Sering kita mendengar dorongan pemerintah untuk mencapai swasembada pangan. Dan salah satu pihak yang disorot adalah para peternak rakyat. Peternak rakyat dipandang sebagai salah satu tulang punggung menuju pangan murah. Tentu, pandangan ini tidak main-main, apalagi dalam ancaman resesi ekonomi ini.
Sayang sekali, banyak media yang menekankan kegagalan peternak rakyat dalam menuju swasembada pangan. Terutama masalah pemotongan ternak produktif yang dipandang sebagai dosa para peternak rakyat. Seolah seruan tulang punggung ketahanan pangan ini diremehkan para peternak. Namun, apakah tulang punggung para peternak rakyat masih cukup kuat menanggung seruan ini?
Artikel ini adalah rangkuman berbagai obrolan saya dengan para peternak rakyat. Sejak awal kuliah di Fakultas Peternakan UGM pada 2011, saya selalu menemukan cerita dan keresahan yang sama. Seolah-olah, para peternak jalan di tempat. Tidak ada yang berubah selain nama subsidi pemerintah yang sering salah alamat itu.
Sebelumnya, siapa itu peternak rakyat? Menurut PP 16/1977 pasal 1 ayat 4, peternakan rakyat adalah usaha peternakan yang diselenggarakan sebagai usaha sampingan yang jumlah maksimum kegiatannya untuk tiap jenis ternak ditetapkan oleh menteri. Namun, saya kurang sreg dengan definisi ini. Apalagi definisi ini lahir 41 tahun lalu.
Saya lebih sreg dengan pemaparan Bapak Rochadi Tawaf, salah satu dosen Fapet Unpad. Dalam artikel di Kompasiana, blio menekankan peternakan rakyat memiliki ciri skala kecil dan dilakukan dengan cara tradisional dan teknologi sederhana. Terkesan sangat ngenes, namun inilah fakta yang saya temukan di lapangan. Dan fakta inilah sumber keresahan para peternak rakyat.
Ketika bicara tentang keresahan, yang paling sering diulang adalah keberlanjutan usaha ternak. Banyak kekhawatiran bahwa para peternak rakyat ini tidak akan mampu meneruskan usaha mereka. Sumber keresahan ini sangat beragam, dan akan saya coba sarikan poin utama narasumber saya. Semoga keresahan mereka bisa Anda pahami ya, Mylov.
Kehabisan tenaga dan kehilangan penerus
Ini adalah keresahan yang paling sering dibahas. Kebetulan juga, mayoritas peternak yang saya temui adalah peternak kambing berusia lebih dari 40 tahun. Mereka mengeluh bahwa tenaga mereka banyak terkuras untuk mengerjakan berbagai tugas seorang peternak. Dari mencari pakan, merawat kandang, sampai menjual ternak. Miris sekali, untuk menjual saja mereka kehabisan tenaga.
Lebih miris lagi, banyak narasumber yang tidak memiliki penerus dalam usaha peternakan. Beberapa peternak memilih gulung tikar karena tidak mampu bekerja dan keturunan mereka enggan jadi peternak. Alasan keengganan ini klasik: jadi peternak itu melelahkan dan tidak menjanjikan.
Saya rasa, perkara kehabisan tenaga dan penerus ini ada korelasinya dengan tipe usaha ternak yang masih tradisional.
Peternakan tradisional menuntut tenaga peternak untuk mengerjakan seluruh proses pemeliharaan. Tipe usaha minim teknologi ini tentu menguras banyak tenaga. Dan tentunya pekerjaan menguras tenaga dengan hasil minimalis tidak diminati generasi muda. “Kan lebih enak kerja di kantor dengan AC daripada berpanas-panas di kandang?”
Susah mencari mantri ternak dan juru kawin suntik
Mungkin Anda bingung dengan dua istilah di atas. Sederhananya, mantri ternak adalah dokter hewan yang berkecimpung dalam urusan hewan ternak. Sedangkan juru kawin suntik adalah petugas yang melakukan inseminasi buatan atau kawin suntik tadi. keduanya sangat dibutuhkan peternak rakyat.
Sayang sekali, banyak peternak yang kesulitan mengakses dua juru tersebut. Belum tentu ada mantri atau juru kawin suntik di tiap desa. Belum lagi, mengawinkan ternak tidak pandang waktu. Jika ternak sudah birahi, tengah malam pun tetap harus dikawinkan..
Mengawinkan ternak sesegera mungkin menjamin ternak dapat terus berproduksi dan menguntungkan peternak. Tapi, jika sang juru kawin suntik saja susah dicari, bagaimana menjamin ternak tetap produktif?
Kehabisan padang rumput dan lahan hijau untuk pakan ternak
Umumnya, peternak rakyat mengandalkan rumput pakan yang tumbuh liar di sekitar kandang. Tentu bukan perkara sulit jika area tersebut masih alami. Namun, lahan terbuka yang bisa bebas diakses makin berkurang. Banyak lahan yang kini telah dipagari dan beralih fungsi menjadi perkebunan atau pemukiman.
Untuk membeli lahan sebagai sumber pakan juga bukan perkara gampang. Beberapa narasumber yang memiliki sedikit pekarangan kosong juga masih harus mencari pakan secara mandiri. Pendapat mereka perkara masalah ini sangat tepat: daripada sibuk berkampanye swasembada pangan, lebih baik sediakan lahan pakan bagi para peternak! Tapi, memang menanam beton lebih menjanjikan daripada menanam rumput pakan
Bantuan tidak tepat sasaran, bahkan tidak bermanfaat
Ironi yang menjadi keresahan para peternak rakyat berikutnya adalah bantuan pemerintah. Lah, bukankah bantuan dari pemerintah adalah jawaban dari keresahan para peternak? Memang bantuan itu bermanfaat, jika tepat sasaran dan tepat fungsinya. Sedangkan, banyak peternak yang merasa bantuan dari pemerintah tidak tepat dan terkesan seremonial saja.
Sebagai contoh adalah bantuan berupa ternak. Sering kali bantuan ini diberikan pada pihak yang tidak pernah beternak, bahkan buta urusan peternakan. Selain itu, berbagai penyuluhan yang diberikan dinas terkait hanya sekedar “mengajari” tanpa ada kelanjutan. Jika bantuan yang diberikan saja dirasa tidak tepat sasaran, lalu apa lagi fungsi bantuan selain seremonial agar anggaran tersalurkan?
Minder dengan impor daging
Kebutuhan daging sapi per 2020 diperkirakan mencapai 700 ribu ton. Sedangkan produksi dalam negeri hanya mampu menutupi kebutuhan sampai 400 ribu ton. Selisih 300 ribu ton ini harus ditutup dengan impor. Angka 300 ribu ton ini juga bukan angka yang kecil. Menurut Menteri Pertanian Syahrull Yasin Limpo, 300 ribu ton daging ini bernilai 1,7 juta sapi hidup. Ini kita baru bicara daging sapi saja ya.
Lalu bagaimana para peternak menghadapi isu impor ini? Para peternak makin minder untuk beternak. Bahkan banyak narasumber yang berpikir: untuk apa terus beternak jika nanti kalah saing dengan daging impor? Menurut saya, kehadiran daging impor tidak serta merta memberi dampak negatif pada peternak. Namun, dampak psikologis ternyata ada dan nyata.
Terjebak tengkulak dan industri besar
Tengkulak selalu jadi momok para peternak rakyat. Di satu sisi, peternak membutuhkan tengkulak untuk distribusi hasil produksi. Namun, tengkulak bisa mempermainkan harga seenak jidat. Belum lagi, industri besar juga menjadikan peternak rakyat sebagai “buruh murah”. Dengan iming-iming akses produksi dan distribusi, banyak peternak yang terikat dengan satu industri tanpa kesempatan berkembang.
Keresahan memang wajar muncul dalam sebuah usaha. Namun, jika keresahan tersebut muncul lagi dan lagi, berarti ada yang salah. Dan melihat keresahan (yang banyak bersumber dari luar peternak) terjadi terus menerus, wajar saja jika usaha peternakan rakyat tetap jalan di tempat. Lalu, mau dibawa kemana usaha peternakan rakyat? Quo vadis, Pak Menteri?
BACA JUGA CONPLAN 8888-11: Strategi Amerika Serikat Menghadapi Serangan Zombi Ayam dan tulisan Prabu Yudianto lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.