Sebagai calon sarjana, saya turut prihatin terhadap pekerjaan sarjana yang dideskriditkan lantaran berbelok dari bidangnya, terlebih yang melakukannya seorang sarjana juga. Alih-alih mendukung produktivitas teman seperjuangan, malah nyinyirin pekerjaan karena tak sebanding dengan gelar yang disandang, sarjana. Lantas, memangnya kenapa jika seorang sarjana jadi driver Gojek? Atau mbak-mbak online shop atau pedagang makanan.
Jauh menelusur ke zaman sebelum menjadi mahasiswa, tentunya semua memiliki deretan cita-cita, dari paling umum seperti guru dan dokter hingga yang asing di telinga, misal legal drafter. Itu adalah hal lumrah yang menghiasi hari demi hari. Berbekal angan inginkan menjadi seseorang, banyak orang berbondong-bondong habiskan masa remaja akhir di Universitas. Berharap setelah lulus mendapat pekerjaan yang sejajar dengan status serta gaji menggunung.
Tetapi realitanya, dengan lapangan kerja yang tak sebanding jumlah lulusan. Apa harus merelakan diri nganggur dalam kurun waktu tak sebentar? Jangan munafik, guna meneruskan hidup butuh uang. Jika hanya menua di rumah seraya menunggu belas kasih orang, mending mati saja.
Dalam hidup kita tak bisa terus-menerus bergantung pada manusia, meskipun itu orangtua sendiri. Karena esok lusa jika kita yang tak berpulang lebih dulu berarti siap tidak siap mesti melangsungkan hidup dari keringat sendiri. Ayolah, di zaman sekarang mana ada orang lain yang membantu tanpa setitik harap balas budi? Setidaknya sebagai sopan santun harus ada kembali walau tak sebanding. Di mana saat sukses dituai nanti, jangan lupa rajin bayar upeti.
Harfiahnya, hidup itu saling bantu-membantu. Meskipun tidak semua begitu, sebagai pemilik akal budi diam saja rasanya tak punya hati. Sisi kemanusian tercabik-cabik rasanya jika hanya sebatas duduk manis menyaksikan sebuah kejadian tanpa bertindak apa-apa.
Kembali pada topik pekerjaan, seandainya tak mempersoalkan perihal izajah sarjana yang tak setara dengan pekerjaan yang kadung dipukul rata sebagai pekerjaan rendahan. Lalu, memerhatiakan keuletan seorang sarjana dalam menekuni bidang pekerjaannya, Anda akan dibuat kagum di situ.
Di mana sejatinya tujuan pendidikan adalah merubah perilaku seseorang ke arah lebih baik, istilahnya memanusiakan manusia. Maka sudah barang tentu cetakan Universitas menghasilkan yang bermutu. Ya, saya tahu jika di luaran sana ada banyak sarjana kurang ajar. Tetapi yang baik-baik juga masih banyak, kan?
Coba perhatikan baik-baik bagaimana lulusan sarjana yang seorang driver Gojek melayani setiap penumpangnya? Atau sikap mbak-mbak online shop saat meladeni pembelinya, atau cara tukang mie ayam saat mengolah serta menyajikan hidangan kepada pengunjung kedainya.
See? Lulusan sarjana memiliki kualitas lebih, bukan? Dimulai dari selera, etiket, dan hal lainnya. Setidaknya itulah sisi plus dari seorang lulusan sarjana. Mau apa pun pekerjaannya, selagi halal untuk dikerjakan, kenapa tidak? Percayalah hal besar itu datangnya dari hal-hal kecil dahulu. Orang-orang yang memilih menjalani kesempatan yang diberi, meskipun tak sebanding dengan gelarnya, orang tersebut sudah memahami makna kehidupan sebenarnya.
Jangan bandingkan dengan penolak gaji 8 juta sebab alumni Universitas ternama. Jangan bandingkan dengan omzet dirimu sebab pemilik perusahaan warisan dari orangtua. Jangan bandingkan dengan sesiapa yang jadi PNS karena modal nyogok. Jangan bandingkan dengan lulusan sarjana yang memilih jalan pengangguran. Karena setiap individu memiliki alur hidupnya masing-masing. Jika Anda terbiasa pulang-pergi Jakarta-Padang memakai pesawat, apalah daya orang macam saya yang rute Subang-Purwakarta menumpangi elf. hehe
Di samping itu, sudah barang tentu semua orang menginginkan pekerjaan senada dengan gelarnya, serta gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tetapi kesempatan kerap kali datang tanpa dugaan, di situlah semesta tengah menguji arti kemanusian. Apakah gengsi yang di kedepankan lebih dulu? Ataukah memanfaatkan kesempatan selagi diberi?
Sebagaimana hidup itu pilihan. Perlu ditekankan di sini saya tak menyuruh Anda-anda sekalian untuk menjadi driver Gojek atau melakoni perkejaan lainnya yang tampak tak sekeren dalam pandangan khalayak umum, melainkan mencoba menghargai pilihan orang lain yang sama sekali tak membuat rugi.
Kita sama-sama tahu bagaimana banyaknya rupiah dihabiskan untuk duduk di bangku kuliah. Kita sama-sama tahu bagaimana rumitnya segala syarat untuk mendapatkan status mahasiswa. Kita sama-sama tahu bagaimana sulitnya dapat nilai dari dosen yang menjunjung makna sempurna. Lantas, apakah enggan menyemangati sesama teman seperjuangan agar mempercayai kehidupan ini telah begitu baik memperlakukannya? (*)