Ada yang pernah nonton film Before Sunrise? Sebuah film romantis yang sangat unik nan indah, menciptakan banyak hal yang begitu khas, mulai dari struktur cerita minimalis dengan latar waktu kejadian hanya satu hari, hingga menjadi rujukan populer banyak orang dalam membicarakan film yang banyak cocot, maksudnya banyak dialo. Soalnya, isinya ngobrol doang. Hal ini lah yang coba dilakukan oleh film original terbaru Bioskop Online, One Night Stand.
One Night Stand, sama seperti Before Sunrise adalah film yang mengambil pendekatan sebagai film dialogue-driven. Bercerita mengenai Baskara yang berkunjung ke Yogyakarta untuk menghadiri dua acara dalam satu hari, pemakaman dan pernikahan. Selama satu hari tersebut, dia akan ditemani Lea, kenalan keluarga yang diutus untuk menjemput Baskara.
Secara konsep, jelas film ini sangat menarik perhatian. Tidak cuma menjual kesan sederhana berupa pemaparan cerita dalam satu hari yang dikemas dengan obrolan, ide soal menghadiri pemakaman dan pernikahan juga menjadi suatu kontras yang menarik.
Dan benar saja, sebagai film dialogue-driven, film ini memiliki dialog-dialog yang menarik membahas berbagai topik, mulai dari eksistensi diri, jati diri, dan tentunya cinta. Sayangnya, sebagai film yang memiliki banyak dialog (yang memang menarik), saya justru merasa dialog yang ada hanya menarik pada batas topiknya, bukan dengan cara mereka membicarakannya.
Pada saat menonton film ini, tiba-tiba saya teringat salah satu teori dalam Ilmu Komunikasi. Yaitu teori penetrasi sosial, atau dikenal juga dengan sebutan teori kulit bawang, yang membahas mengenai proses komunikasi interpersonal.
Teori yang dipopulerkan Irwin Altman dan Dalmas Taylor ini menjabarkan soal proses komunikasi antar pribadi dengan menganalogikannya seperti lapisan kulit bawang merah. Bahwa manusia memiliki lapisan kepribadian, di mana dengan interaksi, lapisan itu bisa dikuliti jadi semakin dalam.
Dalam konteks komunikasi atau obrolan, saat kita bertemu dengan orang baru, pilihan topik akan terbatas. Kita akan menerka-nerka lawan bicara sehingga pilihan paling aman adalah membicarakan hal-hal umum.
Dalam kondisi itu, kita hanya bisa melihat kepribadian lapisan luarnya saja. Apabila cocok, obrolan bisa menjadi semakin intim, semakin personal, semakin mengupas lapisan kulit lain. Sehingga, akan ditemui kepribadian-kepribadian lain yang tentunya bisa saja cocok, dan bisa juga tidak yang dapat membuatmu menjauh. Proses ini yang saya rasa kurang maksimal dalam One Night Stand.
Saya paham bahwa film berusaha meyakinkan penonton bahwa Baskara dan Lea secara magic nan kebetulan ditakdirkan bertemu, satu frekuensi, dan cocok ngobrol. Sayangnya, buat saya, nikmatnya menonton film dialogue-driven seperti ini, bukan cuma soal dialog-dialog yang quotable, tapi juga melihat proses perkembangan komunikasi antar manusia.
Sejak adegan-adegan awal, suspension of disbelief saya sudah goyah ketika Lea, di perjumpaan pertama, bisa langsung menyuarakan opininya soal bandara secara filosofis. Ya kira-kira, pernah nggak menjumpai orang yang pada perjumpaan pertama ngomong betapa puitisnya langit atau hujan dan segala pemaknaannya. Kira-kira kesan pertamanya bagaimana? Yah, mungkin Lea orangnya melankolis begitu, masih termaafkan sih, meskipun tetep aneh.
Sayangnya, tidak berselang lama, saat pemakaman, ada adegan di mana seseorang ikut bergabung ke mobil bersama Lea dan Baskara. Tiba-tiba dia ngomongin aib ibunya yang baru wafat dengan sangat enteng. Woy!
Saya semakin terganggu dengan bagaimana orang-orang di dalam dunia film ini begitu agresif dalam membagikan informasi yang sangat personal. Bukannya tidak boleh, tapi mbok ya di bridging dulu gitu loh. Nunggu dipicu oleh peristiwa kek atau nunggu ditanya. Seenggaknya kasih kode obrolan biar ngarahin biar ditanya. Ini sih obrolannya bukan ngalir lagi, tapi jebol. Kalau konsepnya surealis sih ok, lha ini kan konsepnya realis.
Sebenarnya, masalah yang dialami film ini hanya secara naskah yang terkesan buru-buru menampilkan obrolan meaningful nan quotable. Tapi, ia begitu abai pada small talk dan perhatian pada kecanggungan.
Padahal di sisi lain, secara akting dan directing, film ini cukup memperhatikannya. Hal ini terlihat dari bagaimana Lea dan Baskara begitu menjaga jarak tubuh ketika berbicara. Semakin lama, jarak itu semakin terkikis. Sayangnya, “manajemen jarak” yang dirancang tidak selaras dengan dialog-dialog yang dipakai.
Selain film ini, ada banyak film Indonesia yang terinspirasi Before Sunrise yang cukup sukses. Ada 3 Hari Untuk Selamanya, Hari Untuk Amanda, bahkan AADC 2. Namun, film-film itu tidak memiliki background dua orang asing yang bertemu, selalu dua orang yang sudah punya ikatan. Jadi, saya merasa One Night Stand cukup berbeda dan menyegarkan secara konsep. Entah bisa dibilang berani atau tidak dalam mengambil risiko, tapi jelas terlihat tak memperhitungkan konsekuensi.
Membuat film dialogue-drive dengan premis dua orang asing atau stranger memang tak bisa sembarangan, tak semudah itu. Pasalnya, dua orang ini tak saling kenal, butuh pengenalan lebih dulu, butuh pengulikan yang akan membuat penonton jadi merasa lebih kenal pada karakter.
Akan semakin realistis dan manis dengan bumbu kecanggungan dalam mengobrol. Sayangnya, One Night Stand buat saya gagal dalam hal ini. Padahal bisa loh bikin adegan saling mengulik latar belakang yang menarik memanfaatkan latar Lea sebagai orang Yogyakarta dan Baskara sebagai orang Jakarta. Lah, kok kesannya kaya dua orang Jaksel ngobrol.
Sumber Gambar: Akun Instagram Bioskop Online