Ada dua hal yang akan selalu dicari oleh orang Batak ke mana pun mereka merantau. Pertama, mereka akan mencari kerabat dekat, sesuai amanat dari orang tua mereka di kampung halaman. Ke mana pun orang Batak pergi, pasti mendapat mandat dari tetuanya untuk mencari kerabat, minimal yang semarga. Lalu yang kedua, mereka pasti akan mencari keberadaan rumah makan Batak atau lebih dikenal lapo.Â
Di zaman sekarang, perkara mencari kerabat mungkin akan ditunda-tunda. Pasalnya urusan menemukan kerabat akan berujung ke sebuah keterikatan pada komunitas punguan (kumpulan marga). Hal itu kadang terasa melelahkan untuk dijalani oleh generasi muda Batak. Akan tetapi, soal mencari rumah makan Batak atau lapo, tak bisa tidak, harus dilakukan dengan segera. Ada lidah yang perlu dipuaskan dengan andaliman. Dalam hal ini, masakan-masakan dari daerah lain tak akan bisa memuaskan hasrat tersebut.
Daftar Isi
Lidah yang kecanduan andaliman
Fanatisme lidah orang Batak terhadap kuliner khas Batak membuat sebagian orang Batak tak cukup kaya akan literasi rasa. Tren wisata kuliner boleh saja menjamur, tapi bagi lidah orang Batak, tak ada hidangan yang mampu menandingi nikmatnya sangsang, arsik, babi panggang, ayam gota, sambal teri, hingga sayur ubi tumbuk. Lidah yang sudah candu dengan getar menggelitik dari andaliman akan sulit dipuaskan dengan semangkuk woku, bahkan rica khas Manado. Lidah itu akan tetap berharap bertemu dengan rasa andaliman dalam sepiring hidangan khas Batak.
Sebagai seorang perempuan separuh Batak separuh Jawa, lidah saya rupanya turut terpukau dengan andaliman dalam masakan Batak. Hal ini membuat saya beberapa kali mencoba membuat masakan khas Batak di rumah. Tapi menurut saya, memasak hidangan khas Batak tak semudah memasak woku atau mangut lele. Padahal saat melihat namboru dan opung memasak, sepertinya mereka hanya cemplang-cemplung saja. Ternyata, untuk mendapatkan rasa yang sesuai ekspektasi, tak cukup hanya bermodal belanja andaliman di marketplace dan keberanian cemplang-cemplung. Ada kemampuan khusus yang tak mampu saya tiru.
Untungnya kegagalan saya dalam mencoba resep-resep kuliner Batak tak memisahkan saya dari hidangan khas Batak. Saya punya daftar lapo dan rumah makan Batak Karo penyedia BPK yang bisa jadi andalan. Saat ada kerabat dari Medan yang berkunjung ke rumah, daftar itu membuat saya bisa menjamu kerabat dengan baik. Saya tak akan repot-repot berusaha memasak dan mempermalukan diri sendiri dengan masakan saya yang gagal.
Tantangan orang Batak yang tinggal di Sewon, Bantul
Sayangnya hanya satu. Saya tinggal di Sewon, Bantul. Di kawasan selatan Yogyakarta tidak ada lapo yang oke hingga saat ini. Jadi, untuk bisa menikmati masakan Batak yang sesuai ekspektasi, saya perlu menempuh jarak 16 hingga 25 kilometer ke utara. Jarak tersebut cukup jauh dan lumayan mahal jika harus menggunakan jasa pengiriman makanan online. Saya pun bertanya-tanya, kok bisa tidak ada rumah makan hidangan khas Batak di Yogyakarta bagian selatan. Bahkan bukan hanya di Yogyakarta bagian selatan saja, Wonosari dan Wates juga mengalami nasib yang sama dengan wilayah tempat saya tinggal. Tak ada lapo di wilayah kami.
Lapo dan rumah makan Batak penyedia BPK hanya terpusat di daerah Sleman. Kalaupun ada yang masuk Bantul, itu ada di Banguntapan. Memang Banguntapan masih termasuk Bantul, tapi ia adalah kapanewon yang berbatasan dengan Sleman. Jadi, ya, sama saja, lapo dan rumah makan Batak Karo hanya ada di situ-situ saja.
Meski demikian, saya masih bersyukur, setidaknya hanya butuh waktu 30-45 menit untuk sampai di lapo terdekat. Untungnya saya tak tinggal di Wates atau Wonosari. Alamak, makin jauh saja untuk bisa melahap sepiring nasi lengkap dengan potongan babi panggang, sangsang, sambal hijau, serta ubi tumbuk yang sangat sedap itu.
Menanti rumah makan Batak di wilayah selatan JogjaÂ
Rasa penasaran saya tentang keberadaan lapo membuat saya pernah mengunggah survei tentang rekomendasi restoran Batak di sebuah grup kuliner di Facebook. Saya harus tahu, apakah ada rumah makan Batak baru yang lahir setelah Covid berlalu. Pertanyaan saya membuahkan jawaban yang mengecewakan. Tetap saja tidak ada lapo di Yogyakarta bagian selatan. Kalaupun ada yang agak ke selatan, lokasinya di sekitar jalan Godean itu pun ternyata lapo milik Bang Ucok yang dulu merupakan lapo legend di Yogyakarta.
Saya pikir, tidak adanya lapo karena para pemilik usaha kuliner hidangan khas Batak terlalu takut untuk berinvestasi di daerah selatan Yogyakarta. Mereka lebih memilih mahasiswa yang dominan ngekos di kawasan utara sebagai target marketing. Padahal, di Bantul juga ada kampus sebesar Intitut Seni Indonesia (ISI) Jogja. Jangan lupa juga dengan para perantau senior yang memilih tinggal di kawasan pinggiran selatan Yogyakarta. Saya rasa perlu ada yang mendorong para pengusaha kuliner khas Batak untuk berani berinvestasi di daerah selatan Yogyakarta.
Saya teringat kisah yang terus diceritakan oleh papa saya saat pertama kali menginjakkan kaki di Yogyakarta. Katanya, “Sungguh heran, semua makanan terasa manis. Apalagi yang namanya gudeg. Untung waktu itu ada lesehan Si Ucok yang buka di Malioboro. Kalo nggak ada itu, entah gimana nasib perutku malam itu.”
Sayangnya perantau zaman sekarang tak akan seberuntung papa saya. Mereka tak akan dapat segera menemukan rumah makan Batak jika mereka turun di Terminal Giwangan, Stasiun Tugu, apalagi di NYIA. Saat mereka mengalami sakaw andaliman, mereka harus pergi dulu ke Banguntapan, Timoho, atau Nologaten demi seporsi masakan khas kampung halaman. Saya percaya, bukan hanya saya saja yang sudah menantikan hadirnya lapo di kawasan selatan Yogyakarta. Ah, semoga hari lahirnya lapo di kawasan ini segera tiba.
Penulis: Butet Rachmawati Sailenta Marpaung
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Warung Masakan Babi di Jogja yang Bikin Ngiler Part 2
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.