Death on The Nile kok kayak sinetron? Alurnya ketebak banget.
Setelah sekian lama menunggu, akhirnya sekuel film dengan tokoh utama detektif nyentrik ciptaan Agatha Christie ini rilis juga. Hercule Poirot kembali beraksi memecahkan misteri di atas sebuah kapal mewah yang berlayar di tengah sungai nil. Ekspektasi saya terhadap Death on The Nile ini cukup tinggi mengingat prekuelnya sukses membuat dahi berkerut sekaligus menitikkan air mata di penghujung film.
Saya memang tidak pernah membaca novel karya Agatha Christie kecuali And Then There Were None. Tetapi, sepak terjang detektif dengan ciri khas kumis tebalnya tersebut di Murder on The Orient Express cukup menggoda saya untuk mengikuti petualangan Poirot di negeri yang terkenal dengan piramidanya tersebut. Harapan saya, kemampuan deduktif Poirot semakin terasah dengan kasus yang juga semakin rumit.
Sayangnya, harapan saya dipatahkan begitu saja dengan hadirnya cerita yang lebih mirip sinetron dibandingkan thriller khas pembunuhan berantai. Death on The Nile ini terlalu banyak mengekspos drama percintaan daripada menyajikan suasana yang mencekam karena semua orang yang berada dalam kapal tersebut tak bisa melarikan diri di tengah luasnya sungai Nil. Seharusnya, cerita bisa dibuat lebih kelam di mana mereka terlibat percekcokan karena saling mencurigai sebagaimana yang berhasil ditampilkan di Murder on The Orient Express. Orang-orang yang terlibat dalam kasus kali ini tampak lebih cuek tanpa menyadari jika sewaktu-waktu, bisa saja mereka menjadi korbannya.
Sinematografi yang dihadirkan memang lumayan memanjakan mata. Tetapi, untuk alur cerita dan pengembangan karakter, film ini terbilang gagal mengadaptasi novel ratu misteri tersebut. Logikanya, jika ada seorang pembunuh berkeliaran di kapal, cara terbaik adalah mengumpulkan semua orang dalam satu ruangan agar mereka saling mengawasi. Tetapi dalam film ini, mereka hanya disuruh kembali ke kamar dan mengunci pintu. Akan lebih menarik jika ada adegan yang menampilkan bagaimana ekspresi atau apa yang diam-diam dilakukan masing-masing penumpang di dalam kamar mereka sehingga penonton akan semakin menduga-duga siapa pelaku berikut motifnya.
Sebaliknya, film ini dari awal sudah sangat kental menunjukkan kebucinan antara dua insan yang disertai dengan beberapa adegan erotis. Ketika terjadi pertemuan kedua teman lama, Linnet dan Jackie, di sebuah bar, penonton sudah bisa menebak jika nantinya tunangan Jackie akan lebih tertarik kepada Linnet. Bagaimana tidak, Linnet digambarkan sebagai sosok perempuan yang nyaris sempurna. Ia mempunyai privilege berupa harta dan good looking. Tak mungkin jika seorang pemuda miskin dari pedesaan seperti Simon tidak jatuh cinta kepada Linnet. Kalaupun bukan cinta atau ketertarikan fisik, setidaknya tertarik dengan uangnya.
Yang menurut saya aneh di perjumpaan mereka ini adalah kebesaran hati Jackie, yang begitu bucin kepada Simon, untuk menyuruh tunangannya tersebut berdansa dengan sahabat Queen Bee-nya itu. Dugaan saya, sikap Jackie berikut matanya yang berkaca-kaca manakala melihat keduanya menari di lantai dansa adalah tak lebih dari menjual diri kekasihnya. Jackie sadar betul kalau tunangannya berwajah cukup tampan sehingga Linnet akan bersedia mempekerjakan Simon sebagai agen real estate milik keluarganya.
Tindakan Jackie yang cheesy ini seperti adegan sinetron di mana para tokohnya memang suka mendramatisir kejadian. Pada poin ini, beberapa penonton sangat mungkin sudah bisa menduga alur berikutnya karena secara terang-terangan peran Jackie ini ditunjukkan sebagai orang yang munafik.
Ternyata perkiraan saya benar adanya di mana pada akhirnya Linnet menikahi Simon. Pernikahan ala Cinderella di mana salah satu pihak berasal dari golongan ekonomi lemah ini mengingatkan saya pada premis di mana pernikahan tersebut berlangsung karena adanya keinginan untuk menguasai harta. Apalagi, sebelumnya Linnet telah dilamar oleh seorang bangsawan sekaligus dokter yang secara kasat mata jauh lebih pantas dan setara untuk berdampingan. Entah karena durasi atau pertimbangan lain, film ini tidak memberikan penjelasan lebih dalam tentang bargaining power yang bisa diberikan oleh seorang Simon Doyle kepada the alpha woman yang diperankan oleh aktris cantik Gal Gadot.
Daripada menyuguhkan masa lalu Poirot di awal film, akan lebih apik jika kisah ini juga menjelaskan bagaimana akhirnya Jackie dan Simon berpisah untuk kemudian bersama Linnet. Imajinasi saya, sih, mungkin karena selain ganteng, Simon ini memiliki kemampuan di ranjang yang lumayan melihat bagaimana cara dia berdansa dengan mantan tunangannya.
Kompleksitas cerita pun kurang terbangun dengan baik meski sudah memasuki pertengahan durasi. Sejujurnya, saya agak bosan karena Death on The Nile seperti menyuguhkan kisah seorang penguntit yang tergila-gila pada idolanya. Ironisnya, figur yang punya power sangat besar seperti Linnet begitu ketakutan tanpa tahu harus berbuat apa. Kalau saja mau, Linnet bisa dengan mudah menyingkirkan penguntit tersebut dengan mengerahkan uang serta kekuasaannya tanpa harus mengotori tangannya. Tetapi, yang dilakukannya justru menangis dan memohon bantuan pada seorang detektif untuk melindungi dirinya.
Oke, mungkin benar ia merasa tidak aman dengan semua orang di sekelilingnya. Tetapi, kalau benar begitu seharusnya dia tidak menyewa kapal yang bisa mengucilkan dirinya dari dunia luar, segera pulang seperti nasihat Poirot, mengunci diri di kamar, atau tidak mengajak detektif sewaannya meminum sampanye yang berpotensi membuat Poirot hilang kesadaran.
Setelah peran Linnet dibunuh, penonton mayoritas sudah bisa menebak motif pembunuhnya yang tidak akan jauh-jauh dari harta dan cinta. Jika menarik semua adegan cinta buta dan kesenjangan sosial yang secara eksplisit ditampilkan sepanjang film, tentu penonton dengan mudah bisa memprediksi pelakunya. Jauh berbeda dengan Murder on The Orient Express di mana semua orang tidak bertingkah terang-terangan menunjukkan karakter asli mereka. Semua peran dalam sekuel tersebut berakting seolah tidak saling mengenal atau memiliki benang merah. Andai saja setiap tokoh dalam Death on The Nile ini juga bersikap misterius, mungkin para penikmat film akan lebih kesulitan menebak pelakunya.
Di luar semua kekecewaan tersebut, film ini cukup layak ditonton jika niat kita semula hanya ingin mencari hiburan belaka. Film ini bisa dinikmati tanpa harus berpikir keras karena alurnya justru lebih menyerupai drama yang dibumbui adegan pembunuhan. Pesan moral juga bisa kita ambil setelah selesai menontonnya. Jangan terlalu bucin karena ini akan membuatmu tampak seperti orang bodoh yang kehilangan akal sehat seperti sindiran tokoh Rosalie terhadap Linnet yang hampir saja menandatangani berkas tanpa memeriksanya terlebih dahulu.
Isu mengenai ketidakadilan terkait dengan ras juga beberapa kali terlontar dalam dialog yang menyadarkan kita bahwa ketidaksetaraan tersebut memang sudah mengakar sejak lama. Sebagai penutup, Death on The Nile tidak buruk-buruk amat, kok, karena masih diselamatkan oleh akting Tom Bateman yang konsisten sebagai supporter utama Poirot sejak judul sebelumnya.
Penulis: Paula Gianita Primasari
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 3 Rekomendasi Film Misteri yang Bikin Kita Mikir Keras Saat Nonton