Hastag “polisi sesuai prosedur” ramai dibicarakan di Twitter, tapi dengan alasan yang ironis. Ketika tagar ini didengungkan, besar harapan untuk memperbaiki citra kepolisian Indonesia. Bisik-bisik tagar ini untuk menaklukkan tagar #percumalaporpolisi yang sebelumnya menguasai media sosial. Dan memang, tagar #polisisesuaiprosedur ini sukses menaklukkan tagar bernada negatif sebelumnya.
Namun, bukan makin memperbaiki citra, tagar karya kepolisian ini malah makin memperburuk nama polisi. Aksi smackdown polisi vs demonstran menjadi simbol ironi dari tagar yang baru beberapa hari lahir. Dan ironi ini disempurnakan dengan sikap subversif “oknum” polisi yang merebut hak privasi seseorang.
Hal yang saya maksud jelas perkara perampasan handphone yang viral di Twitter. Dari cuplikan video yang berasal dari salah satu acara TV, terlihat sekelompok polisi memaksa seorang pelanggar rambu lalu lintas. Alasannya adalah mengetahui identitas si pelanggar dan mengetahui “adanya perencanaan kejahatan”.
Tanpa ada surat perintah, serta dibalut permainan kata dari “apa itu hak privasi” serta “wewenang polisi”. Sang “oknum” tadi menekankan bahwa alasan mereka meminta HP tadi adalah bagian dari wewenang polisi untuk mencegah pelanggaran hukum. Bahkan sampai mengajak adu data menggunakan pendekatan, “siapa tahu ada perencanaan pembunuhan di HP itu.”
Saya sebenarnya punya banyak pertanyaan dan sanggahan atas perilaku (sekali lagi) “oknum” polisi ini. Beberapa akun Twitter dan website hukum menunjukkan pro dan kontra terhadap perilaku polisi ini. Intinya, memang ada hak untuk melakukan penggeledahan setelah ada surat perintah dari pengadilan. Serta ada hak ganti rugi dari masyarakat yang mengalami penggeledahan.
Hal yang membuat saya gemas lebih pada mentalitas “oknum” polisi tadi. Terlepas dari potensi pelanggaran hak privasi, gestur yang ditunjukkan memang bernuansa arogan. Bahkan pertanyaan dan sanggahan dari warga tadi ditanggapi dengan sikap menyepelekan serta pemaksaan yang tidak perlu.
Mental kerumunan kuat terasa dalam peristiwa ini. Bagaimana “oknum” polisi tadi menekan warga karena dalam posisi yang memiliki kuasa. Posisi yang lahir dari identitas sosial yang sebenarnya melenceng dari fungsi seorang polisi.
Fungsi menjaga keamanan ini diejawantahkan menjadi pelanggaran keamanan itu sendiri. Ketika seseorang digeledah tanpa surat perintah, bukankah ini sudah mengancam keamanan orang tadi? Dan yang mengancam malah pihak yang seharusnya memastikan keamanan masyarakat terjaga.
Nuansa penuh adu kekuasaan ini makin terasa ketika sang “oknum” polisi tadi memamerkan hak untuk merampas privasi seseorang, bahkan dengan tuduhan tidak masuk akal dan tanpa landasan. Membahas kemungkinan seperti rencana pembunuhan tanpa ada pengusutan yang jelas sudah mencederai asas praduga tidak bersalah.
Namun, mental kerumunan dan identitas sosial mengambil peran di peristiwa ini. Lantaran polisi memiliki “kekuatan” yang berasal dari kesepakatan bersama, maka si “oknum” tadi merasa berhak melanggar batasan-batasan fungsional mereka. Dan dengan berlindung di balik benteng institusi, “oknum” tadi menunjukkan sikap berkuasa atas warga tersebut.
Mental kerumunan ini sudah banyak ditunjukkan oleh para “oknum” polisi. Paling baru ya perundungan seorang warganet yang membandingkan polisi dengan satpam BCA. Bukannya melakukan komunikasi yang membangun, banyak “oknum” polisi yang menyerang warganet tadi secara personal.
Ini adalah perilaku berbahaya. Dan jelas telah melanggar fungsi polisi sebagai garda depan keamanan masyarakat. Kalau dibilang abuse of power, ya jelas itu yang terjadi. Karena hak dan posisi sosial yang disepakati oleh masyarakat, para “oknum” brengsek ini bisa bebas melakukan apa yang berasal dari “asumsi” mereka. Padahal, ada hukum yang tegas mengatur peran polisi ini.
Namun, mental kerumunan dan posisi sosial malah yang muncul. “Oknum” polisi, baik yang merampas HP atau merundung warganet, bebas melanggar hak serta meneror warga. Hanya atas dasar mereka polisi yang harus dihargai posisinya dalam masyarakat.
Tanpa sadar, masyarakat kita kembali ke era feodal. Di mana hak dan kewajiban seseorang ditentukan oleh kasta yang tersemat dalam diri mereka. Ketika sekelompok orang memiliki kasta lebih tinggi, ia berhak mengatur hak dan kewajiban kelompok dengan kasta yang lebih rendah. Meskipun ada hukum yang menjadi kesepakatan bersama, pada akhirnya posisi sosial dan kasta yang berkuasa.
Wajar jika warganet (dan masyarakat pada umumnya) terjebak polemik karena ini. Sebagian menyetujui karena memandang polisi berhak merebut hak seseorang atas dasar keamanan. Sisanya menginginkan “oknum” polisi untuk tetap mengedepankan pelaksanaan hukum yang benar dan tidak menabrak aturan yang ada.
Namun, apakah ini hanyalah kerja “oknum” polisi? Atau secara luas memang sudah ada pergeseran makna dari “penjaga keamanan” menjadi “warga kasta kesatria”? Atau memang kita sedang menuju distopia, di mana kita semua terjebak dalam tatanan police state? Apakah kita akan menuju era di mana privasi adalah kejahatan dan otoritas berhak mengetahui dan mengatur hidup kita sampai hal paling dasar?