrik dan air bersih. Banyak perumahan subsidi yang hanya terhubung ke jalan setapak sebelum akhirnya diaspal tipis menjelang peresmian. Bawa tukang atau orang yang paham bangunan saat survey. Cek pondasi, kualitas tembok, kemiringan atap, bahkan saluran air. Jangan percaya brosur, percayalah pada palu tukang andalan.
Minta salinan IMB, sertifikat tanah, dan amdal. Kalau mereka berbelit, itu sinyal merah. Rumah boleh murah, tapi jangan sampai beli tanah sengketa atau zona abu-abu. Jika terlalu banyak iming-iming seperti “DP 0%, langsung huni, free semua biaya”, justru itu saatnya curiga. Bisa jadi itu strategi menghabiskan unit bermasalah.
Datangi saat musim hujan
Cara ini menurut saya yang paling jitu. Usahakan survey saat hujan deras atau setelah hujan semalaman, sebab kita bisa tahu lokasi itu rawan banjir atau tidak. Apakah jalannya menuju lokasi banjir atau tidak, kalau iya. Jelas mempertimbangkan opsi lain tentu lebih bijak.
Rumah itu tempat tinggal, bukan sekadar kredit
Sebanyak apa pun subsidi dari negara, rumah tetaplah tempat bernaung, bukan hanya cicilan murah belaka. Jangan tergiur cepat lunas tapi justru cepat rusak. Rumah subsidi memang bisa jadi solusi, tapi bukan berarti harus menanggalkan akal sehat dan insting bertahan hidup hanya karena harga yang murah.
Negara wajib hadir, ya. Tapi kita juga wajib teliti. Karena dalam dunia properti, harga murah bisa berarti “murah di depan, mahal di belakang”. Sekali masuk rumah subsidi zonk, kita tak hanya terperangkap dalam bangunan ringkih, tapi juga dalam skema KPR 15-20 tahun yang tak mengenal empati.
Saya merasa lebih baik menunda punya rumah daripada menyesal selamanya. Rumah bukan perlombaan, tapi tempat bertumbuh. Jangan sampai rumah impian berubah jadi kotak sempit penuh genangan dan dinding rapuh yang tiap malam kita tatap sambil berpikir: kenapa aku tergesa-gesa?
Penulis: Budi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Yang Perlu Dipahami sebelum Mengajukan KPR Subsidi (dan Menyesal)
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
