Dari dulu saya memang tidak suka guru killer. Oke, banyak orang memang tidak menyukai guru jenis tersebut juga. Tetapi, tidak jarang juga orang-orang yang mendukung dan menyukai guru tersebut. Alasannya kebanyakan karena guru killer ngebuat kita jadi lebih fokus belajar. Atau alasan lain macam mereka membuat mental kita kuat, siap menghadapi kejamnya dunia nyata. Padahal kalau ditelusuri lebih lanjut, orang-orang yang berkata seperti itu belum pernah didamprat secara langsung oleh si guru killer.
Pertama-tama saya mau meluruskan apa yang saya maksud dengan guru killer. Kita semua pasti setidaknya memiliki satu guru jenis ini. Yang suka mengomel, moody, bicara keras dan suka menegur namun dengan cara mencaci muridnya. Itu definisi guru killer bagi saya. Kalau jenis guru yang taat pada aturan dan serius saat belajar tidak termasuk dalam hitungan. Itu memang guru yang baik, bukan killer.
Sejak SMP hingga kuliah, saya memiliki cerita yang berbeda dengan guru-guru jenis ini. Yang paling membekas di pikiran saya adalah waktu SMA. Bagaimana saya dipermalukan di depan teman-teman kelas saya hingga saya menangis tersedu-sedu di bangku saya.
Saya sedari kecil suka membaca–entah itu komik, majalah, cerpen, dan novel. Kecintaan saya pada membaca membuat saya senang menulis. Pada saat SD, saya mulai menulis cerita pendek, lalu beralih ke Wattpad saat SMP yang saat itu lagi hits, dan akhirnya saya menulis di blog dan Tumblr.
Memang tidak ada yang spesial dari tulisan saya. Saya tidak pernah menjuarai lomba tulis apapun kala itu. Saya senang menulis dan saya menulis lalu mempublikasikannya agar banyak dibaca orang. Itu saja.
Namun kejadian saat kelas satu di SMA itu mengubah pandangan saya terhadap diri dan kemampuan saya dalam hal menulis. Saat pelajaran bahasa Indonesia, guru saya—guru killer ini—menugaskan kami membuat sebuah cerita pendek. Tentu saja saya senang, gaweanku, je.
Saya mulai merangka tulisan; mencari topik, memainkan alur di dalam kepala saya, dan membayangkan sifat tokoh dalam cerita. Singkat cerita, tulisan itu selesai sebanyak tiga lembar halaman buku tulis. Saya menyukai hasilnya, saya baca ulang beberapa kali.
Lalu akhirnya hari pelajaran itu pun tiba. Sang guru memerintahkan kami untuk maju satu persatu ke depan kelas, membacakan karya kami. Seingat saya, saya tampil di urutan awal, hasil dari undian.
Ketika giliran saya tiba, saya maju ke depan kelas dengan gugup namun percaya diri. Saya membuka cerita pendek itu dengan mengutip sebuah puisi. Lalu dimulailah cerita itu, saya membacanya dengan antusias. Kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf. Hingga akhirnya guru saya tadi memberhentikan saya.
Kemudian hati saya mencelos ketika guru tersebut berkomentar, “Kok aneh ya cerpennya? Memangnya ada yang diawali puisi seperti itu? Lalu ceritanya…” dan blablabla. Saya terlalu panas untuk mendengarnya lebih lanjut.
Begitulah ‘karier’ menulis saya selesai (meskipun hanya sementara). Karena itu, saya mogok menulis, meninggalkan fan-fiction yang tengah saya garap. Tidak aktif di blog apalagi di Tumblr. Saya memang bersikap bodoh sewaktu itu, menelan kritikannya mentah-mentah. Tetapi begitu besar dampak seorang guru terhadap muridnya. Dan saya adalah salah satu korban.
Lalu belakangan ini saya tidak sengaja menonton video tentang efek Pygmalion di YouTube. Dalam video tersebut dinyatakan bahwa Pygmalion effect adalah teori dalam dunia psikologi yang menyatakan bahwa “higher expectations lead to higher performance.” Apa yang kita percayai terhadap diri kita akan mempengaruhi sikap kita dalam melakukan suatu hal dan juga mempengaruhi pandangan orang. Begitu pula kebalikannya, pandangan orang terhadap diri kita secara tidak langsung membuat kita mempercayai hal itu dan berdampak pula terhadap sikap kita.
Pygmalion effect diambil dari nama salah satu pahlawan Yunani, Pygmalion, yang selalu berpikir positif. Sebenarnya Pygmalion effect meggambarkan pikiran positif yang akhirnya akan berbuah positif juga. Namun istilah ini juga digunakan untuk pikiran negatif yang akan berdampak negatif juga pada akhirnya.
Hal ini sering terjadi dalam dunia pendidikan. Video yang saya tonton itu mengilustrasikan bagaimana seorang murid memperoleh hasil yang buruk karena gurunya meragukan kemampuan murid tersebut di hari pertama sekolahnya. Sementara murid lainnya, yang memiliki keahlian lebih, begitu dielu-elukan sang guru hingga akhirnya keahliannya terus meningkat dan dia menjadi yang terbaik.
Saya juga sering melihat kejadian seperti ini di hadapan saya, bagaimana mereka yang butuh bantuan justru semakin jatuh ke dalam lubang. Teman saya pernah disebut “bodoh” secara blak-blakan di depan kelas. Lalu semenjak hari itu dia tidak pernah lagi tampak menonjol dalam kelas. Yang dilakukannya adalah hadir di dalam kelas dan berusaha keras menjadi bayang-bayang, takut kehadirannya disadari dan dikatai lagi.
Jadi apakah menurut saya guru killer—yang suka merendahkan muridnya—membantu dalam hal pembelajaran? Menurut saya tidak. Apakah itu dapat meningkatkan motivasi murid untuk menjadi lebih baik? Saya pikir juga tidak. Ada beberapa murid yang tangguh, namun tidak semua begitu.
Bagaimana dengan anggapan “mereka membuat mental kita kuat, siap menghadapi kejamnya dunia nyata”? Halah, omong kosong. Seharusnya guru itu yang membantu anak-anak membangun mimpinya, bukan malah menghancurkannya.
Bagaimana mereka siap menghadapi dunia nyata ketika dunia yang mereka pijaki sudah hancur? Menurut saya lebih baik berikan murid berbagai pujian dan semangat. Buat mereka percaya dengan eksistensi mereka, barulah mereka siap menghadapi dunia dengan penuh percaya diri.
BACA JUGA Pareidolia dan Dugaan Gambar Salib di Logo HUT RI atau tulisan lainnya di Terminal Mojok.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.