Biasanya kita akan mendengar banyak berita pencurian dan perampokan jelang berakhirnya bulan Ramadan. Hal ini seiring dengan naiknya harga bahan-bahan pokok di pasaran. Belum lagi anggapan bahwa berhari raya berarti berpesta dan berpakaian baru yang juga turut andil dalam memberikan tekanan bagi sebagian masyarakat. Walhasil, pilihan taktis dalam kondisi terhimpit seperti mencuri pun diambil. Meskipun konsekuensinya justru tidak bisa merayakan lebaran bersama keluarga.
Itu Ramadan di tahun-tahun sebelumnya. Ramadan tahun ini, beda cerita. Kita bahkan sudah dapat kabar pencurian dan perampokan sebelum masuk bulan puasa, yang beberapa di antaranya tidak kita dapat dari media melainkan kesaksian tetangga atau sanak saudara kita yang menjadi korbannya. Kenapa bisa begitu, ya?
Kalau berdasarkan analisa ngawur dari obrolan bersama beberapa teman, percepatan eskalasi (halah, tinggal bilang banyak maling aja ribet) kriminalitas ini dipicu oleh banyak faktor. Yang pertama yaitu datangnya pandemi yang mengubah banyak hal termasuk sumber pendapatan. Tak sedikit orang yang harus kehilangan mata pencaharian yang telah menghidupinya sepanjang hayat, sehingga jika harus mencari sumber penghidupan yang baru akan cukup kesulitan. Penyebab lainnya adalah banyaknya perusahaan yang perlu mengurangi jumlah karyawan untuk tetap mempertahankan eksistensinya di tengah turunnya omzet, sehingga jumlah tenaga profesional juga terpaksa menjadi pengangguran. Ditambah lagi, keputusan maha benar pemerintah untuk membebaskan para tahanan residivis yang sudah pasti akan kesulitan mencari pekerjaan di tengah pandemi.
Dalam kondisi tersebut, semua orang masih tetap perlu memenuhi kebutuhan pokok mereka seperti makan, minum, bayar kontrakan, dan lain-lain. Muncullah jalan pintas yang sebetulnya penuh risiko untuk diambil, yaitu melakukan tindakan kriminal. Seorang teman bahkan berkelakar bahwa mungkin memang mereka sudah sadar betul akan risiko dipenjara, lalu melakukannya dengan harapan bisa masuk penjara dan dapat jatah makan setiap hari tanpa harus pusing memikirkan cara mendapatkan uang.
Kalau menurut kriminolog UI, Reza Indragiri keterbatasan ruang gerak selama pandemi ini memicu frustasi yang kemudian dijadikan alasan oleh sebagian orang untuk melakukan kompensasi dengan jalan agresi, kekerasan, dan kejahatan. Inilah yang disebut sebagai teori frustasi agresi. Singkatnya, dapat dikatakan bahwa tekanan dan himpitan kebutuhan berkorelasi positif dengan peningkatan kejahatan.
Sama halnya dengan di negara-negara Skandinavia yang berdasarkan data, mengalami peningkatan kriminalitas jelang natal. Negara kita yang mayoritas penduduknya muslim pun memiliki kemungkinan demikian di bulan Ramadan, ditambah dengan tekanan akibat datangnya pandemi.
Sebenarnya secara tata nilai, hal ini dapat ditekan dengan konsep puasa, zakat, dan sedekah. Puasa sebagai latihan pengendalian dan kontrol diri, zakat dan sedekah sebagai proses redistribusi harta dari pihak yang berkecukupan kepada pihak yang mengalami kesulitan. Akan tetapi, dalam praktiknya kita memerlukan data dan pemetaan yang valid untuk memastikan bahwa upaya redistribusi tersebut tepat sasaran. Sedangkan saat ini, adakah sumber data yang dapat kita jadikan acuan?
Nabi Yusuf pernah melakukan manajemen krisis yang luar biasa pada zamannya. Saat beliau berhasil menafsirkan mimpinya dan meyakini bahwa akan ada krisis dalam waktu 14 tahun. Beliau menyusun strategi yang merupakan gabungan dari strategi sosiologis dan teologis. Strategi sosiologis beliau lakukan dengan cara memberikan apresiasi kepada petani dalam bentuk subsidi pupuk dan benih, walhasil, panenan pun melimpah sehingga hasil panen dapat disimpan di lumbung. Strategi teologis, beliau tempuh dengan cara memanfaatkan aspek kredo dalam agama yang mengharuskan kita berzakat dan bersedekah, hal ini terus menerus digaungkan selama 14 tahun lamanya, sehingga pada saat terjadi krisis, kelangkaan pangan dapat ditekan.
Bisakah kita melakukan strategi yang diterapkan oleh Nabi Yusuf? Strategi yang pertama mungkin sudah terlambat, maklum karena pimpinan kita bukan ahli ta’wil mimpi seperti Nabi Yusuf. Strategi yang kedua, justru saat inilah momentumnya, saat bulan Ramadan di mana banyak orang berlomba untuk berbuat kebaikan, maka hendaknya hal ini dapat dimanfaatkan seluas-luasnya untuk melakukan redistribusi harta pada sasaran yang tepat. Mulai dari mana? Mulai dari memberikan data yang akurat dan transparan dan memberikan contoh redistribusi gaji para pimpinan terlebih dahulu. Masak iya rakyatnya digenjot buat sedekah dan bayar zakat, tapi gaji pimpinan tak berkurang sepeser pun untuk menanggulangi krisis?
BACA JUGA Esai-esai Terminal Ramadan Mojok lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.