Resiko Bukan Gamer: Merasa Asing Saat Teman yang Lain Bermain PUBG dan Mobile Legend

SHAREit Sekarang Jadi Aplikasi Mesum yang Banyak Clickbaitnya terminal mojok.co

SHAREit Sekarang Jadi Aplikasi Mesum yang Banyak Clickbaitnya terminal mojok.co

Sewaktu TK saya merasa beruntung sempat merasakan bermain Nintendo yang dibelikan Bapak sebagai kado ulang tahun saya yang ke 5. Walau sebagian orang mungkin menganggap biasa, bagi saya itu menjadi kenangan masa kecil yang tidak terlupakan. Apalagi sewaktu bermain game legendaris Super Mario Bros. dengan misi menyelamatkan putri yang disandera oleh naga.

Setelahnya saya tidak bermain game selama beberapa tahun sampai akhirnya kelas 6 SD tertarik untuk membeli PlayStation dengan menggunakan uang tabungan. Pikir saya waktu itu, demikian akan jauh lebih baik dibanding menyewa atau datang ke rental PlayStation yang pastinya akan lebih boros dan menghamburkan uang jajan harian—belum lagi pasti akan dimarahi orang tua.

Kesenangan bermain PlayStation terbilang tidak berlangsung lama, hanya sekitar 2 tahun setelahnya saya kembali merasa bosan. Saat itu, entah saya yang kesulitan menyelesaikan game-nya sampai akhir atau karena sudah menguasai dan beberapa kali menyelesaikan game-nya sehingga saya merasa bosan. Alasan pertama lebih sering dirasakan karena saya termasuk orang yang tidak pandai dalam bermain game.

Semakin dewasa, ketertarikan saya akan bermain game berkurang—entah melalui PlayStation, PC, atau handphone. Lain halnya dengan banyak teman yang sampai saat ini selalu menyempatkan diri untuk bermain, saat jam istirahat kantor berkumpul, bahkan sewaktu berangkat kerja—tepatnya di transportasi umum. Game yang seringkali mereka mainkan dua diantaranya adalah PUBG dan Mobile Legend.

Saya yang kurang tertarik dan kurang mahir bermain game, rasanya tidak memiliki hasrat untuk download kedua game tersebut pada handphone saya. Pernah sekali saya coba bermain Mobile Legend dari awal agar ada obrolan menarik dengan beberapa teman terkait game ini, namun ketertarikan belum juga muncul. Bahkan sampai dengan beberapa teman perempuan saya ikut bermain, saya masih juga belum mahir. Memang harus diakui kemampuan saya dalam main game betul-betul kurang.

Masalahnya, hampir semua teman nongkrong main PUBG dan Mobile Legend. Dan kebiasaannya ketika berkumpul yang sebelumnya kegiatan utama kami adalah mengobrol dan bercanda, kini hal menyenangkan itu diganti dengan main game. Bukan salah mereka sih, apalagi hanya saya yang tidak bermain. Rasanya wajar jika merasa asing sendiri. Alternatif lain ya saya juga ikut bermain handphone, tapi lebih kepada cek timeline di media sosial atau streaming.

Interaksi pun berubah, dari yang awalnya bertatap muka sambil mendiskusikan banyak hal menjadi fokus kepada handphone masing-masing sambil terkadang berteriak menggunakan kata umpatan jika kalah. Perlu diketahui, untuk menambah keseruan dari zaman main game di warnet sampai sekarang di handphone seringkali yang main sambil berteriak.

Saya akhirnya memahami bagaimana menjadi minoritas dalam lingkungan mayoritas—khususnya dalam bermain game. Beberapa kali saya memahami agenda bermain tersebut, namun rasanya manusiawi jika sesekali saya merasa jenuh dan rindu akan obrolan sebelum saat nongkrong hanya fokus kepada game.

Saya juga seringkali tertipu sewaktu teman-teman di grup mengajak berkumpul, nyatanya saat sudah di tempat yang dilakukan lagi-lagi hanya PUBG atau Mobile Legend. Namun, karena pada dasarnya memang saya memahami apa yang mereka suka, jadi saya tidak ambil pusing dengan kebiasaan baru ini.

Selalu ada kegiatan atau sesuatu yang menjadi tren dalam suatu masa, dan yang namanya tren pasti ada kalanya redup. Sesuatu yang terus diulang biasanya akan bertemu dengan titik jenuhnya masing-masing. Begitu kira-kira pandangan saya soal banyak teman yang memilih bermain PUBG atau Mobile Legend saat berkumpul.

Akhirnya, saya juga menyadari tiap orang memiliki kegemaran masing-masing sewaktu memainkan gawainya. Ada yang fokus dan lebih tertarik bermain game, ada yang suka mencari kelucuan di media sosial, ada pula yang hanya sekadar bergabung dan melihat teman yang lain tertawa saja sudah bahagia—mengingat kadar kebahagiaan seseorang sudah pasti berbeda.

Dan semoga, bermain game saat berkumpul dengan teman-teman yang lain bisa disesuaikan waktunya. Yang tidak bermain—seperti saya—bisa menghargai waktu yang mereka anggap sebagai pelepas stres atau penat—bahkan hobi. Dengan begitu, hubungan pertemanan akan menjadi lebih solid. Semoga.

Exit mobile version