Tahun 2012 adalah tahun di mana saya pertama kali menginjakan kaki di tanah Jawa, lebih tepat di Surabaya, yaaa karena memang pesawatnya landing di Juanda airport hehehe. Saya pun meneruskan perjalanan menuju kota Kediri dan menetap di sana kurang lebih dua bulan. Di Kediri, saya tinggal bersama abang saya dan juga beberapa mahasiswa dari NTT di satu kontrakan sederhana daerah Bandar Lor.
Singkat cerita, ketika dalam perjalanan lebih tepatnya di stasiun kereta kota Blitar, salah satu abang-abangan yang dalam perjalanan bersama saya berceletuk seperti ini, “ di Blitar sini, biasanya banyak rakat.” Tentu saja dengan gaya bicara orang Timur pada umumnya. Lantas saya pun bertanya “ apa itu rakat ka’e (kakak)?” Sepupu saya pun menjelaskan kalau rakat merupakan sebutan untuk masyarakat sesama kita dari Indonesia Timur yang identik dengan mahasiswa perantau yang berasal dari NTT, Maluku, dan Papua. Orang Timur di daerah perantauan biasanya mengartikannya sebagai masyarakat kita atau rakyat kita atau orang kita atau apa pun itulah istilahnya ,terserah orang Timur mengartikannya.
Selama dua bulan di Kediri , akhirnya saya memutuskan untuk berkuliah di Surabaya. Selama masa perkuliahan saya di Surabaya kurang lebih enam tahun, saya berdomisili alias ngekos di daerah Nginden yang kata sesama “rakat” merupakan salah satu daerah di Surabaya yang banyak orang Indonesia Timurnya yang datang dari berbagai daerah seperti Flores, Sumba, Timor, Maluku, dan Papua. Selama kurang lebih enam tahun pula, saya hidup berdampingan dengan sesama saudara dan saudari saya dari Indonesia Timur di seputaran Nginden dan sekitarnya. Mau ke warkop eh ada rakat, mau ke minimarket atau warung makan eh ada rakat, mau beli galon lagi-lagi ada rakat. Lantas, apa yang salah? Tidak ada yang salah, yaa kali orang Timur nggak boleh ngopi di warkop atau sekedar beli makan di warung.
Menjadi rakat di daerah perantauan di tanah Jawa, kita harus kuat mental, kenapa saya mengatakan seperti ini? Menjadi rakat di daerah perantauan kita harus tahan banting mendengar stigma bahwa orang Indonesia Timur sukanya bikin rusuh, mabuk-mabukan, telat bayar kosan, atau stigma buruk lainnya. Padahal tidak semua orang Indonesia Timur seperti itu, ada juga orang Indonesia Timur yang rajin kuliah berangkat pagi pulang malam, ada juga yang dipercaya menjadi asisten dosen, ada juga yang rajin ibadah ke masjid bagi yang muslim dan ke gereja bagi yang Kristen, bahkan ada juga yang menjadi dosen di kampus saya.
Bagi saya pribadi, saya bangga menjadi rakat. Terlepas dari berbagai macam stigma negatif tentang orang Indonesia Timur , menjadi rakat itu spesial. Kenapa saya bilang spesial karena secara fisik mungkin kita berbeda tetapi kita orang Indonesia Timur harus bangga karena ras kita sebagai Melanesian merupakan salah satu kekayaan alam yang dimiliki oleh Indonesia. Jadi saya tidak punya alasan untuk merasa insecure dengan warna kulit atau jenis rambut.
Selain fisik yang mempertegas identitas, saya juga bangga menjadi rakat karena logat atau gaya bicara kita yang unik. Buktinya kata-kata dalam sebuah iklan “sekarang sumber air su dekat” sangat lekat di telingan orang Indonesia pada saat iklan itu pertama kali ditayangkan di televisi. Selain itu, liat saja grup hip-hop Mukarakat, mereka bangga dengan identitas mereka sebagai rakat dan menuangkannya dalam lirik lagu-lagu mereka yang old school dan dinyanyikan dengan logat dan rima sebagai orang Timur yang memanjakan telinga para pendengarnya termasuk saya.
Di sisi lain, ada juga yang malu atau minder menjadi rakat. Saya punya pengalaman pribadi saat hendak pulang kampung ke Flores, biasaya perlu transit di Kupang. Para penumpang pesawat dengan tujuan Kupang diarahkan saat check-in untuk menuju ke gate nomor lima. Saat dalam antrian, ada seorang cewek yang berceletuk “Hih..malas antri di sini soalnya banyak rakat”. Padahal kalau dilihat-lihat mungkin dia anak kuliahan dan seratus persen rakat juga. Saya pun langsung bertanya, “Maaf, Nona mau kemana memangnya?” Dia pun melihat saya dengan raut wajah yang terheran-heran dan menjawab “Mau ke Kupang kaka”. What the hell!!! Dengan santainya saya menjawab “Ohhh, saya pikir nona mau ke Singapura, kalau mau ke Kupang memang antriannya di sini jadi wajar saja kalau banyak rakat”.
Sambil tertawa saya pun masuk kedalam ruang tunggu tidak mempedulikan dia lagi lalu mencolok earphone dan memainkan lagu John Mayer. Aneh juga si nona tadi, tujuannya sama-sama ke Kupang tetapi mengeluh karena ruang tunggu banyak rakat. Padahal menurut saya wajar saja kok, pesawatnya tujuan Kupang pasti sebagian besar penumpangnya yaaa orang Kupang atau orang Timur lainnya. Bodohh amatlah… sa rakat dan sa bangga!!!
BACA JUGA Burjo di Solo Adalah Culture Shock Pertama Saya.