Tiga abad sebelum kelahiran R.A. Kartini, Jepara pernah dipimpin oleh seorang wanita yang mendapat julukan dari Portugis sebagai de kranige dame yang memiliki arti sosok wanita pemberani. Diego de Couto melukiskannya sebagai Rainha de Japara, senhora paderosa e rica yang berarti seorang wanita kaya dan sangat berkuasa. Sosok itu adalah Ratu Kalinyamat.
Ratu Kalinyamat yang bernama asli Retna Kencana merupakan putri ketiga dari Sultan Trenggono dan cucu dari sultan pertama Demak, Raden Patah. Sejak masih gadis, Retna Kencana sudah diberikan mandat untuk menjadi adipati di daerah Jepara, Pati, Kudus, dan Rembang. Setelah berusia matang, Retna Kencana menikah dengan lelaki dari negeri seberang bernama Pangeran Toyib yang bergelar Pangeran Hadiri karena ia merupakan seorang lelaki yang datang dari Aceh ke Jepara.
Pernikahan Retna Kencana tidak bertahan lama karena sang suami tewas terbunuh oleh pasukan Arya Penangsang sebagai akibat dari kemelut perebutan kekuasaan di internal Kesultanan Demak. Babak hidup inilah yang membuat kehidupan Retna Kencana berubah. Demi menuntut keadilan atas kematian sang suami yang amat dicintainya, ia melakukan mertapa awewuda wonten ing redi Danaraja, kang minangka tapih remanipun kaore, yang terjemahannya bahwa Retna Kencana akan bertapa dengan telanjang di Gunung Danaraja dan yang dijadikan kain hanyalah rambutnya yang terurai.
Sesanti yang termaktub dalam Babad Tanah Jawi tersebut merupakan sebuah kiasan yang memerlukan interpretasi lebih lanjut. Hayati mengungkapkan maksud dari sumpah tersebut ialah bahwa Retna Kencana tidak peduli lagi dengan pakaian mewah dan perhiasan selayaknya seorang ratu. Retna Kencana hanya fokus memikirkan cara bagaimana bisa membalas dendam atas kematian sang suami dan saudaranya yang telah dibunuh oleh Arya Penangsang. Di Gunung Danaraja itulah, ia mengatur strategi untuk menumbangkan Arya Penangsang.
Balas dendam tersebut berhasil ia lakukan melalui kerja sama dengan Jaka Tingkir. Pada tanggal 10 April 1549, Retna Kencana dilantik secara resmi menjadi penguasa Jepara dengan gelar Ratu Kalinyamat. Jepara yang sempat mengalami kemerosotan ekonomi berhasil pulih kembali di bawah kekuasaan Ratu Kalinyamat. Selama 30 tahun memegang kekuasaan tertinggi di Jepara, Ratu Kalinyamat berhasil menjadikan Jepara sebagai salah satu kota pelabuhan terbesar di Nusantara.
Aktivitas perdagangan di laut Jepara semakin ramai dengan banyaknya pedagang dari luar Jawa yang singgah di Jepara. Sebaliknya Jepara juga berhasil melakukan ekspor beras, gula, madu, kayu, kelapa, kapuk, dan palawija ke daerah Bali, Maluku, Makassar, dan Banjarmasin. Dengan demikian, rakyat Jepara dapat hidup makmur selama pemerintahan Ratu Kalinyamat.
Ratu Kalinyamat tak hanya berpengaruh bagi Jepara maupun Demak. Pengaruhnya diakui oleh dunia internasional bahkan Portugis juga mengakui kehebatan Ratu Kalinyamat, sosok ratu pemberani dari tanah Jepara. Sama seperti Pati Unus, sang paman, Ratu Kalinyamat merupakan sosok anti-Portugis yang berani melancarkan serangan ke pasukan Portugis.
Ratu Kalinyamat pernah mengirimkan pasukan sebanyak dua kali untuk menyerang Portugis. Atas permintaan Raja Johor untuk melakukan perang suci, pada 1551 Ratu Kalinyamat mengirimkan sebanyak 40 kapal dengan pasukan sebanyak empat hingga lima ribu prajurit untuk melakukan ekspedisi ke Malaka yang saat itu telah diduduki Portugis. Bersama dengan kapal armada Malaka, pasukan Jepara dengan gagah berani berhasil merebut tanah Malaka dan berhasil melakukan pengepungan selama tiga bulan lamanya. Namun, serangan balik pasukan Portugis begitu hebat hingga membuat pasukan Malaka memutuskan untuk mundur. Sementara itu, pantang bagi pasukan Jepara untuk mundur. Mereka tetap bertahan untuk bertempur baik di darat maupun laut. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk mundur karena seorang panglimanya gugur dalam perang tersebut.
Kegagalan pertama tak membuat Ratu Kalinyamat putus asa. Wataknya yang kuat sebagai bentukan dari berbagai pengalaman pahit yang terjadi pada hidupnya membuat ia pantang menyerah untuk melawan Portugis. Pada 1573, ia diajak oleh Sultan Aceh, Ali Riayat Syah, untuk menyerang Malaka. Sayangnya, armada Jepara terlambat datang yang memberikan keuntungan bagi Portugis, sehingga membuat Aceh menelan kekalahan. Armada Jepara baru tiba pada 1574 yang terdiri dari 300 buah kapal layar dengan 15.000 prajurit pilihan. Panglima perang saat itu dipimpin oleh Laksamana Kiai Demang yang dalam catatan Portugis disebut dengan nama Quilidamao.
Portugis menggambarkan serangan Jepara ke Malaka seolah-olah hendak menelan bumi dengan berbagai serangan salvo dan mesiu. Setelah berhasil memborbardir Malaka, pasukan Jepara mendarat dan membangun parit sebagai benteng pertahanan. Namun, sayang sekali saat armada Jepara menyerang kembali, 30 buah kapal besarnya malah terbakar yang memaksa Jepara untuk membatasi pergerakan. Kesempatan ini dimanfaatkan Portugis untuk menyerang balik Jepara.
Setelah tiga bulan pasukan Jepara berusaha untuk bertahan dengan melakukan blokade laut, akhirnya mereka memutuskan untuk mundur karena kekurangan bahan makanan. Diperkirakan dua per tiga kekuatan angkatan perang Jepara musnah dan sebanyak 7.000 orang Jepara dimakamkan di Malaka.
Meskipun dua kali penyerangan yang dilakukan Jepara mengalami kegagalan, Portugis mengakui bahwa Ratu Kalinyamat merupakan sosok pemimpin wanita yang pemberani dan gigih dalam menentang penjajahan. Dua kali penyerangan tersebut juga berhasil membuat Portugis kalang kabut dan mengalami banyak kerugian. Nama Ratu Kalinyamat tetap abadi bak bunga yang mampu menebarkan keharuman bagi sekitarnya yang tak lekang oleh zaman.
BACA JUGA 3 Kota Terlarang untuk Dikunjungi Presiden Indonesia dan tulisan Annisa Herawati lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.