Sekeras-kerasnya batu, lambat laun akan cekung juga, meski hanya terkena tetesan air. Tapi, hati Pak Iwan Bule mungkin lebih keras dari batu. Tak hanya tetesan air, segala serangan keras pun trengginas telah diberikan. Jangankan cengkung, berbekas pun tidak. Ini bukan orang sembarang orang. Ia punya mentalitas yang kiranya tak mudah goyah oleh apa pun.
Menjadi lelaki superior macam beliau, saya kira perlu semacam laku hidup yang presisi dan konsisten malu-maluin. Rumus ciamik nan digdaya yang sudah barang tentu musti ditelaah dengan baik dan benar. Siapa tahu, di antara pembaca ada yang ingin punya mentalitas macam sang ketua PSSI yang sangat terhormat itu.
Saya lihat-lihat, Pak Iwan Bule ini terlihat selalu bahagia. Senyum tak pernah lupa ia gunakan saat ada di depan kamera. Saat semua orang lemas karena kesedihan, ia dengan percaya diri mengajak semua untuk berbahagia. Seolah-olah apa yang ia rasakan harus dirasakan juga oleh orang lain. Ini menandakan ia tak bisa merasakan dan mengerti keadaan orang lain. Empati, mungkin itu yang kurang dari dirinya. Namun, minimnya empati justru membuat dirinya mampu menghadapi beragam prahara dengan santai. Tampaknya, selagi bukan dirinya yang kesulitan dan kehilangan, tak perlu kiranya diambil pusing. Ini mentalitas yang sangat langka dan tak semua manusia memilikinya.
Itu juga bukan sikap yang tak terpuji, jangan salah sangka dahulu. Sikap demikianlah yang menjadi faktor penunjang kekuatan mental tak kenal mundur macam milik Pak Iwan Bule. Pasalnya, menurut Pak Iwan sendiri, mundur adalah jalan orang yang tak bertanggung jawab. Ia masih tetap ingin bekerja dan menjabat. Tentu saja demi menyelesaikan segala masalah yang terjadi di persepakbolaan kita. Ia sedang memperjuangkan kebenaran. Meski kebenaran itu relatif, tergantung kepentingan siapa.
Oleh karena tak perlu mempertimbangkan perasaan serta pandangan orang lain, ia jadi mudah untuk tetap melangkah dan konsisten pada jalur yang ia percayai. Meski banyak orang mencibir, mengkritik, menuntut, ia tetap tak bergeming. Dirinya berpegang teguh pada teori: PSSI tak ada sangkut pautnya dengan Tragedi Kanjuruhan. Saat diminta mundur, Ia berucap semua orang boleh bicara apa saja tentang dirinya. Karena merasa tak punya salah dan merasa tak gagal, ia tak akan mundur. Dan lagi-lagi, senyum tak pernah luntur dari wajahnya.
Mentalitas macam itu juga perlu banyak faktor penunjang lain. Jika ia berdiri sendiri, tentu sangat amat sulit. Sehebat-hebatnya manusia, ia pasti ndredek juga jika dicecar oleh banyak orang. Rasa percaya diri yang dimilikinya mungkin sebuah anomali yang muncul karena banyak sebab. Membangun relasi dan berserikat mungkin salah satu sebabnya. Ia sangat amat jago bersilaturahmi, dan kebetulan mampu menemukan pihak yang berpandangan sama. Sungguh sebuah berkah yang tak boleh dinistakan. Karena memang tak semua orang bisa punya sirkel sekeren itu.
Mereka saling mendukung dan saling menguatkan. Mereka membentuk tim, melakukan penyelidikan, dan sudah pasti saling melindungi layaknya keluarga. Meski banyak yang meragukan, tak mempercayai, bahkan menghujat, mereka tetap kokoh tak bergeming. Intinya, mereka sama saja, perlu guru IPA untuk menjelaskan bahwa segalanya tak berputar di sekitar mereka saja. Namun, justru itu yang menguatkan mereka, konsisten memikirkan kebenaran versi diri sendiri.
Nah, kiranya itu semua yang harus dilakukan dan diusahakan jika ingin punya mental seorang pemimpin ala Iwan Bule. Soal apakah mentalitas macam itu dibutuhkan oleh masyarakat atau tidak, itu bukan pokok utamanya. Karena yang utama adalah soal merasa sedang bertanggung jawab. Meski perihal tanggung jawab punya makna berbeda bagi masing-masing orang. Lagi pula, tak sedikit orang yang mengaku bertanggung jawab, meski sebenarnya sedang lari dari tanggung jawab.
Penulis: Bayu Kharisma Putra
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Jangan Kaget Iwan Bule Nggak Mau Mundur, Mana Ada Pemimpin yang Waras dan Legowo