Pernah denger istilah hyperreality? Kalau diterjemahkan sih jadi realitas hiper. Intinya sih realitas yang lain dari realitas kita saat ini dan disebabkan oleh teknologi. Semua manusia di planet ini memiliki realitas hipernya sendiri-sendiri di berbagai media, tetapi umumnya berkaitan dengan media sosial.
Pernah kepikiran nggak kalau kita menciptakan diri kita yang lain di media sosial? Kita mencoba menciptakan versi terbaik kita untuk ditampilkan dunia, atau setidaknya versi yang benar-benar berbeda dari diri kita di dunia nyata. Ada yang di dunia nyata pendiem, eh di Instagram, atau Twitter, atau Facebook, mendadak menjadi cerewet atau bahkan gampang marah-marah. Atau itu oknum penebar kebencian yang menghujat-hujat pihak tertentu, pas ditemui malah kalem. Atau kalau pernah ada perang bacot di komen ig sampai semua nama binatang keluar termasuk dinosaurus termasuk godzilla, eh pas ketemu langsung cuma lirik-lirikan manja. Nah, itu semua terjadi karena kita berada di realitas hiper dan menjadi diri kita yang lain atau bahasa kerennya virtuality you, alias kamu yang virtual, dan begitu berbeda dengan kamu yang sesungguhnya.
Pernah punya temen yang doyan live di media streaming seperti Bigo Live atau semacamnya? Yang dikit-dikit melakukan live dan bertemu teman-teman virtualnya, lalu bisa tertawa-tawa sampai heboh? Di satu sisi memang kadang nyebelin, tetapi di sisi lain itu adalah cara mereka menikmati realitas hiper, sekedar karena realitas itu lebih menyenangkan baginya. Dan sadar atau tidak, sebenarnya kita sama saja, hanya kadarnya berbeda dan medianya berbeda.
Contoh paling gampangnya sih saat kita lagi mbribik gebetan. Nggak mungkin pake surat-suratan lagi dong, pasti mainnya serba digital, entah DM Instagram atau langsung ke nomor whatsapp kalo punya. Nah, pas ngobrol lewat chat kita bisa bahas apa saja mulai dari politik, sosial, fisika kuantum, teori nuklir, perang dunia, sampai invansi alien sekalian. Pokoknya seru banget ngobrolnya dan bisa ketawa-ketawa sendiri. Eh pas ketemu langsung, kita malah plola-plolo bingung mau ngomong apa. pernah pasti, kan? Ngaku aja! Nah itu juga bagian dari kenikmatan realitas hiper itu.
Memang pada dasarnya manusia cenderung senang membicarakan dirinya sendiri meski kadarnya berbeda-beda antar manusia ya. Pernah coba ngitung saat temen cerita tentang masalahnya, terus respon kita justru bilang ‘Kalo aku malah pernah lebih parah,’ dan dimulailah kita membahas diri kita alih-alih dengerin curhatan temen kita. Sayangnya—atau untungnya?—hal itu diperparah dengan media sosial. Realitas hiper yang notabennya virtual membuat kita semakin bebas membicarakan diri kita sendiri. Mau terima atau enggak, saat kita bikin instastori meski isinya cuma ngerepost postingan orang lain, itu kita sedang membicarakan diri kita sendiri—memberitahu dunia tentang apa yang kita sukai dan kita bagikan.
Di media sosial, khususnya Instagram, kita memposting hal-hal tentang diri kita, berharap akan dinotice lingkungan realitas hiper kita, dan saat mendapatkan like, kita merasa senang. Semakin banyak like juga semakin senang. Apalagi kalau banyak yang berkomentar, akan semakin bahagia. Nah, realitas hiper kita memberikan mekanisme kebahagiaan yang sangat simpel, kan? Jauh lebih simpel daripada realitas kita yang sesungguhnya. Itu pula kenapa tidak ada fitur dislike pada Instagram, sebatas agar kita tidak menjadi sedih di realitas itu. Gimana nggak sedih dapat dislike kalau nggak dapat like aja udah sedih banget?
Tetapi sayangnya, apakah sebenarnya yang melakukan like terhadap sebuah postingan itu karena benar-benar mereka menyukainya? Well, beberapa memang mungkin menyukainya, tetapi jangan lupa juga bahwa kita sering tekan tombol like secara sembarangan apa pun postingan yang muncul di beranda IG kita, kan? Bahkan waktu gambarnya loading saja sudah dilike.
Kita juga seneng kalau yang nonton insta story kita banyak, padahal kan banyak yang nonton insta story cuma klik klik klik tanpa diliatin sama sekali. Kok diliatin, masih buffering aja udah diskip.
Jadi, realitas hiper benar-benar tampak menyenangkan, pun bahkan memberikan kebahagiaan yang sangat mudah, tetapi jangan juga lupa bahwa semua itu hanyalah semu belaka. Beda ya kalau kita menggunakan media itu untuk sesuatu yang produktif, untuk jualan dan laku banyak misalnya, itu benar-benar kebahagiaan yang harus disyukuri.
Nah, tetapi selain bikin bahagia secara instan, realitas hiper juga bisa bikin sedih secara instan. Lha kok bisa? Ya karena semua orang berlomba-lomba menampilkan sisi terbaik diri mereka—dan kebanyakan malah trying so hard buat bikin konten sebagus mungkin—itu bakal bikin kita yang kontennya biasa aja minder. Membandingkan diri kita dengan yang lain. Gelisah karena postingan temen jalan-jalan mulu, atau nongkrong di kafe mulu. Terus kita mengidap anxiety tiap malam hanya gara-gara minder liat kebahagiaan temen kita.
Itu hanya di urusan postingan orang lain, belum sama postingan kita sendiri. Pernah bikin postingan yang likenya di bawah sepuluh? Itu menyakitkan sekali rasanya. Kita sudah niat ngedit berjam-jam, begitu diposting sedikit banget yang respon, sementara temen kita sekali bikin postingan langsung dapet beribu-ribu like. Nah, permasalahan dapat like saja bisa bikin kita sedih, gimana kalo nanti ada fitur dislike? Bisa-bisa jumlah yang susah tidur malam-malam karena anxiety semakin membludak.
BACA JUGA Alasan Kenapa Kita Pelan-Pelan Perlu Meninggalkan Instagram dan tulisan Riyanto lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.